Hand drawn flat core values background

Ada banyak pertanyaan yang kerap diajukan terkait bisnis sosial. Salah satu pertanyaan paling menarik adalah bagaimana mengubah perusahaan yang telah terlebih dahulu eksis dengan model bisnis komersial menjadi bisnis sosial. Rupa-rupanya, cukup banyak pebisnis komersial yang kemudian tertarik untuk melakukan transformasi, alih-alih membuat perusahaan baru.

Baca Juga: Pengertian Social Capital

Karena bisnis sosial dan bisnis komersial sama-sama memanfaatkan mekanisme pasar, maka perbedaannya adalah pada motivasi memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat; pemanfaatan inovasi sosial; proses produksi dan produk yang ramah secara ekonomi, sosial dan lingkungan; reinvestasi sebagian besar keuntungan; obsesi pada pengukuran manfaat sosial dan keuntungan finansial; dan akuntabilitas terhadap seluruh pemangku kepentingan.

Tidak keseluruhan perbedaan itu bisa diselesaikan dalam kurun waktu yang sama. Biasanya, pebisnis komersial yang tertarik dan ingin mengubah bisnisnya menjadi bisnis sosial telah mengalami perubahan motivasi terlebih dahulu. Jadi, masalah motivasional ini kemungkinan besar memang sudah selesai ketika niat itu sudah terungkap. Namun demikian, biasanya memang kejelasan motivasi itu masih perlu dituangkan dalam pernyataan visi dan misi, agar bisa dipahami oleh mereka yang bekerja di perusahaan itu.

Baca Juga: Ekonomi Sirkular dan Bisnis Sosial

Biasanya, yang menjadi hal berikutnya diselesaikan adalah bagaimana mengubah proses produksi dan produknya menjadi ramah ekonomi, sosial, dan lingkungan. Walaupun tidak selalu demikian, bisnis komersial memiliki kepedulian sosial dan lingkungan yang lebih rendah dibandingkan dengan bisnis sosial. Secara rerata, bisnis komersial berusaha untuk memenuhi regulasi bila memang terdapat risiko dari tidak mematuhinya, namun cenderung abai bila tak ada risikonya. Sebaliknya, bisnis sosial biasanya menjadikan regulasi sekadar sebagai patokan minimal.

Sebuah restoran yang ingin berubah menjadi bisnis sosial, misalnya ingin memecahkan masalah malnutrisi di sekitar wilayah operasinya, sangat penting untuk melihat sepanjang rantai nilainya apa saja perbaikan yang bisa dilakukan. Pada proses produksi, yang sangat penting adalah memastikan bahwa sebagian besar—kalau belum bisa seluruh—pasokannya adalah hasil dari pertanian berkelanjutan. Berasnya sebaiknya dipastikan beras sehat tanpa pupuk dan obat kimia atau bahkan organik tersertifikasi, demikian juga dengan bahan-bahan lainnya. Produknya harus dipastikan tidak membahayakan kesehatan konsumennya, melainkan menjadi asupan yang menyehatkan.

Baca Juga: Bisnis Sosial untuk Ekonomi yang Inklusif

Perubahan proses produksi dan produk itu sangat terkait erat dengan inovasi sosial. Inovasi—yang berarti baru dan lebih baik—tersebut harus membawa keuntungan kepada sebanyak mungkin mereka yang terlibat dalam rantai nilai bisnis sosial. Dalam contoh restoran tersebut, akan menjadi sangat baik kalau restoran itu membeli langsung dari para petani yang menerapkan pertanian berkelanjutan dalam skema perdagangan yang adil (fair trade). Kalau mungkin mendukung para petani itu untuk mendapatkan berbagai sertifikat produk pertanian organik, tentu lebih bagus lagi. Dengan sertifikat tersebut, para petani bisa meluaskan pemasaran produknya, tidak terbatas pada bisnis dengan restoran itu. Inovasi lainnya misalnya terkait dengan penerapan mekanisme subsidi silang, sehingga restoran itu bisa menolong mereka yang kurang beruntung.

Bagian berikutnya yang bisa berubah adalah pengukuran kinerja. Seluruh bisnis komersial melakukan pengukuran kinerja finansial, terutama yang terkait dengan keuntungan. Namun, bisnis sosial menyaratkan pengukuran yang lain lagi, yaitu manfaat sosial bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses produksinya, konsumen, serta masyarakat secara umum. Mereka yang hendak menjadikan perusahaannya menjadi bisnis sosial perlu untuk bersikeras melakukan pengukuran ini.

Baca Juga: Apa itu Sociopreneur?

Ada banyak metode pengukuran manfaat sosial itu, termasuk yang mengukurnya dengan nilai finansial, seperti Social Return on Investment (SROI). Jagad metode pengukuran manfaat sosial ini terus berkembang dan semakin banyak yang bisa dipilih, sesuai dengan kemampuan masing-masing pihak yang mau melakukannya, dan sumberdaya yang bersedia dikeluarkan. Yang jelas, secara formal haruslah dipilih salah satu metode yang dianggap paling sesuai.

Yang biasanya paling sulit untuk diubah secara cepat adalah pengurangan proporsi dividen bagi pemilik modal, karena bisnis sosial menyaratkan reinvestasi sebagian besar keuntungan. Menunjukkan akuntabilitas kepada seluruh pemangku kepentingan—bukan cuma kepada pemilik modal—juga bukan hal yang mudah dilakukan. Namun, kedua hal ini tidak seharusnya menjadi penghalang bila memang hendak melakukan transformasi menjadi bisnis sosial.

Jika merasa artikel ini bermanfaat, yuk bantu sebarkan ke teman-teman Anda. Jangan lupa untuk like, share, dan berikan komentar pada artikel ini ya Sahabat Wirausaha.


Sumber:

Artikel ini pernah dimuat di surat kabar KONTAN, pada tanggal 28 Januari 2016.