Bisnis sosial, dalam pendirian kami di WISESA, ada di anak tangga tertinggi tanggung jawab sosial perusahaan. Dia mewujudkan tanggung jawab sosial dalam setiap keputusan dan tindakannya yang bertujuan untuk memecahkan masalah ekonomi, sosial, atau lingkungan tertentu di masyarakat.

Pertanyaan yang sering kami terima adalah apakah bisnis sosial itu berpotensi atau bahkan telah diselewengkan maknanya. Pertanyaan itu muncul jelas karena tanggung jawab sosial diketahui telah banyak diselewengkan. Penyempitan makna menjadi sekadar donasi adalah salah satunya. Penyelewengan lainnya misalnya adalah apa yang disebut dengan CSR-washing atau tindakan yang dengan sengaja dimaksudkan untuk memberi kesan bertanggung jawab sosial, namun sesungguhnya itu hanyalah upaya menutupi dosa dampak negatif yang tak dikelola dengan benar.

Jadi, pertanyaan tentang penyelewengan makna bisnis sosial itu valid sekaligus menarik. Ketika kami memeriksa berbagai kasus, kami memang menemukan ada kemungkinan penyelewengan yang telah dilakukan, walau kemungkinan besar itu dilakukan tanpa niat jahat dan lebih karena pemahaman yang belum kokoh.

Bisnis sosial, sebagaimana namanya, adalah bisnis. Dan, bisnis berarti mengubah investasi menjadi barang dan jasa yang kemudian dijual untuk mendapatkan keuntungan. Dengan demikian proses produksi itu bisa berlangsung terus lantaran memang secara finansial mungkin mandiri.

Bedanya, kalau bisnis komersial biasa boleh membuat produk apa saja untuk dijual, sepanjang dianggap legal, bisnis sosial itu hanya boleh menjual barang dan jasa yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat. Kadang-kadang, namun tidak selalu, produk itu dijual dengan harga yang lebih rendah, untuk membantu kelompok masyarakat rentan agar bisa mengaksesnya.

Tapi, apapun produk 'sosial' dari bisnis sosial itu, tidaklah kemudian mengijinkan investasi hilang. Investasi haruslah terus dikembangkan, dan dalam bisnis sosial semakin baik pengembalian atas investasi itu, semakin banyak penerima manfaatnya. Jadi, pebisnis sosial haruslah memastikan bahwa keuntungan finansial maupun manfaat sosialnya optimal, seperti yang ditegaskan Jed Emerson dalam konsep blended value.

Logika ini telah disepakati seluruh pakar bisnis sosial. Namun, godaan untuk menyelewengkannya kini kami deteksi. Dan ini datang dari institusi yang sebetulnya berniat baik, yaitu donor. Kalau tadinya donor hanya melihat lembaga nirlaba sebagai penerima manfaatnya, kini mereka mulai melirik bisnis sosial.

Sayangnya, mekanisme hibah masih melekat. Maka, kini kita bisa saksikan donor yang menyediakan hadiah berupa uang untuk memulai bisnis sosial yang idenya dianggap menarik dan berpotensi menyelesaikan masalah di masyarakat. Hadiah itu tentu saja baik diberikan untuk ide yang baik. Tapi, kalau itu bentuknya adalah hibah, bukan investasi, maka ini mencederai gagasan awal bisnis sosial. Seharusnya, bisnis sosial menyelesaikan masalah masyarakat lewat mekanisme pasar, termasuk dalam permodalannya.

Jadi, apa yang harus dilakukan donor untuk memerbaiki kondisi ini? Tentu, mengubah hadiah menjadi investasi adalah yang terbaik. Kalau ingin melepaskan haknya atas dividen, maka jalan yang ditempuh Muhammad Yunus, yaitu menyatakan dividen nol dari awal. Artinya, 100% keuntungan yang diperoleh si donor secara otomatis akan dimasukkan menjadi reinvestasi.

Sementara, bisnis sosial yang mendapatkan hadiah dari donor, walaupun dinyatakan sebagai hibah, wajib menghitungnya sebagai investasi. Pemanfaatannya harus tetap prudent sesuai standar tata kelola yang baik. Jangan sesekali tergoda untuk memanfaatkannya untuk patgulipat menutupi kerugian sehingga catatan keuangan menjadi positif.

Tulisan kami berikutnya masih akan membahas bentuk-bentuk penyelewengan atas makna bisnis sosial, serta memberikan saran agar bisnis sosial tetap setia pada ide dasarnya.


Sumber:

Artikel ini pernah dimuat di KONTAN tanggal 19 Januari 2017.

Penulis: Jalal (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA)