Cara Menentukan Komisi Penjualan - Pertanyaan seputar mekanisme pembagian hasil usaha termasuk yang cukup sering kami terima diberbagai forum pelatihan atau dialog bersama UMKM.
"Bagaimana sih cara menentukan komisi penjualan yang pas untuk mitra reseller atau agen?", "Bagaimana cara menentukan komposisi saham dengan para pendiri?" "Lalu, kalau nanti perusahaan mendapatkan penanaman modal dari investor, bagaimana dampaknya dengan proporsi kepemilikan pendiri?"
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut memang tidak hitam putih. "Tergantung" atau "it depends" seringnya menjadi pengantar jawaban terbaik. Jadi tergantung apa saja, dong?
Faktor-faktor penentunya bisa berbeda-beda untuk konteks mitra pemasaran, mitra pendiri usaha, penyandang dana (investor, baik yang skema penanaman saham atau yang pinjaman), ataupun mitra produksi dan distribusi. Untuk kali ini, kita hanya akan membahas mengenai cara menentukan komisi penjualan atau margin untuk mitra pemasaran dulu. Sementara ulasan tentang pola bagi hasil dengan investor diulas disini, dan dengan para pendiri diulas disini.
Mitra pemasaran dalam praktiknya cukup banyak jenisnya, antara lain adalah reseller, stockist, dropshipper, agen atau distributor, dan berbagai tingkatan member dalam sistem multi-level-marketing (MLM). Artikel ini akan lebih fokus pada 4 jenis mitra pertama saja, karena mekanisme komisi dalam MLM cukup kompleks dan banyak jenisnya sehingga mungkin perlu diulas secara tersendiri.
Komisi Versus Harga Diskon
Sebelum cara menentukan komisi penjualan, pertama-tama kita perlu paham dulu soal perbedaan antara komisi dan diskon harga. Komisi adalah besaran pembagian hasil penjualan (berupa persentase) yang akan diberikan kepada mitra pemasaran skema titip jual.
Sementara harga diskon adalah harga khusus yang diberikan oleh produsen kepada mitra pemasarannya yang berkenan menjalankan skema beli putus, sehingga mitranya bisa mendapatkan margin harga tertentu.
Dengan demikian, sejatinya mitra yang berani memasarkan produk kita dengan skema beli putus lebih layak ditawarkan diskon harga beli yang lebih besar dibandingkan komisi untuk mitra titip jual. Hal ini karena mitra beli putus mengambil resiko yang lebih tinggi untuk memasarkan produk kita, juga mereka akan lebih membantu kelancaran arus kas usaha kita.
Sebagai contoh, misalnya kita memproduksi camilan cheese stick yang harga jual ke konsumennya adalah Rp20,000/200gram. Untuk mitra pemasaran sistem titip jual, kita bisa tawarkan misalnya komisi 15%, sehingga misalnya jika mitra berhasil menjual 10 paket dalam 1 minggu, maka komisi yang perlu kita berikan adalah Rp20,000 X 10 paket X 15% atau sama dengan Rp30,000.
Sementara bagi mitra yang berani beli putus, kita bisa tawarkan diskon harga misalnya 25%, jadi mitra hanya perlu membayar Rp20,000 X 75% atau sama dengan Rp15,000/200gram sehingga jika mitra kita membeli putus sebanyak 10 paket, maka mitra dapat menikmati total potensi margin laba sebesar Rp50,000 (jika semua 10 paket yang dibelinya laku terjual).
Baca Juga: Apa itu Co-Branding?
Bagaimana jika ongkos produksi kita sudah cukup tinggi dan kita tidak bisa menawarkan diskon yang lebih menarik bagi mitra kita? Misalnya, kita merasa mentok-mentoknya hanya sanggup memberikan diskon 15% alias harga beli Rp17,000/200gram sehingga mitra beli putus hanya bisa menikmati margin Rp3000 per paketnya.
Standar margin yang berlaku cukup umum memang diatas 25% untuk yang beli putus, di beberapa toko ritel modern bahkan tak jarang yang meminta komisi diatas 30% padahal skemanya titip jual atau konsinyasi. Jadi untuk memberikan insentif yang menarik bagi mitra beli putus, kita bisa saja memberikan hak untuk menaikkan harga jual ke konsumen sehingga jika mitra merasa margin Rp3000/200gram itu terlalu kecil, kita bisa perkenankan mitra untuk menjual ke konsumen dengan harga di atas Rp20,000/200gram.
Hal ini adalah wajar karena pada hakikatnya, ketika produk sudah dibeli putus oleh pihak mana pun, maka sudah terjadi perpindahan kepemilikan dan pemilik baru dari produk kita (yaitu para mitra) sebenarnya boleh saja menjual produk miliknya dengan harga yang menurut mereka sendiri lebih sesuai dengan segmen konsumen yang akan ditargetkan. Apalagi jika kita jualannya di Depok sementara reseller berjualan di Bekasi, gapapa dong, ya harganya berbeda?
Gabung jadi Member ukmindonesia.id buat update terus info seputar UMKM dan peluang usaha!
Omzet dan Margin Laba
"Waduh, gede amat ya marginnya? Masa kita yang produksi untungnya sama-sama saja dengan mitra yang menjual doang?", mungkin di benak kita ada yang bertanya-tanya seperti itu. Tetapi tak ada salahnya kita juga bertanya, "apakah benar pekerjaan menjual itu adalah "menjual doang"? Jika memperluas cakupan pasar dan meningkatkan penjualan adalah pekerjaan yang mudah, mengapa banyak produsen yang rela membangun jaringan mitra pemasaran?
Ya, memasarkan dan menjual produk memang ada ilmu dan seninya sendiri. Bagi pelaku usaha yang lebih senang fokus di produksi, mungkin bisa lebih nyaman jika mengarahkan pengembangan usaha menuju volume penjualan alias omzet. Tak jarang produsen merelakan margin keuntungan yang bahkan lebih kecil (dibanding reseller atau agen pemasarannya) selama bisa menikmati faktor pengali atau kuantitas yang lebih besar.
Misalnya, margin laba kotor produsen per 200gram cheese stick adalah 50% dari harga jual; jadi jika harga jualnya Rp20,000, maka laba kotor per paket 200gram adalah Rp10,000. Ini sebenarnya cukup besar karena jika dihitung terhadap biaya produksi per paket, margin labanya 100%, lho!
Nah, kalau kita mau produksi dan jualan sendiri, kita bisa menikmati margin keuntungan yang besar itu sendirian. Menggiurkan memang. Namun sampai titik tertentu, mungkin kita akan merasa sulit untuk terus meningkatkan penjualan karena semua jaringan pribadi kita sudah menjadi basis pasar. Sehingga kalau mau terus meningkatkan penjualan, kita perlu jaringan orang lain.
Dengan kata lain, kita perlu mitra pemasaran. Tanpa mitra misalnya kita bisa mencapai penjualan rutin 1000 paket per bulan dengan margin keuntungan 50% dari harga jual, yang dalam rupiah artinya omzet sekitar Rp20juta/bulan dengan besaran keuntungan atau laba kotor Rp10juta. Jika dengan bermitra misalnya kita bisa tingkatkan penjualan menjadi 3000 paket/bulan tetapi margin keuntungan hanya 25%, atau omzet naik menjadi Rp60juta/bulan dan besaran laba kotor menjadi Rp15juta, apakah tidak menarik?
Pada satu fase tertentu, mungkin margin laba perlu lebih diutamakan, tapi tak ada salahnya juga jika di fase lain kita lebih mengedepankan omzet atau faktor pengali. Mengapa?
Pertama, dengan lebih fokus di kegiatan usaha tertentu - misalnya produksi - pelaku usaha akan lebih paham atas trik-trik cara produksi yang lebih efisien, cepat, dan hemat.
Kedua, dengan meningkatnya skala, umumnya pelaku usaha akan dapat menekan berbagai biaya seperti bahan baku, kemasan, dan lainnya.
Ketiga, operasional bisnis lebih simpel, karena secara umum proses melayani (misalnya) 100 pembeli besar (reseller atau distributor) lebih sederhana daripada melayani 10,000 pembeli retail atau kecil-kecil.
Jadi dalam menghitung besaran bagi hasil, kira-kira ada 4 hal yang perlu dipertimbangkan:
- Apakah calon mitra memiliki cakupan jaringan yang berbeda dan cukup besar?
- Apakah dengan memberikan komisi atau diskon yang menarik kita yakin bisa meningkatkan omzet?
- Apakah biaya per unit bisa diturunkan sejalan dengan peningkatan omzet?
- Apakah dengan memiliki basis mitra pemasaran operasional bisnis kita dapat menjadi lebih sederhana?
Silakan ditimbang-timbang saja ya.. yang pasti, tanpa insentif yang menarik, sulit sekali kita menggerakkan pihak lain untuk semangat menjual produk kita.
Seperti yang pernah disinggung di artikel tentang tim, budaya empati sangat penting tidak hanya dalam membangun tim internal usaha, namun juga dalam membangun hubungan kemitraan yang erat dan efektif. Kita coba simulasi sendiri saja, "jika saya jadi mitra reseller, ditawarkan insentif sebesar X, akankah membuat saya semangat jualan?"
Perbandingan Jenis Kemitraan Pemasaran
Untuk gambaran yang lebih jelas, berikut tabel perbandingan mekanisme dari beberapa jenis kemitraan pemasaran. Tabel ini disusun berdasarkan pengamatan dan pengalaman pribadi, dan hanya memberikan gambaran umum saja. Dalam prakteknya, cukup banyak corak terkait skema-skema kemitraan ini.
Setidaknya, semoga tabel ini bisa memperjelas perbedaan antar beberapa skema kemitraan yang umum ditemukan di kalangan pelaku UMKM.
No |
Kriteria |
Dropshipper |
Stockist/ konsinyasi |
Reseller |
Agen/Distributor |
1 |
Ada syarat minimum pembelian bagi mitra |
Tidak ada |
Tidak ada |
Ada |
Ada, lebih besar daripada skema reseller |
2 |
Bentuk insentif bagi mitra |
Komisi |
Komisi, lebih besar dari komisi dropshipper |
Diskon harga atau harga khusus |
Diskon harga yang lebih besar daripada untuk reseller |
3 |
Kontribusi mitra kepada UKM produsen |
|
|
- Promosi - Membeli putus produk sesuai dengan syarat kuantitas minimum
|
- Promosi - Membeli putus produk sesuai dengan syarat kuantitas minimum
|
4 |
Kontribusi produsen untuk mitra |
|
|
|
|
Jika merasa artikel ini bermanfaat, yuk bantu sebarkan ke teman-teman Anda. Jangan lupa untuk like, share, dan berikan komentar pada artikel ini ya Sahabat Wirausaha.