Apa bedanya perusahaan komersial biasa dengan perusahaan sosial? Menurut Nardia Haigh dan Andrew Hoffman (2014), ada enam hal yang terpenting, yaitu: sikap terhadap pertumbuhan, bagaimana melihat keuntungan, pengelolaan dampak negatif, sikap terhadap alam, bagaimana perusahaan bersaing, dan pemahaman atas keberlanjutan.
Baca Juga: Mengenal Perbedaan Pemilik dan Pengelola Perusahaan
Terkait dengan pertumbuhan, perusahaan komersial menginginkan pertumbuhan yang cepat, bahkan eksponensial. Namun, bisnis sosial tidak demikian. Kesadaran bahwa sebenarnya Bumi memiliki batas-batas pertumbuhan yang jelas sangatlah dipahami oleh bisnis sosial, sehingga dengan sengaja mereka membatasi pertumbuhannya. Sebenarnya, tak mungkin perusahaan pada umumnya mencapai kehendak untuk pertumbuhan yang cepat dan tak terbatas. Berbagai data telah menunjukkan bahwa sebetulnya Bumi ini sangat terbatas, dan karena kita telah melampaui daya dukungnya—secara rata-rata manusia mengambil 1,5 kali lipat yang bisa disediakan Bumi untuk kondisi keberlanjutan—maka konsekuensilogisnya adalah mengerem pertumbuhan.
Kebanyakan perusahaan komersial melihat bahwa keuntungan adalah satu-satunya tujuan. Bahkan, secara terang-terangan banyak bisnis yang menyatakan bahwa maksimisasi keuntungan adalah prioritas utamanya. Di sisi yang lain, bisnis sosial menyatakan bahwa keuntungan harus ditundukkan di bawah misi sosial dan lingkungan yang hendak dicapainya. Keuntungan yang diperoleh adalah salah satu sumberdaya yang kemudian dimanfaatkan untuk mencapai tujuan sosial dan lingkungannya.
Baca Juga: Mengenal Perusahaan Start Up
Sangat penting untuk diingat di sini bahwa beberapa peneliti telah menemukan bahwa keuntungan sesungguhnya tidak bisa dicapai dengan mengabaikan ekspektasi para pemangku kepentingan perusahaan, termasuk dan terutama ekspektasi yang terkait dengan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (environment, social, and governance atau disingkat ESG). Sisodia, Wolfe dan Seth (2007; 2014) dalam kitab Firms of Endearment telah memberikan bukti yang sangat kuat perusahaan-perusahaan yang memperhatikan ekspektasi pemangku kepentingannya—dengan memenuhi atau bahkan melampauinya—telah menghasilkan keuntungan yang sangat besar, jauh melampaui perusahaan-perusahaan yang dimasukkan oleh Jim Collins dalam Good to Great, dan lebih jauh lagi melampaui S&P 500. Pertumbuhan penghasilan bisnis sosial yang jauh di atas rata-rata—yaitu 15,2% per tahun menurut penelitian Eggers dan MacMillan (2013)—menunjukkan bahwa melayani masyarakat dengan sungguh-sungguhsesungguhnya merupakan strategi bisnis yang ampuh.
Walaupun perusahaan komersial ada yang menyatakan dirinya mengacu kepada konsep keberlanjutan dan mengelola aspek sosial dan lingkungannya dengan cara-cara yang lebih baik, tetap saja sebagian dampak negatif sosial dan lingkungannya dieksternalisasikan. Ini membuat pihak lain menanggung dampak negatif tersebut. Tidak demikian halnya dengan bisnis sosial, yang bukan saja memperhatikan aspek sosial dan lingkungan, melainkan berusaha sekuat mungkin menginternalisasikannya ke dalam bisnis.
Baca Juga: Langkah Aksi Membangun Brand untuk Meningkatkan Nilai dan Citra Positif Produk/Perusahaan
Eksternalisasi memang kerap dipandang menguntungkan, sementara internalisasi kerap dipandang menjadikan segala sesuatu menjadi lebih mahal, dan pada akhirnya konsumen juga yang harus menanggungnya. Tetapi, perkembangan bisnis sosial yang pesat kirannya menunjukkan bahwa internalisasi hal-hal yang tadinya dianggap sebagai eksternalitas sesungguhnya tidak menghambat kinerja bisnis. Pengelolaan seluruh aspek sosial—sebagaimana yang ditunjukkan pada kasus Yunus dengan Grameen Bank-nya—telah menimbulkan kepercayaan yang tinggi dari pemangku kepentingannya.Akhirnya, kepercayaan itu tercermin dari kinerja bisnis yang juga (jauh) lebih tinggi dibandingkan dengan bisnis kebanyakan.Pengelolaan unsur lingkungan—misalnya yang dilakukan oleh Patagonia dan Interface, yang bukan saja tidak menghasilkan limbah, melainkan juga menampung limbah perusahaan lain—juga telah membuat bisnis mereka bertambah kokoh, bukan sebaliknya.
Alam, oleh kebanyakan perusahaan komersial, telah direduksi menjadi sekadar dilihat utility value-nya saja. Oleh karenanya, mereka kerap menyebutnya sumberdaya alam, yang seakan diciptakan untuk kepentingan pemanfaatan langsung oleh manusia belaka.Pandangan reduksionis itu telah mengakibatkan eksploitasi yang berlebih.Sebaliknya, bisnis sosial—terutama yang bergiat dalam pengelolaan lingkungan—melihat alam bukan sekadar memiliki utility value belaka, melainkan juga intrinsic value.
Baca Juga: Mengenal Ragam Platform Untuk Membuat Website Toko Online Milik Sendiri
Dengan keyakinan yang demikian, bisnis sosial kemudian banyak menemukan hikmah dari alam, yang di antaranya sangat bermanfaat untuk bisnis juga. Yang jelas, dengan bersikap hati-hati terhadap alam, maka pengetahuan kerap menemukan manfaat yang tadinya belum diketahui.Bayangkan, kalau sikap sebaliknya yang dipergunakan, maka kita akan kehilangan manfaat tersebut.Salah satu contoh terpenting adalah apa yang dinamakan oleh Janine Benyus sebagai biomimicry, atau meniru makhluk hidup. Berbagai spesies tumbuhan maupun hewan menyimpan pelajaran yang sangat berharga untuk manusia, dan dengan mencontek apa yang ada di mereka, maka banyak hal menjadi sangat cepat menemukan kemajuannya.
Apa dasar persaingan yang digunakan kebanyakan perusahaan komersial?Kontrol terhadap sumberdaya dan kerahasiaan soal bagaimana mereka menciptakan nilai. Mereka beranggapan bahwa sumberdaya harus dikuasai sebanyak-banyaknya, sehingga pesaing mereka tak bisa mendapatkannya, atau bisa mendapatkannya dengan biaya yang lebih tinggi.Kalau sumberdaya sudah dikontrol, maka bagaimana itu dimanfaatkan untuk menghasilkan keuntungan juga harus dijaga kerahasiaannya.
Baca Juga: Peran Rumah BUMN Bagi UMKM
Semakin rahasia, semakin sulit pesaing untuk menconteknya.Tetapi bisnis sosial melihatnya dengan cara yang sama sekali berbeda. Cara bersaing yang baik adalah bersaing dalam nilai-nilai positif dan kinerja dampak yang dihasilkan. Alih-alih berebut sumberdaya, bisnis sosial sangat menekankan pada kolaborasi, dengan perusahaan lain, masyarakat sipil, maupun pemerintah. Dengan kolaborasi, semakin banyak sumberdaya yang bisa dimanfaatkan oleh seluruh pihak, sehingga tak perlu melakukan penguasaan tunggal.
Dengan pendirian yang demikian, “rahasia perusahaan” menjadi konsep yang usang di tangan bisnis sosial. Seluruh pendekatannya dibuka, dengan harapan pihak lain juga bisa membantu memecahkan masalah yang sama di masyarakat.Namun yang terjadi tetaplah bisnis sosial yang bisa memberikan manfaat terbesar untuk masyarakat akan menjadi terkemuka dan terpercaya, sehingga kemajuan bisnis pun terjadi.
Baca Juga: Tipe-tipe Struktur Kepemilikan pada Social Enterprise
Terakhir, kebanyakan perusahaan komersial hanya berkutat pada bagaimana menurunkan dampak negatif dari operasinya ketika mereka menggunakan istilah keberlanjutan. Mereka sibuk menurunkan emisi dan limbah, mengurangi intensitas energi dan material yang dipergunakan untuk memproduksi barang atau jasanya. Dengan fokus berlebihan pada minimisasi dampak negatif, maka sisi yang lain kerap menjadi terlupakan, yaitu maksimisasi dampak positif. Sementara, bisnis sosial dengan misi sosial dan lingkungan yang kokoh tentu saja melihat maksimisasi dampak positif mereka terhadap masyarakat sebagai tujuannya, dan dalam mencapai tujuan tersebut mereka tidak diperbolehkan untuk melakukan kerusakan. Bisnis sosial, dengan demikian, secara “alamiah” melakukan keduanya sekaligus.
Jika merasa artikel ini bermanfaat, yuk bantu sebarkan ke teman-teman Anda. Jangan lupa untuk like, share, dan berikan komentar pada artikel ini ya Sahabat Wirausaha.
Sumber:
- Artikel ini pernah dimuat di harian KONTAN, pada tanggal 21 Mei 2015.