Journal of Enterprising Communities Vol.11/1 2017 mengungkap sebuah tema yang masih sangat langka dibicarakan: bagaimana peran kewirausahaan dalam membangun masyarakat yang memiliki resiliensi atau ketangguhan dalam menghadapi situasi yang tidak menguntungkan. Kedua bidang itu, kewirausahaan dan resiliensi, adalah tema yang sudah sangat kokoh secara sendiri-sendiri. Namun, ketika mulai ada bukti bahwa di lapangan sebetulnya terlihat jelas ada dukungan kewirausahaan dalam membangun masyarakat pascabencana, para akademisi yang berkutat di bidang masing-masing lalu merasa perlu menyelidiki lebih dalam.

Jadilah satu nomor penuh jurnal tersebut didedikasikan untuk tema khusus itu. Ada sembilan tulisan yang ada di dalamnya, termasuk artikel pengantar yang dituliskan oleh Rod McNaughton dan Brendan Gray, yang merupakan akademisi bisnis dari Selandia Baru. Artikel yang mereka tulis, Entrepreneurship and Resilient Communities – Introduction to the Special Issue, selain memberikan pengantar yang bernas, juga memberikan ringkasan atas delapan tulisan lainnya.

Ada dua tema besar yang bisa ditarik dari seluruh tulisan, yaitu resilience of who dan resilience to what. Pada tema pertama, pihak yang memiliki resiliensi adalah individu, organisasi, dan komunitas. Individu-individu yang diteliti adalah seorang eko-wirausahawan, perempauan wirausahawan kerajinan tangan, kelompok perempuan dalam masyarakat adat, dan wirausahawan sosial yang mengupayakan kemandirian energi.

Dari studi atas para individu wirausahawan itu jelas tergambarkan bahwa mereka dalam memertahankan bisnisnya sendiri juga menyumbang pada resiliensi di komunitasnya. Beragam cara mereka tunjukkan. Sebagai wirausahawan, mereka jauh lebih fasih dalam mengidentifikasi dan memanfaatkan peluang bisnis yang ada. Mereka berinovasi, mengembangkan jejaring, juga menyediakan barang dan jasa yang sangat dibutuhkan dalam kondisi krisis. Mereka memekerjakan anggota keluarganya sendiri serta kenalan yang menghadapi masalah, dan bertindak sebagai role model untuk tidak takluk pada kesulitan.

Di tingkat organisasi, yang diteliti adalah tentang perusahaan anggur yang berada di lokasi bencana, bagaimana perusahaan mengembangkan model dan strategi bisnis dalam kondisi kesulitan ekonomi, sebuah perusahaan sosial yang segera tumbuh setelah bencana alam, serta perusahaan for-profit yang menjadikan pembangunan pasca-bencana sebagai bisnis intinya.

Dari kasus-kasus itu, McNaughton dan Gray (2017) menyimpulkan “Embeddedness in the socio-cultural, economic and ecological fabric of a ‘place’ can help commercial, social or disaster enterprises to identify and exploit opportunities that improve the resilience of organizations, their industrial clusters and/or wider communities.” Sangat masuk akal! Bila sebuah perusahaan memang benar-benar melekat dengan tempatnya berusaha, maka mereka memiliki kepentingan untuk bangkit bersama masyarakatnya sesegera mungkin. Masyarakat di tempat itu pastilah bagian dari pekerja, rantai pasokan, dan mungkin konsumennya. Dengan demikian, hanya apabila perusahaan membantu masyarakat itu bangkit, maka bisnisnya bisa berjalan. Bisnis perusahaan itu sendiri juga akan dibantu untuk bangkit oleh masyarakat yang memang ingin ekonomi, sosial, dan lingkungan pulih setelah krisis.

Di tingkat komunitas, yang diteliti adalah kelompok-kelompok masyarakat yang menyatakan secara tegas kepentingan untuk menjadi lebih tangguh, dan komunitas virtual yang bekerja membantu kelompok-kelompok masyarakat itu. Hasilnya juga sangat menarik. Masyarakat dan mereka yang menolongnya itu mendorong untuk memerbaiki dirinya sendiri, terutama dengan cara belajar dari masa lalu, berinovasi, dan mengorganisasikan diri. Sementara, yang dibangun adalah sifat adaptif serta kemampuan menjadi lebih baik di masa mendatang. Build back better memang merupakan tema besar untuk menjadikan masyarakat yang tangguh.

Terkait resilience to what, yang diteliti adalah bencana alam, krisis ekonomi, serta marginalisasi atau peminggiran. Ada tiga kesimpulan yang diperoleh dari kasus-kasus yang ada. Pertama, bencana alam sendiri memang ‘memaksa’ para wirausahawan, terutama wirausahawan sosial untuk segera melakukan tindakan pemulihan yang bersifat inovatif. Kedua, kemelekatan sebuah bisnis di suatu tempat akan menciptakan model dan strategi bisnis yang cenderung pada pemulihan dan peningkatan kesejahteraan bersama. Ketiga, pendidikan resiliensi akan membuat masyarakat (dan perusahaan) mampu menciptakan solusi berkelanjutan bagi mereka dan masyarakat yang lebih luas.


Sumber:
Artikel ini pernah dimuat di KONTAN tanggal 13 April 2017.

Penulis: Jalal (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA)