https://lh3.googleusercontent.com/proxy/CDXe6adGxtEdYPvcCXe7vIpLprnHNrP-QwcmmlwCk0mgtGpsdJZ0i5_sG1X5rqfuGU1xosSX1NODUvvqBOtzybtI9BbkzS2qGMGcygfcX5kWaUCekCcE

Sumber gambar : Google

Setahun belakangan, pandemi merubah banyak aspek dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah dalam hal memilih bahan pangan. Merebaknya wabah dan virus membuat sebagian besar orang lebih berhati-hati dalam mengonsumsi makanan. Biasanya, mereka memilih makanan yang sudah punya klaim “higienis” dan “bersih”. Namun masih banyak makanan kita yang belum memenuhi kriteria tersebut.

Menjawab kebutuhan ini, bisnis Tiga Cemara muncul sebagai alternatif bahan pangan yang terjamin kualitas dan kebersihannya. Dalam waktu kurang dari dua tahun, bisnis ini sukses berkembang dengan bertumpu pada jaringan reseller yang dibangun rapi. Princy Devina Yusuf, pemilik bisnis Tiga Cemara, membagi kisah perjalanan bisnisnya di sini.

Bermula Dari Kegelisahan Masa Pandemi

Princy, 22 tahun, adalah seorang pebisnis yang tidak takut masuk ke ranah digital untuk mengembangkan bisnisnya. Saat ini, ia tengah menempuh pendidikan di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang sebagai mahasiswa Teknologi Pangan. Di awal tahun 2020, kala pandemi pertama menyerang, Princy dirumahkan sebagai mahasiswa. Kuliah tatap muka dihentikan sementara dan pembatasan pemerintah membuatnya tidak bisa lagi keluar rumah. Sekitar pertengahan Agustus 2020, ia mendapatkan banyak cerita dari teman dan kakak-kakak tingkatnya yang sudah berhasil lulus kuliah namun kesulitan mendapatkan pekerjaan. Dari hal ini, Princy mencoba merefleksi dirinya sendiri, tentang apa yang akan ia lakukan setelah lulus dari universitas. “Jadi berpikir, habis lulus mau jadi apa ya ntar?” ujarnya.

Baca Juga : Tips Memulai Bisnis Dengan Modal Minim

Ia kemudian banyak berdiskusi dengan ayah yang juga berperan sebagai mentor bisnisnya. Pikiran untuk berbisnis tak lepas dari batinnya. Princy pun mulai menggali kemampuan dan pengetahuannya dan menemukan bahwa minat terbesarnya ada di pengolahan makanan. “Saya ini kan mahasiswi Teknologi Pangan, gimana caranya hasil studi saya ini bertahun-tahun bisa bermanfaat bagi sekitar saya?” ujarnya.

Dari situ, Princy tahu dunia saya bahwa ia akan berkutat di bidang pangan dan kesehatan. Mulai dari situ, ia mulai memutuskan untuk berbisnis dan berharap bahwa dirinya bisa menciptakan lapangan pekerjaan untuk orang-orang terdekatnya.

Lalu mulailah Princy melakukan riset, dibantu oleh ibunya, dengan mengadakan banyak percobaan di rumah. Ia mengamati bahwa kebiasaan berbelanja masyarakat saat pandemi mulai bergeser. Banyak orang lebih suka membeli makanan-makanan yang kategorinya healthy food, bersih, berkualitas. “Mulai mikir kalo mau jajan pinggir jalan, mereka jadi rada picky,” papar Princy.

Dari hal ini, Princy kemudian melihat potensi salah satu makanan tradisional Indonesia yang kaya gizi : Tempe. Di dunia, tempe memang dikenal luas sebagai salah satu superfood. Namun sayangnya, di Indonesia, tempe valuenya masih kurang tinggi. Princy kemudian berpikir untuk menaikkan value tempe, menjadikannya makanan yang bisa disejajarkan dengan menu-menu keren lainnya.

Baca Juga : Berawal dari Hobi, Rahfi Craft Jadi Penghasil Rupiah Menjanjikan

Princy mulai melakukan riset kecil-kecilan di rumah bersama ibunya, mencoba membuat tempe dengan berbagai resep dan metode. Ilmu teknologi pangan yang sudah ia pelajari selama kuliah digunakannya sebagai bekal dalam menjalani trial and error ini. “Kami juga survei-survei ke beberapa pabrik tempe dan tahu di Bandung. Kita sampa blusukan cari-cari, kita bandingkan, kita pelajari,” ceritanya.

Mencapai Titik Balik dan Menghadapi Bermacam Tantangan Bisnis

Melalui riset dan percobaan yang dilakukannya, Princy menyimpulkan bahwa metode pengolahan tempe yang paling populer adalah cara tradisional. Cara ini punya proses yang sederhana, namun kurang memperhatikan kebersihan. Sementara Princy justru ingin menjual produk-produk yang bermanfaat baik dan, utamanya, bersih. “Karena kalo misalnya tempe ini kan superfood, nutrisinya tinggi, tapi sayang kalo misalnya dia produknya tidak bersih ya ke belakangnya hasilnya juga tidak baik untuk tubuh karena pasti banyak jadinya kontaminasi, nanti bisa bikin sakit perut dan segala macam.,” jelas Princy panjang lebar.

Akhirnya ia memutuskan untuk mencari cara membuat tempe yang bersih dan enak. Riset dan perjalanan Princy mencari ide bisnis ini menggiringnya ke sebuah titik balik. Ia memutuskan untuk mengubah seluruh gaya hidupnya selama ini. Ia mulai aktif membangun relasi, belajar leadership, dan yang paling utama adalah harus menjadi fleksibel. Diakui Princy, semua ini dilaluinya dengan tidak mudah saat memulainya. “Apalagi saya background-nya dari Teknologi Pangan, sekarang harus belajar berbisnis, banyak sekali yang harus dipelajari,” ujar Princy.

Baca Juga: Manfaat dan Kebijakan Pemberdayaan Perempuan Bagi Usaha

"Saya jadinya harus belajar tentang manajemen juga, belajar tentang bisnis, keuangan, [dan] tentang komunikasi," ujar Princy. Semua ini dilaluinya dengan metode learning by doing, didampingi oleh kedua orangtuanya yang sekaligus berperan sebagai mentornya. Dalam mulai berbisnis, Princy juga berpegang pada prinsip 3 Golden Pillars, yang adalah :

1. Kekuatan Imajinasi

Imajinasi alias mimpi, adalah sebuah dorongan yang tidak boleh diremehkan. Banyak bisnis besar dimulai dengan imajinasi sederhana untuk menjadi sukses. Mimpi bisa terwujud jika kita bergerak untuk mewujudkannya.

2. Perspektif Waktu

Artinya, jika kita bisa fokus mengelola waktu dengan baik untuk berkembang, jalan menuju sukses bukanlah hal yang mustahil. Kita harus bisa memanfaatkan waktu sebagai sesuatu yang produktif untuk menghasilkan uang. Caranya? Dengan go digital, Princy banyak berhasil investasi terhadap waktu. Interaksi kepada pelanggan, konsumen, partner bisnis, dan reseller akan jauh lebih hemat waktu dengan memanfaatkan teknologi digital.

3. Perspektif Kesuksesan

Semua orang punya pandangan yang berbeda tentang taraf kesuksesan masing-masing. Bagi Princy, kesuksesannya tergantung dengan seberapa banyak ia bisa membantu orang-orang di sekitarnya untuk turut menjadi sukses. Hal ini ia wujudkan dengan menggaet banyak reseller serta mitra bisnis, dan bersama-sama membawa mereka menuju kesuksesan. Tiga Cemara ditempatkannya sebagai sebuah jembatan untuk membantu UMKM lain yang terkait bertumbuh. "Sampai saat ini pun saya masih dalam proses pembelajaran berbisnis,” tutur Princy.

Baca juga: Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik

Menghadapi Tantangan Bisnis dan Menemukan Kerjasama

Tentu saja, dalam perjalanan Princy banyak tantangan dan hambatan yang muncul. Mulai dari struggle di ketidakmampuan dan kurangnya kapasitas untuk melakukan produksi sendiri. Mau tidak mau, mereka harus mencari pihak lain yang bisa memenuhi kebutuhan produksi. Ini bukan hal yang buruk, karena dengan ini kita bisa maklum untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Namun, Princy tetap mengutamakan kurasi dalam memilih partner bisnis. Mereka menentukan standar bagi pihak-pihak yang ingin bekerjasama. “Jadi nggak [kerjasama] dengan sembarang tempat,” tuturnya.

Standar pertama adalah kebersihan. Princy lebih senang bekerjasama dengan mitra yang tempat produksi usahanya terjamin bersih. Sebab, kesehatan berawal dari proses produksi yang bersih. “Bersih bahan bakunya, bersih produksinya, kemudian bersih proses distribusinya, kita jaga sedemikian rupa,” jelas Princy.

Struggle mereka selanjutnya adalah, Tiga Cemara kurang bisa merangkul konsumen yang berada di outer circle, alias mereka yang bukan kerabat dekat atau teman mereka. Untuk menjangkau konsumen lebih luas, mereka harus masuk ke dunia digital. Dengan internet, mereka bisa menjangkau masyarakat yang bahkan berada di luar daerah. Bisa mendapat order dari NTT, Makassar, Manado. Hal ini bisa tercapai karena mereka go digital. Namun kendalanya, untuk menjalankan pengembangan hingga ke luar daerah, mereka tentunya perlu orang-orang yang mampu menjangkau ke berbagai tempat. Dari sinilah Princy kemudian mulai mempertimbangkan untuk memiliki reseller. “Sehingga dari orang ini bisa semakin menyebar, dan menjalar, gitu,” ujarnya.

Baca juga: Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT)

Ia mengamati bahwa selama pandemi, ada perusahaan yang bisa sustainable dan survive selama pandemi. Tapi ada pula yang justru mati. Tentu ada pula yang tutup sementara, alias temporary disclosed. Mereka yang bertahan, umumnya memiliki misi dan value yang jelas dalam berbisnis. Hal inilah yang ingin diadopsi oleh Princy dalam menjalankan Tiga Cemara. Sebagai produsen olahan kedelai yang mengusung kebersihan, Tiga Cemara bertujuan untuk menjadi perusahaan terdepan dalam membantu UMKM produsen dan membangun jaringan penjualan alias reseller yang luas.

Dalam mengelola jaringan reseller-nya, Princy menggunakan software Virral.id, sebuah software yang khusus dibuat untuk mengelola hal tersebut. Melalui jaringan ini, Tiga Cemara tak hanya menjual olahan yang diproduksinya sendiri. Melainkan juga mitra-mitra yang punya produk sendiri dan memutuskan bekerja sama di bawah nama Tiga Cemara. Kebanyakan partner bisnis mereka adalah UMKM.

Batagor dari Tiga Cemara, merupakan satu dari sekian contoh produk hasil kerjasama tersebut. Produsen batagor tersebut adalah salah satu UKM yang punya standar kebersihan produksi yang baik dengan kualitas di atas rata-rata. Karena belum mampu mengusung brand sendiri, UMKM ini menjalin kolaborasi dengan Tiga Cemara yang kemudian mengurus bagian pengemasan, branding, dan penjualannya dalam skala besar.

Baca Juga: Pentingnya Berjejaring dengan Supplier dan Kriteria Pemilihannya

(BUKAN) Mendoan adalah produk yang diolah sendiri oleh pabrik kecil Tiga Cemara di Lembang, Bandung. Tidak menggunakan besek dan daun pisang, mereka mengemasnya dengan dus yang lebih bersih. Menurut Princy, mendoan adalah produk fermentasi. Besek merupakan wadah tradisional yang baik, namun tidak sesuai dengan tema “higienis” yang diusung Tiga Cemara. Sebabnya, kemasan besek rentan ditumbuhi jamur dan mudah kotor. Akan ada cross-kontaminasi jika tetap dipertahankan dalam waktu lama.

Tiga Cemara dalam praktiknya memang sering melangkah lebih jauh demi menjaga kebersihan produk. Karenanya, harga yang mereka pasang kerap dinilai lebih mahal dibandingkan tempe dan tahu pasaran lainnya. Kedepannya, Princy berharap mereka bisa berkembang lebih luas lagi dengan tetap memanfaatkan jaringan reseller dan ilmunya.

Baca Juga : Kupas Tuntas Pengelolaan Reseller di Era Digital


Referensi :

Webinar APINDO UMKM bertajuk “Mengoptimalkan Jaringan Reseller di Era Digital”