Ayam Penyet Surabaya – Sore yang lengang di kawasan Ngaliyan, Semarang, mendadak ramai saat sebuah food truck berlogo ayam emas membuka jendelanya. Aroma sambal korek yang pedas-nglemak segera menyergap hidung siapa saja yang lewat. Di dalamnya, tim dapur Ayam Penyet Surabaya (APS) bergerak cekatan, dengan seragam rapi: laki-laki berpeci, perempuan berjilbab longgar. Suasana terlihat harmonis dan tertata.
APS bukan sekadar bisnis kuliner. Ia adalah bagian dari transformasi besar Wong Solo Group, sebuah kerajaan kuliner yang didirikan oleh pengusaha visioner, Puspo Wardoyo. Dimulai dari gerobak ayam bakar di sudut Polonia, Medan, Puspo mengembangkan usaha kecilnya menjadi jaringan dengan lebih dari 250 cabang, 8 merek kuliner, dan 8.000 karyawan yang tersebar dari Indonesia hingga Arab Saudi. Yuk, simak caranya memperkuat brand dengan mengedepankan kultur tim yang pas dan konsisten!
Dari Medan, Terinspirasi Surabaya
Ayam Penyet Surabaya secara resmi diluncurkan pada tahun 2006 di Medan. Nama Surabaya memang diadopsi karena inspirasi awal datang dari sajian tempe penyet khas Kota Pahlawan, yang dicocol sambal dan bertekstur lembut. Namun, yang dilakukan Puspo bukan sekadar menjiplak. Ia menyulap ide tersebut menjadi sajian yang khas: ayam krispi lembut dengan sambal korek pedas yang gurih bagi penikmatnya.
Sebelum itu, menu ayam penyet sebenarnya sudah menjadi primadona di jaringan Ayam Bakar Wong Solo sejak 1993. Saat akhirnya dipisahkan menjadi brand sendiri, APS langsung mendapat sambutan hangat. Dalam kurun tiga tahun saja (2006–2009), outlet-nya menjamur ke Medan, Aceh, Palembang, Jakarta, Bandung, Purbalingga, Malang, hingga Banjarmasin.
Mengusung Budaya Islami Dalam Pelayanan
Di APS cabang Ngaliyan, ada 45 orang karyawan yang bekerja dalam dua shift, melayani pengunjung dari pukul 9 pagi hingga 10 malam. Budaya kerja mereka dibentuk sejak hari pertama masuk. Setiap karyawan dibekali pemahaman keislaman, mulai dari tata cara bersikap, adab melayani, hingga kewajiban membayar zakat sebesar 2,5% dari gaji bulanan mereka.
Seragam yang digunakan pun mencerminkan nilai tersebut. Karyawan laki-laki mengenakan baju kerah dan peci, sementara karyawan perempuan mengenakan jilbab longgar dan busana syar’i. Nilai-nilai ini bukan sekadar simbol, melainkan juga diterapkan dalam pelayanan keseharian mereka.
Penelitian oleh Rinaldi & Santoso (2018) bahkan menunjukkan bahwa kualitas pelayanan Islami berpengaruh signifikan terhadap minat beli ulang pelanggan. Tak terkecuali dengan apa yang diterapkan manajemen Ayam Penyet Surabaya. Pelayanan yang dilandasi nilai spiritual mampu meningkatkan kepuasan dan loyalitas konsumen, dua indikator penting dalam bisnis kuliner.
Strategi Manajemen Tim Ayam Penyet Surabaya: Sinergi Nilai, Sistem, dan Disiplin
1. Rekrutmen Berdasarkan Sikap, Bukan Sekadar Skill
Ayam Penyet Surabaya tidak hanya merekrut berdasarkan keahlian teknis (seperti memasak atau melayani pelanggan), tetapi sangat menekankan pada sikap dan kesesuaian nilai agama. Sejak awal, calon karyawan harus siap mengikuti budaya kerja Islami yang berlaku di seluruh jaringan Wong Solo Group.
Menurut Majalah Franchise Indonesia (2023), calon mitra dan karyawan diharuskan memahami misi spiritual perusahaan, yang mencakup integritas, kejujuran, dan tanggung jawab sosial. Ini menciptakan cultural fit yang kuat di antara anggota tim, karena semua digerakkan oleh nilai yang sama, bukan hanya target omzet.
2. Pelatihan Terstruktur dan Terintegrasi: "Akhlak Dulu, Skill Menyusul"
Setiap karyawan Ayam Penyet Surabaya wajib mengikuti program pelatihan terpusat di bawah naungan PT Hati Barokah Investama, sebuah perusahaan induk yang menangani rekrutmen dan operasional SDM Wong Solo Group. Pelatihan ini mencakup tiga aspek utama:
-
Spiritual (Aqidah dan Akhlak Islami): Karyawan diajarkan adab, shalat berjamaah, serta etika pelayanan berdasarkan prinsip keislaman.
-
Teknis Operasional: Mulai dari pengolahan ayam, penyajian sambal korek, sampai standar pengemasan dan delivery.
-
Soft Skills Layanan Pelanggan: Cara menyapa, merespons keluhan, dan menjaga kebersihan serta kesigapan.
Buku "Manajemen Spiritual dalam Dunia Bisnis" yang ditulis oleh Puspo Wardoyo, menyebutkan bahwa semua pelatihan ini berorientasi pada keberkahan kerja. Bagi APS, sukses itu bukan hanya omzet tinggi, tetapi tim yang solid, bersih niatnya, dan penuh rasa syukur.
3. Budaya Kerja Kekeluargaan yang Terpola
Karyawan APS tidak dipandang sebagai “buruh” tapi sebagai “keluarga besar.” Ini bukan sekadar jargon. Di cabang-cabang APS, misalnya:
-
Ada kegiatan pembinaan rutin (pengajian, diskusi agama, dan motivasi kerja) setiap minggu.
-
Pemberian tunjangan spiritual, seperti bantuan zakat dan dana sosial internal, menciptakan solidaritas antaranggota tim.
-
Dalam shift kerja, posisi manajer bukan “atasan” tapi “pengayom”. Mereka bertugas menyatukan tim, bukan sekadar mengawasi.
Menurut penelitian dari Rinaldi & Santoso (2018) di Jurnal Akuntansi & Bisnis, pendekatan manajemen berbasis nilai spiritual seperti ini terbukti meningkatkan employee engagement, loyalitas, dan semangat pelayanan.
Dampak Pelatihan terhadap Gaya Pelayanan dan Kekompakan Tim
1. Pelayanan yang Ramah, Tulus, dan Konsisten
Bukan hal yang asing jika kamu mendengar sapaan seperti “Assalamu’alaikum, silakan kakak...” atau melihat pramusaji tersenyum meski sedang sibuk di dapur APS. Gaya ini bukan kebetulan. Itu hasil dari pelatihan soft skills berbasis etika Islam yang ditekankan sejak hari pertama pelatihan.
Pelanggan merasakan kehangatan dan penghormatan dalam pelayanan, yang membuat mereka merasa diperlakukan seperti tamu, bukan hanya “pembeli.”
2. Kekompakan dan Minim Konflik Internal
Karyawan APS memiliki nilai bersama yang membuat mereka saling mendukung. Karena adanya sesi kajian bersama dan komunikasi terbuka yang difasilitasi manajemen, konflik jarang terjadi. Bila pun muncul, diselesaikan secara kekeluargaan.
Menurut observasi lapangan oleh Majalah Bengawan News (2023) saat meliput outlet APS di Surabaya, ditemukan bahwa struktur kerja tim di dapur hingga layanan kasir sangat sistematis, dengan koordinasi shift yang rapi dan minim keluhan personal.
3. Adaptasi Cepat dan Loyalitas Tinggi
Karyawan APS cenderung bertahan lama dan tumbuh bersama perusahaan. Banyak dari mereka yang naik jabatan dari OB menjadi asisten dapur atau supervisor karena semangat belajar dan dedikasi yang tinggi—didorong oleh sistem pelatihan dan pengembangan yang berjenjang.
Data dari internal Wong Solo Group yang dipublikasikan di pelatihan franchising mereka menyebutkan bahwa turnover rate karyawan hanya sekitar 7–10% per tahun, jauh di bawah rata-rata industri F&B nasional yang bisa mencapai 30–40%.
Pelayanan dan Cita Rasa: Dua Sisi dari Koin yang Sama
Tak ada gunanya strategi manajemen yang cemerlang bila produk yang ditawarkan tak memikat lidah. Untungnya, APS justru menjadi pelopor ayam penyet Indonesia yang menyatukan keduanya: rasa dan pelayanan.
Cita rasa ayam yang digeprek dalam sambal korek khas—pedas, nendang, dan gurih—menjadi andalan utama. Bahkan menurut Puspo, saking pedasnya, ada pelanggan yang merasa sembuh dari flu setelah menyantap ayam pedas mereka di cabang Yogyakarta pada awal 2000-an.
Di balik dapur, standar operasional dibuat baku untuk menjaga konsistensi rasa antar outlet. Dalam kondisi normal, satu outlet mampu melayani 250–300 orang per hari, dan melonjak hingga 600 saat akhir pekan. Tidak heran jika APS menjadi satu dari sedikit brand ayam penyet yang berhasil bertahan saat pandemi, tetap ramai di malam hari dan akhir pekan berkat pesanan nasi box dan konsumen keluarga. Per tahun 2019, lebih dari 100 outlet APS tercatat aktif, tersebar di seluruh Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Beberapa kota seperti Medan memiliki lebih dari 5 cabang.
Kunci dari Dapur ke Dunia
Tidak banyak bisnis kuliner lokal yang mampu mengembangkan diri hingga ke luar negeri tanpa mengorbankan nilai dasar mereka. Wong Solo Group membuktikan bahwa keberhasilan bisnis tak harus bertentangan dengan nilai spiritual.
Kini, dengan kehadiran di Malaysia, Singapura, dan Arab Saudi, bahkan menyuplai makanan siap saji (Meal Ready to Eat) untuk jamaah haji melalui kerja sama dengan Mashariq, brand Wong Solo semakin memperkuat jejaknya di ranah internasional. Kombinasi antara cita rasa khas, manajemen berbasis nilai, serta strategi ekspansi yang selektif menjadikan Ayam Penyet Surabaya sebagai studi kasus ideal tentang bagaimana kuliner lokal bisa bersaing secara global.
Referensi:
-
Majalah Franchise Indonesia: https://majalahfranchise.com/ayam-penyet-surabaya-bisnisnya-terbukti-menjanjikan
-
Bisnis.com – Jejak Bisnis Wong Solo Group
-
Journal of Halal Industry Studies, 1(1), 2022
-
Astuti et al., 2020; Islamiyah et al., 2020; Subarkah, 2018; Rinaldi & Santoso, 2018
-
Peluangusaha.kontan.co.id; id.scribd.com; reddit.com; myedisi.com
-
Bengawan News (2023) – “Kuliner Ayam Penyet Surabaya Dinobatkan Jadi The Most Promising Brand.”
https://kumparan.com/bengawannews -
Rinaldi & Santoso (2018) – Pengaruh Pelayanan Islami terhadap Loyalitas Konsumen, Jurnal Akuntansi dan Bisnis.
-
Puspo Wardoyo (2014) – Manajemen Spiritual dalam Dunia Bisnis, Penerbit Andi.
-
Astuti, R., & Khasanah, U. (2020) – Analisis Pengaruh Budaya Organisasi Islam terhadap Kepuasan Karyawan, Journal of Halal Industry Studies.