C:\Users\Public\Videos\Downloads\Kuklak2.jpg

Sumber : Dikirim dari Ibu Shelly, Owner dan Founder SALAKU, via WhatsApp.

Sebagai salah satu buah yang berstatus endemik di Indonesia, salak bukan lagi hal asing bagi kita. Di dapur-dapur dan ruang makan tiap rumah, buah ini lazim kita temukan bertengger manis, menunggu disuguhkan dan dikupas serta dinikmati bersama kopi. Pendek kata, kehadiran salak sebagai kudapan adalah hal yang biasa dalam keseharian kita. Namun, mengonsumsinya dalam bentuk brownis dan kerupuk adalah perkara lain.

SALAKU, sebuah UKM yang dimotori oleh Shelly, adalah salah satu pelopor cara baru dalam mengonsumsi salak. Lewat inovasi resep dan cara pengolahannya, SALAKU mampu menawarkan salak dalam berbagai rupa berbeda. Mulai dari brownies, kukis, kerupuk, hingga sambal ebi. Masing-masing punya citarasa sendiri yang tak kalah dari olahan buah lainnya. Didirikan dengan modal kecil, saat ini jangkauan pasar SALAKU mampu mencapai skala nasional dan mancanegara.


Mengubah Buah Favorit Keluarga Jadi Sumber Cuan

Sejatinya, Shelly bukanlah pemain baru dalam dunia bisnis. Sejak keluar dari tempatnya bekerja di tahun 2010, ia sudah mencoba berbagai jenis usaha untuk menopang kebutuhan ekonomi keluarga. Mulai dari membuka warung mie ayam, restoran ayam bakar, toko kelontong, hingga menjual berbagai kebutuhan ibu dan bayi. Namun, keberuntungan datang padanya saat memutuskan untuk mengelola bisnis berbahan dasar buah salak.

Baca juga: Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik

Di tahun 2016, saat rumah tangganya mengalami kesulitan finansial, Shelly kembali mencari ide bisnis yang bisa ia jadikan sumber penghasilan. “Kebetulan, di tahun itu saya sudah mulai ikut banyak pelatihan-pelatihan kan. Lagi cari ide mau jual apa, bisnis apa, dengan modal yang seadanya,” cerita Shelly. Mengikuti bnayak pelatihan membuatnya sadar, bahwa bisnis yang punya kesempatan besar untuk bertahan haruslah punya nilai unik tersendiri.

Pada suatu sore, Shelly pulang ke rumah dan mendapati buah salak di dapurnya. Belakangan, buah ini memang menjadi salah satu favorit anak bungsunya yang masih kecil. Mulai terpikir olehnya, bagaimana buah salak yang kaya akan vitamin dan mineral itu belum banyak diolah sebagai bahan makanan lain. Jika dimanfaatkan dengan tepat, tentu buah salak bisa menjadi produk kuliner yang bernilai jual tinggi. Ia tak salah.

Akhirnya, Shelly mulai meramu beberapa resep awal untuk mengolah salak menjadi kudapan berbentuk lain. “Nah kebetulan basic-nya kita adalah orang kuliner, dicoba-coba lah dulu salak itu saya bikin brownis,” tutur Shelly. Di luar dugaan, brownies salak yang menjadi produk perdana SALAKU disambut baik oleh khalayak ramai.

Baca juga: Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT

Menurut Shelly, salah satu alasan keberhasilannya adalah momen yang tepat. “Saya ngeluarin brownies salak itu pada saat bulan puasa,” paparnya. Faktor lainnya, adalah status Shelly yang sangat aktif di sosial media Facebook, tempatnya mempromosikan brownies tersebut. Lewat followers yang sudah banyak, iklan produk ini menyebar cepat dan mengundang banyak orang untuk memesannya.

Ia juga mem-branding brownies salak miliknya sebagai salah satu oleh-oleh khas Bekasi. “Meskipun salak itu bukan buah asli Bekasi ya. Tapi karena saya merasa sebagai warga asli yang lahir di Bekasi, saya mem-branding-nya bahwa SALAKU itu adalah produk oleh-oleh khas Bekasi,” ujar Shelly. Strategi ini bekerja dengan baik. Sejak itu, banyak pelanggan memesan produk SALAKU untuk dibawa pulang ke kampung halaman mereka.

Menjajal Konsep Zero Waste dan Inovasi Tanpa Batas

Mengolah buah salak menjadi berbagai kue dan camilan populer bukanlah hal sederhana. Resep dan proses produksi yang tidak tepat bisa saja menghasilkan rasa kurang enak. Karenanya, dibutuhkan inovasi yang kuat dan inilah yang dimiliki Shelly dalam membuat produk SALAKU.

Baca Juga: 10 Wirausaha Inovatif yang Ramah Lingkungan

Produk pertama SALAKU, brownies salak, dibuat seperti jenis olahan kue pada umumnya, dicampur menggunakan mixer dan dipanggang menggunakan oven. Kekuatannya terletak pada rasa buah salak dan resep khas Shelly yang dibubuhkan pada potongan-potongan buah salak sebelum kemudian dicampurkan ke dalam adonan. Resep ini menjadikan brownies SALAKU bercitarasa unik.

Selanjutnya, Shelly juga mengeluarkan produk kukis, yang proses membuat adonannya kurang lebih sama dengan brownis, hanya saja lebih sulit. “Kita sesuaikan ke jenis makanannya misal brownis hanya dipotong2 klo kukis dihaluskan atau dicincang halus agar menyatu dengan adonan,” jelas Shelly. Ia kemudian juga membuat produk yang lebih menantang, seperti pie, asinan, dan sari buah salak.

Tantangan selanjutnya ada pada pembuatan kerupuk. “Yang paling sulit lebih ke kukis dan kerupuk kak karena harus menemukan komposisi yang pas karena kerupuk harus renyah,” papar Shelly. Sebagai buah yang mengandung banyak air, adonan salak untuk kerupuk harus direbus, didiamkan, dipotong, dijemur, baru kemudian digoreng. Jika dilakukan dengan jumlah waktu yang pas, proses ini akan menghasilkan kerupuk yang renyah.

Baca Juga: Apa itu Product Adaptation?

Di tahun 2018, Shelly kembali berinovasi dengan membuat kopi dan teh salak dari sampah organik sisa-sisa produksinya. Inovasi ini ia buat agar SALAKU menjadi usaha yang menghasilkan zero waste alias nihil limbah. Ide ini awalnya datang dari keinginan Shelly untuk tidak meninggalkan limbah di tempat produksi yang masih berlokasi di dalam perumahan. Berangkat dari pengetahuan bahwa biji dan kulit salak bisa diolah menjadi bubuk minuman seduh, maka Shelly menerapkan inisiatif nihil limbah tersebut. Pengolahannya, tentu saja memerlukan praktik khusus. “Kita pake mesin dehydrator utk dikeringkan dan dimatangkan lalu dihaluskan sampe menjadi bubuk kopi dan bubuk teh salak,” papar Shelly.

Yang paling anyar, ia juga bereksperimen dengan menciptakan sambal ebi salak, yang sedikit mirip dengan sambal mangga. Untuk membuatnya, Shelly menambahkan salak yang sudah dipotng kecil-kecil sedemikian rupa ke dalam sambal biasa, dan membubuhkan ebi sebagai penggurihnya.

Sambal Ebi Salak (Tokopedia)

Membawa Olahan Salak ke Pasar Internasional

Kita semua tahu, mengembangkan bisnis tak semudah membalikkan telapak tangan. Dalam perjalanannya membesarkan SALAKU, Shelly mengaku melewati banyak proses dan tantangan. Awalnya, ia mengikuti banyak pelatihan, baik yang diadakan oleh komunitas lokal maupun pelbagai kementerian. “Di awal-awal ada komunitas perempuan tempat saya belajar pendampingan, lalu ada dari Kementrian Koperasi dan Kemenparekraf,” ceritanya.

Baca Juga: Potensi Ekspor Makanan Olahan Kemasan Dari Indonesia

Di tahun 2016 hingga 2018, Shelly dan tim mulai menguatkan branding SALAKU sebagai merk yang memperkenalkan “Cara Enak Makan Salak”. Ia mengikuti banyak kompetisi-kompetisi kewirausahaan dan pendampingan wirausaha. Tanpa lelah, ia mempromosikan produk-produknya ke masyarakat yang masih ragu bahwa olahan salak bisa seenak olahan buah lainnya. “Kita edukasi pasar dengan postingan-postingan di media sosial berupa product knowledge dengan tagline kita tadi,” ujarnya. Di setiap pameran, Shelly selalu menyediakan tester produk agar calon konsumen bisa langsung merasakan lezatnya olahan SALAKU. Alhasil, dengan branding yang baik dan konsisten, olahan salak buatan Shelly segera mendapat tempat sendiri di hati masyarakat.

Di masa-masa awal ini, ia menghadapi berbagai tantangan selagi mengenal lebih dalam karakter buah salak. Pertama, adalah perihal masa ketahanan buah tersebut sebagai bahan baku utama. “Salak jenis buah yang cepat busuk, nggak bisa disimpan lama,” jelasnya. Untuk mengatasi hal ini, Shelly langsung mengolah semua bahan baku yang datang sesegera mungkin. Masalah selanjutnya adalah aroma salak yang tidak sekuat buah lainnya. “Jadi tantangan buat saya pencipta resep gimana caranya membuat olahan yg orang tau itu adalah olahan salak,” ujar Shelly.

Pada 2019, SALAKU mulai menyasar pasar yang lebih luas, dengan memasuki ranah penjualan online dan marketplace. Di tahun tersebut, Shelly mengaku angka penjualannya meningkat drastis, bahkan hingga mencapai 70 persen. Jangkauan pasar pun mulai melebar ke skala nasional.

Baca Juga: Membedah Platform E-Commerce untuk UKM Ekspor

Dua tahun selanjutnya, SALAKU menghadapi masa-masa berat saat pandemi menyerang Indonesia. Penjualan jatuh hingga 60 persen dan menghambat jalannya produksi. “Tapi banyak program-program kewirausahaan yang tetap kita ikuti supaya bisa eksis dan dalam beberapa di antaranya kita termasuk peserta terpilih, bahkan dapet juara,” cerita Shelly. Selain itu, ia juga menguatkan penjualan produk sambal ebi salak di beberapa marketplace. Kedua hal tersebut sukses membantu SALAKU bertahan dua tahun belakangan.

Meski sempat kesulitan bertahan, namun pengembangan brand SALAKU berjalan cukup sukses. Dari awal merintis yang masih mengandalkan promosi dari mulut ke mulut melalui Facebook, saat ini SALAKU sudah eksis di berbagai sosial media. Di marketplace, ketersediaan produk mereka pun selalu terjamin. “Ditambah expo dan bazzar, sama masuk ke vending machine jaringan INA Product,” papar Shelly.

Dari segi legalitas pun, SALAKU terus melengkapi dokumen-dokumen yang diperlukan untuk memasuki pasar internasional. “Saat ini sedang proses legalitas HACCP dan sertifkat BPOM,” papar Shelly. Tempat produksi mereka pun tengah dibesarkan lantaran kapasitas produksi yang juga mengalami peningkatan.

Baca Juga: Siapa Bilang UKM Tidak Memerlukan Sertifikasi Halal?

Di akhir tahun 2022 ini, SALAKU juga sedang mempersiapkan diri memasuki pasar retail nasional dan menyasar pasar ekspor. “Kami meluncurkan Kukis Salak Aren dan Kerupuk Salak dengan kemasan baru,” tutur Shelly. Untuk jangkauan ekspor, SALAKU mengandalkan produk Kukis dan Kerupuk Salak untuk masuk ke pasar Dubai serta Singapura tahun ini.

Di masa depan, Shelly berharap produk-produk SALAKU yang bercitarasa lokal bisa terus mengembangkan jangkauannya di pasar global. Tak hanya itu, ia juga memimpikan pabrik besar yang bisa ditempatinya sebagai pusat produksi yang lebih besar. Sisi kemanusiaan pun ingin dijangkaunya dengan meningkatkan kesejahteraan pekerja perempuan dan petani lokal. “Ditambah, saya ingin lebih banyak mempekerjakan perempuan-perempuan yang butuh penghasilan dan bisa menjadi mitra petani salak di pedalaman,” paparnya.

Dimulai dari bisnis bermodal minim, SALAKU mampu membuktikkan kiprahnya mengolah Salak, buah khas Nusantara, sebagai produk yang bertaji di pasar dunia. Cita-citanya menuju konsep bisnis keberlanjutan pun menegaskan peran penting UKM dalam mendukung kesejahteraan petani lokal dan perempuan Indonesia.

Saatnya UKM Naik Kelas!

Baca Juga: Potensi UMKM Purbalingga Menembus Pasar Ekspor


Referensi :

Wawancara langsung dengan Ibu Shelly, Owner dan Founder SALAKU via WhatsApp di bulan Desember 2021.