Tiga tahun berlalu sejak status pandemi Covid-19 dicabut. Namun, tanda-tanda pemulihan penuh di sektor UMKM ternyata belum juga terlihat. Data dari polling UKMIndonesia.id yang dilakukan melalui WhatsApp Channel sejak 6 Juni hingga 10 Oktober 2025 untuk memilih jawaban atas pertanyaan:
“Nggak kerasa udah hampir 3 tahun Indonesia bebas dari Pandemi Covid 19 yaa. Gimana kondisi bisnis, khususnya omset, kalian pasca pandemi?”
Hasil polling mengungkapkan kenyataan yang perlu mendapat perhatian serius pemerintah.
Berikut hasilnya:
Dari total 2.273 partisipan pelaku UMKM, sebanyak 1.312 partisipan (58%) menyatakan bahwa omzet bisnis mereka masih lebih rendah dibanding sebelum pandemi. Sementara 278 partisipan (12%) mengaku omzetnya kurang lebih sama seperti sebelum pandemi, dan hanya 312 partisipan (14%) yang berhasil bangkit dengan omzet lebih tinggi dari masa pra-pandemi. Sisanya, 185 (8%) dan 186 (8%) partisipan sudah mulai bisa menambah tenaga kerja, baik lepas maupun tetap. Angka ini memang menunjukkan ada sinyal perbaikan, tapi belum cukup untuk disebut pulih sepenuhnya.
Tanda Pulih yang Masih Rapuh
Angka-angka di atas menandakan satu hal penting: meski pandemi telah berlalu, luka ekonomi pelaku UMKM masih terasa dalam. Banyak usaha kecil yang masih berjuang menormalkan arus kas, menjaga daya beli konsumen, dan menahan kenaikan biaya bahan baku.
“Masih lebih rendah daripada sebelum covid,” menjadi jawaban dominan dari lebih dari separuh pelaku usaha. Ini bukan sekadar angka, melainkan potret nyata ketimpangan pemulihan di sektor akar rumput — sektor yang seharusnya menjadi motor ekonomi rakyat.
Salah satu pelaku usaha menulis melalui kolom komentar UKMIndonesia.id di Instagram:
“Pajak tolonglah diwaraskan. Harga-harga bahan pokok untuk produksi, tolonglah dinormalkan. Pelatihan lebih merata hingga ke pelosok negeri, karena masih banyak UKM yang belum terjamah untuk dibina.”
Kalimat sederhana itu menggambarkan keluhan yang sudah lama menggema: beban biaya tinggi, akses pelatihan terbatas, dan kebijakan yang belum sepenuhnya berpihak.
Daya Beli Masih Lemah, Biaya Produksi Melonjak
Menurut para pelaku UMKM, problem utama bukan hanya soal produksi, tapi juga daya beli masyarakat yang belum kembali. Banyak partisipan menyebut, konsumen masih menahan belanja, bahkan untuk kebutuhan non-primer.
Seorang pelaku usaha menuliskan dengan gamblang:
“Kami berharap perhatian terhadap penguatan sektor UMKM terus ditingkatkan, terutama dalam dua aspek penting: peningkatan daya beli lokal dan peningkatan kapasitas melayani pasar global.”
“Harga bahan baku ni gak bisa dikendalikan kah? Masya Allah ini harga Bawang Merah melonjaknya bisa lebih 50% begini. Cabe juga pernah sampai tembus Rp120ribu per kg. Trus itu, katanya tarif impor kedelai dari America udah dihapus, kok harga kedelai di Indonesia gak turun, ya?”, ujar wirausaha UMKM produsen kripik dan bawang goreng.
Daya beli yang lemah otomatis menekan omzet dan menghambat perputaran modal. Di sisi lain, biaya bahan baku, ongkos kirim, dan pajak justru meningkat. Situasi ini membuat banyak pelaku usaha berada dalam kondisi serba salah — produksi harus jalan, tapi margin makin tipis.
Baca Juga: Kilas Balik Pandemi COVID-19 : Bagaimana Pandemi Mempercepat Transformasi Digital pada UMKM?
Kritik: Jangan Jadikan UMKM Sekadar Slogan
Dari ratusan komentar yang masuk di kanal media sosial UKMIndonesia.id, sebagian besar mengarah pada kritik yang sama: jangan jadikan UMKM hanya sebagai jargon program.
Salah satu komentar yang paling banyak disetujui berbunyi:
“Jangan jadikan UMKM sebagai alasan untuk bikin proyek-proyek yang hasil akhirnya hanya pencairan SPJ semata. Jangan hanya bantu UMKM yang sudah bersinar, tapi pikirkan juga UMKM yang benar-benar butuh disupport.”
Kalimat ini mencerminkan kekecewaan yang cukup dalam terhadap implementasi kebijakan. Banyak pelaku UMKM menilai bahwa program bantuan, pelatihan, hingga event pameran kerap tidak berkelanjutan dan kurang relevan dengan kebutuhan riil di lapangan.
“Keseringan sih bikin acara yang kesannya heboh, tapi setelah itu nggak ada kelanjutannya. Yang lucu, sering bikin business matching tapi tanpa tahu kebutuhan pembeli dan UMKM-nya apa. Cuma formalitas,” tulis salah satu komentar lain.
Pesan-pesan seperti ini menunjukkan ketimpangan antara narasi kebijakan dan kenyataan operasional. Pelaku usaha tidak menolak program pemerintah—mereka hanya menginginkan konsistensi dan ketepatan sasaran.
Harapan untuk Pemerintah: Fokus ke Daya Beli dan Akses Pasar
Mayoritas pelaku UMKM yang ikut polling juga menyoroti dua hal utama yang perlu segera disentuh pemerintah:
- Penguatan Daya Beli Lokal
Banyak yang berharap adanya stimulus belanja produk lokal, misalnya kampanye “Belanja Produk UMKM” yang benar-benar terintegrasi antara marketplace, toko offline, dan acara pameran. Bukan sekadar seremoni, tapi disertai tindak lanjut pembelian nyata oleh instansi, BUMN, hingga masyarakat umum. - Kemudahan Akses Ekspor dan Pembiayaan
Pelaku UMKM ingin difasilitasi agar bisa naik kelas, bukan hanya dari sisi produksi, tapi juga akses pasar luar negeri. Seperti disampaikan salah satu netizen:
“Buka jalur ekspor yang lebih sederhana dan terjangkau, fasilitasi kami ikut pameran internasional, dan berikan pembiayaan bunga rendah agar bisa bersaing.”
Selain itu, banyak pelaku usaha juga meminta dukungan hukum dan regulasi yang lebih adil: pembayaran proyek pemerintah jangan ditunda, dan pembelian produk UMKM jangan ditawar hingga di bawah harga pokok produksi.
Baca Juga: Bedanya Cara Berpikir Orang Kaya dan Orang Miskin Memanfaatkan Hutang, Wirausaha UMKM Harus Tahu
Pemulihan Tidak Bisa Dibiarkan Alamiah
Jika dibandingkan dengan data resmi, temuan ini sejalan dengan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat bahwa pertumbuhan UMKM memang meningkat pasca-pandemi, tapi belum merata. UMKM di sektor kuliner, fesyen, dan jasa kreatif mulai pulih, namun sektor produksi dasar dan perdagangan masih tertinggal.
Artinya, pemulihan tidak bisa dibiarkan berjalan alamiah. Diperlukan intervensi kebijakan yang cermat dan berbasis kebutuhan nyata pelaku usaha kecil.
“Jangan hanya mencetak UMKM baru. Tapi pikirkan juga bagaimana mendukung penjualannya,” tulis salah satu komentar yang banyak disetujui publik.
Kapan UMKM Benar-Benar Bangkit?
Dari sisi angka, memang ada sinyal positif: 16% partisipan dalam polling sudah menambah tenaga kerja, tanda bahwa sebagian UMKM mulai ekspansi. Namun, angka ini belum cukup menandakan pemulihan nasional.
Faktanya, sebagian besar pelaku usaha kecil masih bertahan dalam fase “survival” — menjaga arus kas tetap hidup, bukan tumbuh. Ini menjadi alarm bagi pemerintah untuk tidak terlena dengan narasi makroekonomi yang terlihat stabil di permukaan.
Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa pemulihan ekonomi mikro jauh lebih lambat dibanding pemulihan ekonomi makro. Sektor besar mungkin sudah mencatatkan pertumbuhan PDB positif, tapi usaha kecil masih berkutat dengan utang, penurunan pembelian, dan tekanan harga bahan baku.
UMKM Tak Butuh Janji, Butuh Keberlanjutan
Dari seluruh respon dan komentar, satu pesan paling sering muncul: UMKM tidak butuh janji, tapi keberlanjutan dukungan.
“Buat kegiatan yang benar-benar berguna untuk UMKM, bukan sekadar memenuhi laporan program kerja institusi. Rutinlah belanja produk-produk UMKM, bukan cuma jargon,” tulis salah satu pelaku usaha dengan nada kecewa.
Pemerintah diharapkan tidak hanya hadir dalam acara pembukaan dan penutupan, tapi juga dalam proses panjang penguatan usaha rakyat. Mulai dari pendampingan produksi, bantuan legalitas, akses pembiayaan, hingga promosi berkelanjutan.
Penutup: Momentum untuk Koreksi Arah Kebijakan
Polling UKMIndonesia.id menunjukkan bahwa 57% UMKM masih belum pulih dari pandemi, sementara 43% mulai menunjukkan tanda bangkit. Angka ini seharusnya cukup untuk membuka mata: pemulihan belum selesai.
Tugas pemerintah kini bukan lagi sekadar menambah jumlah UMKM, melainkan memastikan UMKM yang sudah ada benar-benar bisa hidup dan tumbuh. Mulai dari kebijakan harga bahan baku, akses permodalan, hingga kebijakan belanja pemerintah yang berpihak pada produk lokal.
Karena sejatinya, kebangkitan ekonomi Indonesia tidak akan pernah benar-benar terjadi tanpa kebangkitan UMKM.
Jika artikel ini bermanfaat, mohon berkenan bantu kami sebarkan pengetahuan dengan membagikan tautan artikelnya, ya!
Bagi Sahabat Wirausaha yang ingin bergabung dengan Komunitas UMKM di bawah naungan kami di UKMIndonesia.id - yuk gabung dan daftar jadi anggota komunitas kami di ukmindonesia.id/registrasi. Berkomunitas bisa bantu kita lebih siap untuk naik kelas!