Penelitian mengenai bisnis sosial dan perusahaan sosial terus saja menanjak popularitasnya. Analisis bibliometrika yang dilakukan oleh banyak peneliti terkemuka menunjukkan hal itu. Tentu, itu bukan saja merupakan cerminan ketertarikan akademik atas fenomena tersebut, melainkan merupakan gambaran fakta bahwa bisnis sosial memang semakin berpengaruh.

Namun, popularitas tersebut tampaknya belum diiringi oleh pengetahuan mendalam soal bagaimana strategi bisnis sosial dalam memecahkan beragam permasalahan ekonomi-sosial-lingkungan yang dihadapi oleh masyarakat. Demikian yang ditemukan oleh Yanto Chandra, seorang profesor kebijakan publik di City University of Hong Kong. Karena itu, ia kemudian menelitinya.

Dalam artikel Mining Social Entrepreneurship Strategies Using Topic Modeling yang terbit pada jurnal Plos One, Vol. 11/3 2016, ia dan dua koleganya meneliti tak kurang dari 2.334 bisnis sosial yang terhubung dalam organisasi pendukung perusahaan sosial terbesar, Ashoka. Yang mereka temukan sangatlah membuka mata. Ada 39 strategi perubahan sosial yang dipergunakan oleh keseluruhan perusahaan sosial yang diteliti. Dan, ke-39 strategi itu bisa dimasukkan ke dalam 6 meta-strategi.

Strategi dan meta-strategi itu diperoleh setelah mereka melihat seluruh kasus itu dengan lensa sumberdaya (material dan simbolik), spesifitas (umum dan khusus), dan moda partisipasi (massal dan elitis) yang dilaksanakan dalam penyelesaian masalah dan kerangka waktu yang berbeda.

Meta-strategi yang pertama, dan yang paling banyak jenisnya, adalah pemberdayaan individu. Hal ini sangat dipahami karena banyak perusahaan sosial memang berangkat dari pemahaman bahwa penerima manfaatnya adalah individu dalam kelompok masyarakat rentan, yang membutuhkan pemberdayaan agar bisa berpartisipasi di dalam pasar. Strategi yang masuk ke dalamnya termasuk pendidikan, pengembangan kesadaran, pelatihan, pendampingan, hingga perlindungan kelompok rentan dari struktur ekonomi dan budaya yang meminggirkan mereka.

Kedua, tindakan kolektif. Meta-strategi ini juga sangat bisa dipahami lantaran perusahaan-perusahaan sosial memang banyak lahir dari rahim lembaga swadaya masyarakat yang menjadi motor gerakan sosial. Pembinaan hubungan dengan masyarakat, partisipasi aktif, dukungan untuk masyarakat, bantuan khusus kepada kelompok-kelompok rentan, pelibatan perusahaan, kemitraan, dan pemanfaatan kesukarelawanan adalah di antara strategi yang paling banyak ditemukan di sini.

Meta-strategi ketiga yaitu reformasi sistem. Ternyata, banyak perusahaan sosial tidak hanya bekerja untuk melakukan pemberdayaan di tingkat individu maupun kelompok masyarakat. Mereka melihat bahwa banyak persoalan individu dan masyarakat yang merupakan konsekuensi dari sistem yang meminggirkan. Yang kemudian dilakukan oleh perusahaan-perusahaan sosial itu adalah mereformasi berbagai sistem tersebut, turut aktif dalam perumusan kebijakan, melakukan advokasi publik, membina hubungan dengan pemerintah, turut mendorong penegakan hukum, serta memberikan pelatihan kepada para pelatih, sehingga pengetahuan dan keterampilan reformasi sistem bisa dimiliki oleh banyak pihak.

Meta-strategi berikutnya adalah membangun modal infrastruktur atau physical capital. Apa saja infrastruktur yang paling banyak dibangun oleh perusahaan sosial? Seperti yang paling mudah teramati, infrastruktur informasi dan komunikasilah di antara yang paling banyak. Perusahaan sosial memang sangat banyak menggunakan teknologi ini untuk menolong pemecahan masalah. Lainnya, yang tak kalah popular, adalah infrastruktur untuk mendukung pembiayaan mikro. Ini juga merupakan fenomena yang jelas sekali, lantaran bisnis sosial memang didorong oleh Muhammad Yunus, yang merupakan Bapak Pembiayaan Mikro. Infrastruktur lainnya termasuk fasilitas bisnis mikro, perdagangan yang adil, dan praktik keberlanjutan seperti energi terbarukan.

Bisnis sosial juga kerap menggunakan praktik berdasarkan bukti (evidence-based practice) sebagai meta-strategi. Ini menjelaskan mengapa perusahaan-perusahaan sosial kerap melakukan penelitian serta benar-benar memanfaatkan informasi untuk menjadi tulang punggung bisnisnya. Yang terakhir, meta-strategi prototipe. Di sini bisnis sosial dengan sangat hati-hati membuat prototipe pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat, lalu melakukan scale-up manakala keberhasilannya sudah lebih bisa dipastikan.

Kalau kedua meta-strategi pertama tampak sangat familiar di dalam literatur bisnis sosial dan perusahaan sosial, meta-strategi ketiga hingga keenam belum banyak diangkat. Namun, seperti yang ditunjukkan dalam artikel Chandra, et al. (2016) tersebut, ternyata cukup banyak perusahaan sosial yang memanfaatkan keempat meta-strategi tersebut. Ini merupakan salah satu temuan terpenting dalam dunia bisnis sosial global, dan perusahaan-perusahaan sosial di Indonesia bisa menarik manfaat dari pengetahuan tersebut.


Sumber:

Artikel ini pernah dimuat di KONTAN tanggal 21 Juli 2016.

Penulis: Jalal (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA)