Buat kebanyakan orang, mengeksploitasi alam adalah keniscayaan. Dalam benak mereka, kalau ekonomi mau maju, maka bagaimanapun alam harus dimanfaatkan, dan dalam pemanfaatan itu sudah sewajarnya kalau mutu lingkungan kemudian menjadi turun. Bahkan, kerusakan alam dipandang sebagai sesuatu yang normal, sepanjang ekonomi kemudian bisa tumbuh. Tetapi apakah logika ini bisa dipertahankan?
Tampaknya tidak. Kalau alam dibuat terus turun mutunya, lalu sampai pada kondisi kerusakan yang parah, tak akan ada kehidupan yang bisa ditopang. Tak akan ada manusia—dan makhluk lainnya—yang bisa hidup, apalagi hidup sejahtera. Sejak lama ekonom lingkungan Herman Daly menantang kita semua untuk menunjukkan di mana kesejahteraan bisa timbul di tempat yang alamnya rusak. Tak ada yang pernah berhasil hingga sekarang, tentu saja.
Pertanyaannya kemudian, kalau kita sudah mengetahui hasil akhirnya adalah kepunahan, mengapa kebanyakan bisnis komersial—dan sebagian besar pemangku kepentingannya—tak kunjung paham kebenaran postulat bahwa bisnis yang berkelanjutan haruslah bersifat konservatif (menjaga kondisi alam yang masih baik) dan restoratif (memerbaiki kondisi alam yang rusak)?
Ide itu sendiri sama sekali tidak baru. Dame Anita Roddick menyatakannya ketika mendirikan The Body Shop di tahun 1976. Bisnis kosmetika berbasiskan bahan-bahan alamiah tentu saja hanya akan bisa bertahan bila bahan-bahan itu tetap terjaga kelestariannya. Dan itulah yang persis diupayakan The Body Shop.
Oleh karenanya, perusahaan ini sangat menekankan pada pencarian sumber-sumber yang lestari. Mereka juga bekerja bersama dengan para pendamping kelompok-kelompok masyarakat yang memasok bahan baku untuk meningkatkan kapasitas konservasi dan restorasinya. Agar masyarakat pemasok tidak terpancing untuk melakukan eksploitasi, The Body Shop juga mempraktikkan perdagangan yang adil (fair trade), yang membuat mereka menerima pembayaran yang lebih baik.
Ketika banyak orang mencibir, meragukan bahwa komitmen itu bisa membawa kesuksesan, Dame Roddick mengeluarkan pernyataannya yang paling terkenal: “The business of business should not just be about money, it should be about responsibility. It should be about public good, not private greed.” Kebanyakan pebisnis maupun masyarakat awam ketika itu tak paham. Namun, sekarang, dengan kerusakan lingkungan yang jauh lebih nyata, orang menjadi paham bahwa pernyataan Dame Roddick benar adanya.
Tapi, apakah kemudian hal itu bisa dipertahankan oleh The Body Shop sendiri? Banyak pihak yang meragukannya ketika perusahaan ini dibeli oleh raksasa kosmetik Prancis, L’Oreal. Pembelian seharga lebih dari USD1 miliar itu diperkirakan akan membuat perubahan besar, menggeser The Body Shop menjadi perusahaan komersial biasa, yang dituntun oleh kepentingan maksimisasi keuntungan, menjauh dari idealisme Dame Roddick.
Banyak pihak yang melihat model bisnis selaras alam itu terkikis pada permulaan akuisisi itu. Tapi yang kemudian terjadi sungguhlah mengagetkan. L’Oreal malahan yang berubah menjadi jauh lebih sadar terhadap dampak lingkungannya. Ini sama persis dengan apa yang terjadi ketika perusahaan sosial Ben & Jerry’s dibeli Unilever. Bukan Ben & Jerry’s yang berubah, melainkan Unilever-lah yang belajar. Kedua perusahaan ini mengajari induknya alifbata bisnis yang berkelanjutan.
Tahun 2016 ini The Body Shop berusia 40 tahun. Untuk peringatan ulang tahunnya perusahaan ini meluncurkan kampanye Enrich Not Exploit, disertai dengan target-target ambisius dan terukur, yang mencerminkan idealisme Dame Roddick. Di antara targetnya adalah pada tahun 2020 seluruh energi yang dipergunakan oleh seluruh toko mereka akan 100% terbarukan atau netral karbon, itupun akan terus dipangkas 10% setiap tahunnya. Target bahan bakunya juga demikian, 100% akan bisa dilacak dari sumber-sumber lestari, sambil menjaga 10.000 hektare hutan dan habitat lainnya.
Data menunjukkan bahwa rerata umur perusahaan multinasional di Fortune 500 hanyalah 40 tahun. Dengan model bisnis selaras alamnya, The Body Shop jelas akan jauh melampauinya. Sudah seharusnya perusahaan-perusahaan lain bisa belajar dari mereka.
Sumber:
Artikel ini pernah dimuat di KONTAN tanggal 7 April 2016
Penulis: Jalal dan Wahyu Aris Darmono (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA)