Nardia Haigh dan Andrew Hoffman menulis artikel bertajuk The New Heretics: Hybrid Organizations and the Challenges They Present to Corporate Sustainability pada tahun 2014. Artikel itu membandingkan apa yang mereka sebut sebagai organisasi hibrida—salah satu nama lain dari perusahaan sosial—dengan perusahaan komersial biasa. Lantaran pembedaannya itu demikian jelasnya, dan dianggap mampu memberikan perbandingan yang baik, segera saja artikel itu menjadi sangat popular.

Salah satu pembedaan paling penting di antara keduanya adalah bagaimana perusahaan sosial dan perusahaan komersial memandang dan mewujudkan apa yang mereka sama-sama sebut sebagai keberlanjutan perusahaan. Haigh dan Hoffman menyatakan bahwa majoritas perusahaan komersial ketika menggunakan istilah tersebut sesungguhnya hanya mengartikannya sebagai upaya mengurangi dampak negatif, terutama terhadap lingkungan.

Sementara, perusahaan sosial memandang keberlanjutan perusahaan sebagai kontribusi untuk meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif. Hal ini membuat dampak bersih dari perusahaan sosial terhadap lingkungan, dan juga terhadap masyarakat, secara rerata menjadi jauh lebih menonjol.

Kini, para pakar yang dimulai oleh Bill Reed, lalu diikuti oleh John Fullerton dan Kate Raworth telah menunjukkan bagaimana pembedaan keduanya menjadi lebih jelas. Kalau menggunakan pemikiran mereka, sesungguhnya apa yang dilakukan oleh bisnis sosial adalah moda bisnis yang memang terpaut jauh dari bisnis komersial. Bisnis sosial cenderung pada moda ekonomi regeneratif, sementara bisnis komersial cenderung pada moda ekonomi konvensional.

Bill Reed menjelaskan bahwa ekonomi sebagaimana yang kita saksikan sekarang memang bersifat merusak. Ekonomi konvensional ini bersandarkan pada maksimisasi profit, sehingga aspek ekonoi lainnya, apalagi sosial dan lingkungan menjadi terbaikan. Walaupun, bukan berarti tak ada perusahaan-perusahaan komersial yang memerbaiki diri untuk menjadi lebih hijau.

Menjadi (lebih) hijau sendiri biasanya disandarkan pada pemanfaatan teknologi yang lebih efisien secara energi dan material. Tetapi, apakah dampak negatifnya benar-benar nol? Tidak. Pakar keberlanjutan terkemuka, John Ehrenfeld, menyatakan bahwa menjadi less unsustainable itu tak sama dengan menjadi more sustainable. Dan sayangnya, kebanyakan perusahaan komersial beroperasi dengan cara yang degeneratif, dan sedikit di antaranya yang masuk ke dalam kategori hijau.

Bagaimana kalau sudah tak ada lagi dampak negatif? Perusahaan-perusahaan tertentu bertekad menjadi zeronauts, seperti yang dilaporkan oleh John Elkington dalam bukunya yang bertajuk The Zeronauts: Breaking the Sustainability Barrier (2012). Tentu upaya ini perlu mendapatkan penghargaan, lantaran bukan hal yang mudah sama sekali. Namun, sekali lagi, upaya ini tak memadai apabila dilihat dari pemikiran Reed, Fullerton dan Raworth.

Perusahaan sosial sendiri banyak yang didirikan untuk memulai dari titik nol itu. Tetapi kemudian segera menyadari bahwa ada target yang lebih tinggi lagi, yaitu memerbaiki kondisi sosial dan lingkungan. Menjadi berdampak nol sama sekali tak memuaskan, sehingga mereka ngotot untuk membuat dampak bersih positif, terutama dengan mengembalikan kondisi sosial dan lingkungan sebagaimana semula, yang mampu mendukung kehidupan masyarakat yang menjadi kelompok penerima manfaat bisnis sosial. Ini disebut sebagai moda ekonomi restoratif.

Tetapi, sekali lagi, ada kondisi ini juga belum memadai. Mengapa? Karena sesungguhnya jumlah masyarakat terus bertambah, dan kompetisi pemanfaatan sumberdaya terus berlangsung. Ini berarti bahwa upaya harus ditambah dengan memastikan bahwa kondisi sosial dan lingkungan terus membaik, sehingga daya dukungnya meningkat sesuai dengan tuntutan kehidupan masa mendatang. Inilah yang disebut sebagai ekonomi regeneratif.

Dari penjelasan ini, sangatlah jelas bahwa yang dimaksud Haigh dan Hoffman sebagai keberlanjutan perusahaan menurut bisnis sosial itu adalah ekonomi regeneratif. Artikel kami selanjutnya akan menjelaskan bagaimana ekonomi regeneratif itu mendorong bisnis sosial untuk masuk ke dalam pertanian berkelanjutan (petunjuk: karena siklus fosfor dan nitrogen buatan manusia telah melampaui kemampuan Bumi memulihkan dirinya sendiri), penanganan perubahan iklim (petunjuk: karena target aman kenaikan 2 derajat Celsius mustahil dicapai lewat moda ekonomi yang sekarang menjadi arus utama), dan masalah-masalah terberat umat manusia lainnya.


Sumber:
Artikel ini pernah diposting di KONTAN tanggal 22 Juni 2017.

Penulis: Zainal Abidin (Pendiri dan Direktur Utama Perusahaan Sosial WISESA) dan Jalal (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA)