Gulung Tikar, Gagal Adaptasi, hingga Gagal Branding - Tupperware dulunya dikenal sebagai merek yang sukses dan diakui di seluruh dunia dengan produk yang inovatif dan kualitas yang baik. Namun, seiring berjalannya waktu, Tupperware mengalami penurunan penjualan sehingga terancam bangkrut.
Artikel ini akan mengupas penyebab bangkrutnya Tupperware dan pembelajaran yang dapat kita ambil dari kasus ini. Mari membaca hingga tuntas!
Tupperware Gulung Tikar, Penjualan Turun Drastis karena Gagal Menarik Konsumen
Penjualan produk merek Tupperware mengalami penurunan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu faktor utama yang menyebabkan penjualan merek Tupperware menurun adalah persaingan yang ketat di pasar.
Dalam beberapa tahun terakhir, ada banyak merek lain yang juga menawarkan produk wadah plastik yang serupa, bahkan dengan harga yang lebih terjangkau. Merek-merek seperti Lock & Lock, IKEA, dan Pyrex semakin populer dan menarik minat konsumen.
Merek lain tersebut menawarkan inovasi dalam desain dan kualitas produk yang sama atau bahkan lebih baik dibandingkan Tupperware. Ini membuat konsumen cenderung beralih ke merek lain, yang menurunkan penjualan Tupperware.
Contoh konkrit dari persaingan yang ketat adalah ketika IKEA mengeluarkan rangkaian wadah plastiknya yang disebut “IKEA 365+”. Produk ini memiliki desain yang minimalis dan modern dengan harga yang lebih terjangkau dibandingkan Tupperware.
Selain itu, IKEA menawarkan inovasi dengan penanda kalender yang dapat diputar pada tutup wadah sehingga konsumen dapat dengan mudah mencatat tanggal kadaluwarsa makanan. Hal ini membuat banyak konsumen lebih memilih produk IKEA daripada Tupperware.
Masalah internal dalam perusahaan juga dapat menyebabkan penjualan Tupperware turun drastis. Salah satu masalah internal adalah kebijakan pemasaran yang tidak efektif. Tupperware seringkali mengandalkan sistem penjualan langsung yang melibatkan agen-agen penjualan independen. Namun, sistem ini tidak efektif lagi karena konsumen cenderung membeli produk secara online.
Gagal Beradaptasi dengan Pasar Konsumen Muda
Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh Tupperware adalah gagal beradaptasi dengan pasar konsumen muda, khususnya Generasi Z. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Perubahan Tren Konsumen
Konsumen muda cenderung memiliki preferensi dan kebutuhan yang berbeda dari konsumen yang lebih tua. Mereka lebih cenderung memilih produk yang ramah lingkungan, mudah digunakan, dan memiliki desain yang menarik.
Hal ini menjadi tantangan bagi Tupperware yang produknya terutama terdiri dari wadah plastik yang meskipun ramah lingkungan tetapi kurang menarik bagi konsumen muda. Kekurangan ini membuat Tupperware sulit bersaing dengan merek lain yang menawarkan produk yang lebih sesuai dengan kebutuhan konsumen muda.
2. Kurangnya Upaya Berkomunikasi dengan Konsumen Muda
Generasi Z cenderung mengandalkan media sosial dan platform online untuk mencari informasi tentang merek dan produk, sedangkan Tupperware tidak cukup aktif di media sosial dan tidak berkomunikasi dengan konsumen muda. Akibatnya, Tupperware kehilangan kesempatan untuk membangun kesadaran merek dan memperoleh pengaruh positif dari konsumen muda.
Contoh yang relevan tentang Tupperware yang gagal beradaptasi dengan Gen-Z adalah ketika merek ini tidak memperbarui produknya untuk memenuhi kebutuhan konsumen muda. Sebagai contoh, Tupperware masih menawarkan produk dengan desain yang tradisional dan terbatas dalam warna dan ukuran. Hal ini dapat membuat produk terlihat kurang menarik bagi konsumen muda yang lebih memilih produk dengan tampilan menarik dan mudah disesuaikan dengan gaya hidup mereka.
3. Citra yang Kaku dan Kurang Trendy di Kalangan Konsumen Muda
Merek Tupperware cenderung dianggap sebagai merek yang lebih dikenal oleh orang tua atau generasi sebelumnya. Citra merek Tupperware yang kurang trendy dan kurang diminati oleh konsumen muda. Hal ini juga berkaitan dengan faktor sebelumnya yaitu kurang membangun brand awareness di media sosial kepada konsumen muda.
4. Harga
Selain itu, faktor harga juga mungkin menjadi salah satu faktor yang membuat konsumen muda tidak menyukai produk Tupperware. Produk-produk Tupperware cenderung memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan merek-merek lain yang mungkin lebih terjangkau bagi konsumen muda. Hal ini membuat konsumen muda lebih memilih untuk membeli merek lain yang lebih terjangkau dan sejalan dengan preferensi mereka.
5. Gagal Rebranding
Sahabat Wirausaha, rebranding tidak selalu berhasil bagi setiap merek. Tupperware yang kini terancam bangkrut juga mengalami kegagalan dalam melakukan rebranding. Pada tahun 2013, Tupperware mencoba untuk merebranding mereknya dengan menambahkan kata "Brands" di belakang merek "Tupperware".
Sumber: 3.bp.blogspot.com
Upaya ini dilakukan untuk memperluas jangkauan bisnis Tupperware dan mengubah citra mereknya menjadi lebih modern dan inovatif. Namun, upaya ini dianggap kurang berhasil dan tidak terlalu berpengaruh pada citra merek Tupperware di mata konsumen.
Pada tahun 2016, Tupperware meluncurkan kampanye rebranding baru yang disebut "Confidence Becomes You". Kampanye ini bertujuan untuk memperkenalkan Tupperware sebagai merek yang lebih modern dan mengesankan, dengan fokus pada produk-produk yang ramah lingkungan dan dapat digunakan secara berulang-ulang.
Namun, kampanye rebranding ini dianggap gagal karena banyak kritikus dan konsumen yang menganggap bahwa kampanye ini tidak tepat sasaran dan kurang menggugah perhatian. Beberapa kritikus bahkan menyebut kampanye ini "biasa saja" dan "tidak berbeda dengan merek-merek lain".
Masalah utama dari kampanye rebranding ini adalah bahwa Tupperware tidak berhasil mengomunikasikan pesan utama mereknya dengan jelas dan efektif. Kampanye "Confidence Becomes You" tampaknya terlalu umum dan tidak terlalu relevan dengan produk-produk Tupperware, yang dikenal lebih dari sekadar "membangun kepercayaan diri".
Selain itu, kampanye rebranding ini juga kurang mendapat dukungan dari konsumen setia Tupperware yang lebih mengenal merek ini sebagai produsen wadah penyimpanan berkualitas tinggi daripada sebagai merek yang membangun kepercayaan diri.
Kegagalan kampanye rebranding ini juga memperlihatkan bahwa Tupperware kesulitan untuk beradaptasi dengan perubahan tren dan preferensi konsumen yang lebih muda dan modern. Tupperware masih mempertahankan citra lama sebagai merek yang lebih ditujukan untuk ibu rumah tangga dan penggunaan di dapur, meskipun sebenarnya produk-produknya dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Akibatnya, Tupperware gagal untuk menarik perhatian konsumen muda dan baru, dan tidak berhasil memperluas pangsa pasarnya ke segmen konsumen yang lebih luas.
Sumber: rebrand.com
Kegagalan Branding, Apa Penyebabnya?
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka ada beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan rebranding Tupperware antara lain:
1. Kesalahan dalam Strategi Pemasaran
Tupperware tidak berhasil memperkenalkan merek baru ini dengan baik kepada konsumen dan tidak berhasil menarik minat konsumen dengan baik. Kampanye pemasaran yang dilakukan terlalu fokus pada produk dan fiturnya, tanpa memperhatikan kebutuhan dan preferensi konsumen.
2. Tidak Konsisten dengan Merek Tupperware yang Sudah Ada
Merek baru "Chain of Confidence" tidak terlihat terkait dengan merek Tupperware yang sudah ada sehingga konsumen tidak menganggap merek baru ini sebagai bagian dari merek Tupperware.
3. Terlalu Fokus pada Citra, Bukan Kualitas Produk
Merek baru ini lebih fokus pada citra dan pesan yang ingin disampaikan, bukan pada kualitas produk. Konsumen lebih memperhatikan kualitas produk daripada citra merek.
Kegagalan Tupperware, Apa Pembelajaran yang Bisa Kita Ambil?
Terdapat beberapa pembelajaran yang dapat kita pelajari dari kasus Tupperware yang sudah kita bahas sebelumnya, yaitu:
1. Pentingnya Adaptasi Terhadap Tren dan Preferensi Konsumen
Tupperware gagal dalam kampanye rebrandingnya karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan tren dan preferensi konsumen yang lebih modern. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya suatu bisnis mengikuti perubahan tren dan preferensi konsumen yang sedang berkembang dan berusaha untuk menyesuaikan produk dan strategi pemasaran dengan perubahan tersebut.
Penting bagi kita untuk mengenali konsumen dengan baik, apa tren yang sedang mereka sukai, bagaimana preferensi dan perilaku mereka menyikapi tren tersebut. Hal ini akan membantu kita untuk mengembangkan produk yang tepat dan menerapkan strategi pemasaran yang efektif.
2. Bangun Koneksi dengan Konsumen
Tupperware kurang berhasil dalam kampanye rebrandingnya karena tidak berhasil membangun koneksi yang kuat dengan konsumen. UMKM harus aktif dalam membangun hubungan dengan konsumen dan memperkuat koneksi brand dengan mereka melalui interaksi yang berkelanjutan, promosi, dan kampanye pemasaran.
Pastikan untuk aktif membangun hubungan dengan konsumen melalui media sosial, email, ataupun interaksi langsung. Sahabat Wirausaha bisa mencontoh salah satu brand kuliner bernama Mie Gacoan yang kerap lakukan interaksi secara aktif dengan konsumen melalui media sosial dan ajak mereka untuk berpartisipasi dalam komunitas pelanggan.
3. Berfokus pada Keunggulan Produk
Meskipun Tupperware dikenal sebagai merek yang berkualitas tinggi, kampanye rebrandingnya kurang fokus pada keunggulan produk tersebut. Sebagai UMKM, penting untuk membangun citra merek yang kuat dan konsisten dengan keunggulan produk yang ditawarkan.
Pastikan untuk memfokuskan merek pada keunggulan produk yang ditawarkan. Misalnya, jika Sahabat Wirausaha menjual produk makanan organik, pastikan untuk mempromosikan kualitas organik dan nilai gizi yang baik dari produknya.
4. Komunikasikan Pesan Merek yang Jelas dan Efektif
Salah satu kesalahan utama Tupperware dalam kampanye rebrandingnya adalah tidak mampu mengomunikasikan pesan merek yang jelas dan efektif. UMKM harus memastikan bahwa pesan merek mereka mudah dipahami oleh konsumen dan sesuai dengan nilai-nilai merek yang ingin disampaikan.
Pesan merek harus memperjelas keunggulan produk kita dan menggambarkan nilai-nilai merek yang ingin disampaikan. Misalnya, merek Starbucks dikenal dengan kopi berkualitas tinggi yang berasal dari petani kecil di seluruh dunia dan dengan suasana kedai kopi yang nyaman dan santai. Starbucks secara konsisten menyampaikan kesan ini selama bertahun-tahun sehingga punya positioning yang kuat di benak pelanggan.
Kasus Tupperware mengajarkan kepada kita bahwa merek yang pernah sukses pun bisa mengalami kesulitan jika tidak mampu beradaptasi dengan perubahan pasar dan tren konsumen.
Dengan melakukan hal-hal tersebut, semoga Sahabat Wirausaha dapat menghindari kesalahan yang sama dan membangun merek yang sukses dan tahan lama.