edible fish on crate lot

Sumber gambar : Unsplash

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, tidak sedang bercanda saat ia bilang bahwa Indonesia bisa sangat berjaya di sektor kelautan. Data-data mendukung pernyataannya. Dilansir dari Kompas.com, produksi perikanan Nusantara di tahun 2020 mencapai 23,16 juta ton. Sementara itu, produksi perikanan tangkap cenderung meningkat hingga 2,26% dibandingkan tahun sebelumnya. Di tahun yang sama, serapan ikan pasar domestik diperkirakan mencapai 13 juta ton. Angka-angka ini menunjukkan peluang bisnis yang cukup besar di sektor Maritim negara kita.

Di balik pencapaian tersebut, ada kerja keras para nelayan yang tersebar di seluruh wilayah pesisir Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke. Dewasa kini, banyak di antara mereka yang beroperasi secara modern, berkelompok, dan bahkan mendirikan lembaga koperasi guna menunjang keperluan mereka dalam melaut dan menjual hasilnya. Salah satunya adalah Koperasi Inka Bantul VII Projo Mino, yang beroperasi di wilayah Gunung Kidul, Yogyakarta. Melalui koperasi ini, para nelayan di wilayah pesisir Gunung Kidul bisa sukses mengelola hasil kelautan secara terstruktur dan tepat sasaran.

Nah, bagaimana para nelayan modern ini bekerja? Apa saja komoditas yang berhasil mereka kelola? Dan bagaimana cara koperasi membantu para nelayan naik kelas? Berikut kisah lengkapnya.

Mengamati Kegiatan Nelayan Modern di Pantai Gunung Kidul

Dilansir dari website Pemerintah Kabupaten Bantul, Koperasi Inka Bantul VII Projo Mino merupakan badan Koperasi Serba Usaha yang mengusahakan kegiatan penangkapan ikan di lepas pantai Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 573. Unit usaha ini melakukan bongkar muat hasil kelautan di Pelabuhan Pantai Sadeng Gunung Kidul, DIY.

Baca Juga : Tips Petani dan nelayan Modern Indonesia Menujua Pasar Ekspor

Di Yogyakarta sendiri ada 113 km garis pantai, di mana para nelayan biasa melakukan kegiatan penangkapan ikan menggunakan kapal dengan jaring lingkar (purse seine) berkapasitas 41 gross stone. Hasil tangkapannya beragam, mulai dari ikan layang, tuna, cakalang, lobster, dan hasil laut lainnya. Biasanya, para nelayan melaut antara empat hingga tujuh hari, alias seminggu, dengan hasil tangkapan bisa mencapai 7 hingga 12 ton sekali melaut. Dalam sekali kegiatan penangkapan, nelayan bisa mempekerjakan 25 – 30 ABK.

Namun kondisi tersebut tidak berlangsung sepanjang tahun. Ada kalanya kegiatan penangkapan ikan mengalami kondisi surut, yaitu saat hadirnya musim Baratan, di mana angin bertiup kencang dari Barat ke Timur dan menghalangi nelayan melaut hingga jauh ke tengah samudra. Musim yang tidak produktif ini datang pada bulan Oktober, November, dan Desember.

Namun, Musim Baratan terkenal hanya mempengaruhi nelayan yang mengandalkan kapal besar sepanjang tahun. Sementara mereka yang memiliki kapal-kapal kecil, umumnya tetap beroperasi di musim tersebut. Sebaliknya, musim kemarau justru kapal besar yang berjalan, sedangkan kapal kecil istirahat. Karenanya nelayan modern dianjurkan memiliki dua armada, kapal besar dan kecil, agar kegiatan penangkapan bisa tetap berjalan selama 12 bulan penuh.

Kapal besar dengan muatan 8 gross ton hingga 40 gross ton memang bisa sangat berdaya di laut lepas saat musim kemarau. Jaraknya dari lepas pantai bisa mencapai 70 mil (1 mil = 1,6 km), alias sekitar 100 km dari daratan. Jenis kapal ini diperbolehkan aktif di zona 3, dan tidak diizinkan beroperasi di pinggir pantai. Sedangkan kapal-kapal kecil, hanya bisa beroperasi di zona 1 dengan jarak 1 – 3 mil dari lepas pantai dan hanya bisa mempraktikkan one-day fishing. Meskipun begitu, yang disebut terakhir bisa sangat berguna di musim Baratan.

Baca Juga : Potensi Ekspor Produk Ikan dan Seafood

Mengelola Ikan Ala Koperasi Inka Bantul Projo Mino

Sejak berdiri pada tahun 2015, kegiatan Koperasi sehari-harinya adalah mengorganisir kegiatan dan aktivitas usaha nelayan di daerahnya, seperti penangkapan ikan, pembekuan ikan, hingga pengolahan ikan dengan pusat usaha di wilayah Gunung Kidul, Yogyakarta.

Fakhruddin Al Rozi, dari Divisi Cold Storage koperasi tersebut, menjelaskan bahwa koperasi menjalankan kegiatan usaha dalam beberapa kategori. Dua di antaranya adalah pengolahan ikan pindang dan pembekuan ikan menggunakan cold storage. Segmentasi pasar yang dituju pun ada dua macam, yaitu wet market (olahan tradisional) dan olahan modern.

Kedua kegiatan ini terbukti cukup banyak mendatangkan cuan bagi koperasi dan nelayan. Untuk pengolahan ikan pindang, alias ikan keranjang, mereka lakukan dengan target penjualan di pasar-pasar lokal (wet market). Menurut Fakhruddin, perputaran uang ke nelayan dari kegiatan ini termasuk cepat. “Hari ini kita masak, besok subuhnya disetor ke pemasar atau pengepul, nanti siang atau sorenya sudah dapat uang,” paparnya.

Baca Juga: Melihat Potensi Ekspor bagi UKM Indonesia

Memaksimalkan Cuan Dengan Fasilitas Cold Storage

Jika pemindangan langsung mengolah ikan yang ditangkap, beda lagi dengan kegiatan pembekuan ikan, yang terlebih dulu menyimpannya di gudang pembekuan alias cold storage. Kategori ikan yang dibekukan cukup luas, mulai dari ikan tuna, tongkol, cakalang, layur, lemadang, mahi-mahi, dan lain sebagainya. Cold storage dikelola koperasi digunakan untuk membekukan ikan, sebelum kemudian dikemas, dan diekspor. Pengelolaannya menggunakan sistem resi gudang, dan ikan-ikan setiap hari dibekukan sampai bersuhu minus 40 derajat Celcius, yang merupakan suhu standar untuk ekspor. Praktik pembekuan ini merupakan dari praktik sebelumnya yang hingga kini masih dilakukan nelayan tradisional, di mana ikan hasil tangkapan umumnya langsung dikirim ke tempat pelelangan. Dengan sistem pembekuan di mana ikan memiliki daya simpan lebih lama, pihak koperasi berharap ada nilai tambah bagi produk mereka dengan segmentasi pasar yang lebih luas.

Lebih lanjut, Fakhruddin juga menerangkan bahwa sebelum adanya cold storage di pelabuhan perikanan Sadeng, nelayan sempat merasa kesulitan untuk menjual hasil tangkapan mereka. Dulu, hasil tangkapan juga tidak bisa sebanyak saat ini, hanya berkisar 50 – 100 kg sekali berlayar. Akhirnya, Dinas Perikanan dan Kelautan kemudian membangun fasilitas cold storage di pelabuhan Sadeng untuk digunakan para nelayan. “Pada tahun 2019, berdasarkan lelang yang dilakukan dinas, pengelolaannya diserahkan kepada [koperasi] kita,” jelas Fakhruddin. Saat ini, sekali melaut mereka bisa mendapatkan hingga 9,9 ton ikan.

Saat ditanya mengenai kendala yang dialami kala mengelola cold storage dan melakukan penangkapan ikan, Fakhruddin menjelaskan bahwa sebelumnya mereka bermasalah akan pasokan es batu. Secara kuantitas, pabrik es batu yang berdomisili di Gunung Kidul tidak dapat mencukupi kebutuhan para nelayan. Sekali melaut, mereka membutuhkan 8 – 11 ton es batu, selama satu minggu, dan jumlah ini hanya untuk satu kapal. Selain itu, kualitas air di wilayah Gunung Kidul yang merupakan kawasan karst juga memiliki kandungan kapur tinggi. Namun, hal ini bisa mereka atasi dengan memasok es batu dari luar daerah, seperti Klaten, Solo, bahkan Pacitan.

Baca Juga: Standar yang Khusus untuk Unggul dalam Ekspor

Semakin Optimis Dengan Komoditas Unggulan

Komoditas yang menjadi unggulan dari Koperasi Inka Bantul VII Projo Mino saat ini adalah ikan layur, cakalang, tongkol, dan tuna. Fakhruddin juga menyebutkan bahwa mereka juga tengah mempersiapkan pengolahan ikan-ikan karang, seperti golongan udang dan lobster.

“Kami juga sedang melirik peluang untuk ekspor lobster,” papar Fakhruddin dengan bangga. Diakuinya, untuk peluang yang satu ini tentu banyak yang perlu dipelajari. Pasalnya, ekspor lobster bukanlah perkara mudah ataupun instan. Para nelayan harus diberi penyuluhan terlebih dulu tentang bagaimana cara pengolahan lobster yang baik. Serta ada pula tahapan-tahapan karantina lobster pindahan yang harus dipelajari. Agar ikan yang kita ekspor tidak menimbulkan masalah kesehatan di negara tujuan. “ Bibit-bibit ikan seperti lobster memang harus dikarantina dengan standar-standar yg harus dipenuhi,” jelasnya.

Saat ini, kegiatan ekspor yang dilakoni koperasi untuk ikan layur sudah berjalan baik, dengan tujuan utama negara Cina. Meskipun belakangan kegiatan ekspor ini dibatasi dengan alasan pandemi, namun Fakhruddin yakin bahwa ke depannya, kondisi ekspor bakal membaik, atau bahkan lebih. Apalagi dengan Yogyakarta International Airport yang baru saja selesai dibangun dan siap beroperasi, ia berharap saat pasar bebas dan jalur penerbangan ke luar negeri sudah resmi dibuka, koperasi dan para nelayan sudah siap. “Artinya, momen tersebut akan kami manfaatkan untuk lebih luas berpromosi,” ujarnya optimis.

Baca Juga : Potensi Ekspor Produk Seafood

Mengkader nelayan dan menciptakan sistem

Diakui Fakhruddin, bahwa semuanya tidak dilakukan dengan instan, melainkan berjalan seiring dengan waktu. Filosofi yang digunakan adalah gotong royong, yang mana setiap orang memakai ilmu dan keahliannya di bidang masing-masing dengan tepat. Hal ini dilakukan agar tercipta integrasi usaha kelautan dan perikanan dengan mengupayakan seluruh aset dan SDM yang ada, baik fisik maupun non-fisik.

Dalam perkembangannya, Koperasi Inka juga pernah mengalami berbagai macam kendala, terutama soal kepentingan anggota. Tidak setiap anggota mau berkoperasi, dan alasannya banyak. “Ada yang karena keberatan membayar iuran pokok dan wajib, harus datang ke pertemuan, atau harus turut membeli produk koperasi,” papar Fakhruddin. Padahal, semua itu dilakukan agar badan usaha koperasi tidak terus mandek dan kemudian mati. Untungnya, cukup banyak anggota loyal yang bertahan dan mau bekerja sama dengan koperasi sepenuhnya. Uang kas selalu terpenuhi, dan tenaga kerja koperasi saat ini berjumlah 12 orang di unit cold storage dengan kapasitas 30 ton dan 12 orang lagi di unit Sentra Pindang Sadeng dengan kapasitas 1 ton per hari. Reputasi bisnis koperasi pun semakin bagus, mulai dari keaktifan bisnis, ketaatan terhadap peraturan, hingga menjaga jejaring alias koneksi.

Baca Juga: Mengenal Phytosanitary Certificate

Koperasi Inka Bantul VII Projo Mino adalah salah satu contoh nyata bagaimana suatu sistem yang tepat mampu membantu nelayan modern naik kelas. Untuk koperasi yang prinsipnya adalah dari semua, oleh semua, dan untuk semua anggota, hal terpenting adalah kebersamaan. Kekompakan tidak dibangun dengan mudah. Tantangan utamanya adalah membujuk para nelayan untuk percaya dan bergabung dengan koperasi. Membuat mereka berkomitmen untuk sesuatu yang bahkan saat itu belum kelihatan hasilnya.

Meskipun perlahan, namun mereka berhasil mengubah mindset tradisional para nelayan, membantu mereka untuk maju, dan membangun bisnis bersama-sama. Tentunya ini bisa jadi inspirasi untuk teman-teman UMKM semua, untuk turut membangun mental kewirausahaan dan menuju bisnis yang berkelanjutan. Sebab, layaknya nelayan modern, UMKM pun juga wajib naik kelas!

Yuk ketahui cerita lengkapnya dengan tonton webinar di link ini.

Baca Juga: Siapa Bilang UKM Tidak Memerlukan Sertifikasi Halal?


Referensi :

usahasosial.com

kompas.com