
Sumber Foto: Alex Hudson di Unsplash
Menelusuri konsep “embeddedness” dan maknanya bagi UMKM Indonesia. Seorang pembeli pernah menceritakan pengalamannya begini:
Saat belanja di pasar tradisional, kadang karena penjualnya kenal sama nenek, ibu, jadi mereka pasti kasih tambahan sayur, daun bawang dan lainnya. Harga kadang miring. Kadang saya nolak juga, khawatir beliau gak dapet untung. Tapi penjualnya jawabnya gini "Gapapa, buat sedekah. Nanti saya ambil untung dari pembeli lain". Kadang juga dikhususkan buat keluarganya yang meninggal, jadi waktu ngasih sayur, lisan sambil merapal nama-nama keluarganya agar niatnya langsung tersampaikan.
Kutipan sederhana itu menggambarkan sesuatu yang nyaris hilang di dunia modern: hubungan sosial yang menjadi dasar aktivitas ekonomi. Di pasar tradisional, transaksi bukan sekadar soal harga. Ada nilai-nilai yang tertanam di dalamnya—kepercayaan, kedekatan, bahkan spiritualitas. Dan ternyata, nilai seperti itu tetap bisa (dan perlu) hidup dalam dunia bisnis digital hari ini.
Di tengah arus digitalisasi yang begitu cepat, dunia usaha berubah drastis. Transaksi kini bisa dilakukan lewat satu klik, produk bisa dijual lintas kota bahkan negara. Tapi di balik semua kemudahan itu, ada satu hal penting yang sering dilupakan: hubungan sosial dan kepercayaan antar manusia.
Dalam dunia akademik, konsep ini dikenal sebagai embeddedness, atau dalam bahasa sederhana, keterlekatan sosial dalam aktivitas ekonomi. Gagasannya sederhana tapi kuat: ekonomi tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu tertanam dalam jaringan sosial, budaya, dan nilai yang membentuk perilaku manusia.
Ekonomi yang “Tertanam” dalam Masyarakat
Dalam buku klasik The Great Transformation, ekonom dan sosiolog Karl Polanyi menjelaskan bahwa sejak dulu, kegiatan ekonomi—jual beli, produksi, barter—selalu tertanam dalam kehidupan sosial. Uang hanyalah alat, bukan tujuan utama.
Namun, ketika pasar modern tumbuh, hubungan sosial ini mulai melemah. Ekonomi seolah berjalan sendiri, seakan-akan terpisah dari manusia. Di sinilah Polanyi memperingatkan bahaya: ketika ekonomi terlepas dari masyarakat (disembedded), maka krisis kepercayaan dan ketimpangan sosial akan muncul.
Beberapa dekade kemudian, Mark Granovetter, sosiolog dari Stanford, mengembangkan teori Polanyi itu menjadi lebih modern. Ia menulis dalam jurnal American Journal of Sociology (1985) bahwa setiap tindakan ekonomi selalu terjadi dalam jaringan sosial. Orang membeli, menjual, dan berinvestasi bukan hanya karena harga, tapi karena relasi, reputasi, dan rasa percaya.
Dari Pasar Tradisional ke Marketplace Digital
Kalau Sahabat Wirausaha pernah belanja di pasar tradisional, pasti paham betul makna keterlekatan sosial ini. Penjual dan pembeli saling mengenal, bahkan seringkali bisa “bon” dulu karena sudah dipercaya.
Kini, saat semuanya beralih ke dunia digital, hubungan sosial itu tidak benar-benar hilang—hanya berubah bentuk. Di marketplace, pembeli membaca ulasan sebelum memutuskan membeli. Di media sosial, pelaku UMKM membangun hubungan lewat storytelling dan live shopping.
Penelitian terbaru yang dimuat di Nature Humanities & Social Sciences Communications (2025) menyebut fenomena ini sebagai digital embeddedness—yakni keterlekatan sosial yang hidup di ruang digital. Hubungan antar manusia kini terbentuk lewat algoritma, ulasan, dan interaksi daring.
Dengan kata lain, walau medium berubah, nilai kepercayaan tetap menjadi mata uang utama dalam bisnis digital.
Baca Juga: Zebra: Istilah Populer untuk Wirausaha Sosial yang Bangun Dampak dan Profit Bersamaan
Pelajaran dari UMKM Indonesia: Kepercayaan Sebagai Modal Sosial
Konsep embeddedness bukan cuma teori akademik. Banyak pelaku UMKM di Indonesia yang menerapkannya tanpa sadar.
Misalnya, penjual makanan rumahan yang rutin membalas pesan pelanggan dengan ramah, menulis kisah jujur di caption, dan memperlihatkan proses produksi. Atau penjual batik lokal yang mengedukasi pembeli tentang filosofi motif batiknya di TikTok.
Aktivitas ini membangun apa yang disebut modal sosial—kepercayaan, reputasi, dan hubungan manusiawi yang menjadi pembeda utama dari sekadar jualan produk.
Tulisan Irma Widyastuti di Kompasiana berjudul “Menelusuri Konsep Embeddedness di Era Serba Digital” menggambarkan hal ini dengan tepat: bahwa penjual yang mampu menciptakan kedekatan emosional dengan pelanggan lewat konten digital akan jauh lebih bertahan di tengah persaingan harga yang ketat.
Ketika Kepercayaan Diuji: Pasar Sosial di Tengah Krisis
Konsep embeddedness juga muncul saat ekonomi sedang sulit. Dalam tulisan Wahyu Darmawan berjudul “Ketika Harga Naik dan Kepercayaan Diuji”, ia menunjukkan bahwa di tengah lonjakan harga, masyarakat tetap bisa bertahan karena adanya solidaritas sosial.
Pedagang tetap memberi harga wajar pada pelanggan lama, pembeli tetap setia ke warung langganan, komunitas lokal saling menolong agar semua bisa bertahan. Di sinilah keterlekatan sosial bekerja: bukan sekadar hubungan ekonomi, tapi rasa saling memiliki dalam ekosistem usaha.
Baca Juga: Ketika Wirausaha Sosial Belum Punya Payung Hukum: Situasi, Dampak, dan Harapan
Empat Bentuk Keterlekatan Sosial dalam Dunia Bisnis
Agar lebih mudah dipahami, berikut empat bentuk utama keterlekatan sosial (embeddedness) yang bisa ditemukan di dunia usaha:
- Keterlekatan Relasional
Hubungan personal antara pelaku ekonomi, seperti penjual dan pembeli, atau antara pengusaha dan mitra kerja. - Keterlekatan Struktural
Jaringan atau komunitas yang membentuk pola kerja sama ekonomi. Misalnya, komunitas reseller, koperasi digital, atau grup wirausaha. - Keterlekatan Budaya
Nilai, tradisi, dan norma yang menjadi landasan perilaku bisnis. Contohnya budaya gotong royong, kejujuran, dan keramahan yang melekat pada UMKM Indonesia. - Keterlekatan Digital
Relasi sosial yang dibangun di dunia online: interaksi di media sosial, ulasan pelanggan, hingga algoritma rekomendasi yang menciptakan kepercayaan baru.
Strategi Bisnis Berbasis Keterlekatan Sosial
Bagi Sahabat Wirausaha, memahami konsep ini berarti belajar membangun bisnis yang manusiawi dan berkelanjutan.
Berikut beberapa strategi praktis yang bisa diterapkan:
- Bangun komunitas pelanggan.
Jangan hanya fokus menjual produk. Ciptakan ruang interaksi—misalnya grup WhatsApp, newsletter, atau forum pelanggan. - Rawat reputasi digital.
Balas ulasan pelanggan dengan sopan, jujur soal kualitas produk, dan jadikan testimoni sebagai bukti kepercayaan. - Buat konten yang membangun relasi.
Ceritakan proses di balik produk, siapa orang di balik usaha, dan nilai apa yang kamu pegang. - Kolaborasi dengan pelaku usaha lain.
Kolaborasi bukan hanya memperluas pasar, tapi juga memperkuat jaringan sosial antar-UMKM. - Pahami nilai lokal.
Cerita lokal, filosofi budaya, dan identitas daerah adalah aset yang tak bisa digantikan mesin pencari atau AI.
Kekuatan Keterlekatan di Tengah Disrupsi
Di masa pandemi, banyak UMKM yang bertahan bukan karena modal besar, tapi karena modal sosial. Data polling UKMIndonesia.id tahun 2024 menunjukkan bahwa 63% pelaku usaha mikro merasa “dukungan sosial” dari pelanggan dan komunitas menjadi faktor utama mereka bertahan.
Ketika dunia usaha makin kompetitif dan digitalisasi melaju, kepercayaan menjadi mata uang yang semakin langka. Tapi bagi mereka yang mampu menjaganya, keterlekatan sosial justru menjadi sumber kekuatan baru.
Penutup: Ekonomi yang Lebih Manusiawi
Keterlekatan sosial—atau embeddedness—mengingatkan kita bahwa bisnis bukan hanya soal untung rugi. Di balik setiap transaksi, ada hubungan antar manusia yang tak ternilai harganya.
Bagi Sahabat Wirausaha, memahami ini berarti membangun bisnis yang tidak hanya tumbuh, tapi juga dipercaya. Karena di dunia digital yang serba cepat, yang paling bertahan bukan yang paling murah, tapi yang paling dipercaya.
Jika artikel ini bermanfaat, mohon berkenan bantu kami sebarkan pengetahuan dengan membagikan tautan artikelnya, ya!
Bagi Sahabat Wirausaha yang ingin bergabung dengan Komunitas UMKM di bawah naungan kami di UKMIndonesia.id - yuk gabung dan daftar jadi anggota komunitas kami di ukmindonesia.id/registrasi. Berkomunitas bisa bantu kita lebih siap untuk naik kelas!
Referensi:
- Irma Widyastuti, Menelusuri Konsep Embeddedness di Era Serba Digital, Kompasiana.
- Wahyu Darmawan, Ketika Harga Naik dan Kepercayaan Diuji, Kompasiana.
- Karl Polanyi, The Great Transformation (1944).
- Mark Granovetter, Economic Action and Social Structure: The Problem of Embeddedness (1985).
- W. Wang et al., Digital Embeddedness and Poverty Vulnerability, Nature Humanities and Social Sciences Communications (2025).









