Dunia sangat jelas sedang mengalami pergeseran dalam cara pandang mengenai bisnis. Utamanya, hal itu ditandai dengan pergeseran bagaimana generasi baru pemilik bisnis dan manajer melihat hubungan bisnis dengan masyarakat dan lingkungan. Ambil contoh Harvard Business School (HBS), yang kerap dinyatakan sebagai sekolah bisnis terbaik. Di situ pergeseran terjadi dengan sangat kuat. Alasannya sangat jelas, alumni HBS banyak dikaitkan dengan berbagai krisis yang mengakibatkan ketidakpercayaan pada dunia usaha. Upaya merebut kembali kepercayaan publik harus dilakukan.

Max Anderson dan Peter Escher adalah dua mahasiswa HBS yang kemudian tergerak untuk menciptakan The MBA Oath. Salah satu butir sumpah tersebut adalah “I will strive to create sustainable economic, social, and environmental prosperity worldwide. Sustainable prosperity is created when the enterprise produces an output in the long run that is greater than the opportunity cost of all the inputs it consumes. ”Sejak sumpah itu digulirkan oleh Angkatan 2009 MBA HBS, ribuan MBA di seluruh dunia telah mengambil sumpah a la Sumpah Hippocrates di dunia kedokteran itu.

Ketika di tahun 2012 John Coleman dkk meneliti apa saja yang dilakukan oleh para alumni HBS, mereka mendapati bahwa mereka telah menjadi pemimpin bisnis yang jauh lebih memerhatikan aspek sosial dan lingkungan. Karenanya, buku yang ditulis oleh mereka itu diberi judul Passion and Purpose: Stories from the Best and the Brightest Young Business Leaders. Mereka yang terbaik dan paling cemerlanglah yang paling cepat berubah menjadi pebisnis yang bertujuan mengubah dunia menjadi lebih baik. Mereka banyak mengambil bisnis sosial sebagai pilihan hidupnya.

Di Indonesia, hal yang sama sedang terjadi. Kita mengenal Silverius Oscar Unggul yang bisnisnya bersama masyarakat desa hutan telah menyelamatkan hutan dan meningkatkan kesejahteraan. Prestasinya sudah diakui dunia internasional, di antaranya dari Skoll Foundation dan World Economic Forum. Gamal Albinsaid adalah seorang dokter yang menggagas asuransi kesehatan untuk para pemulung. Untuk ide bisnis sosialnya itu ia telah diganjar penghargaan HRH The Prince of Wales Young Sustainability Entrepreneurship First Winner 2014. Bulan Oktober lalu, Larasati Widyaputri dan Tatang Gunawan mendapatkan penghargaan pada kompetisi internasional Young Social Entrepreneurs Programme.

Apa yang dilakukan oleh Larasati dan Tatang sangatlah menarik. Mereka berdua adalah alumni IPB yang mengembangkan bisnis sosial bernama Ecodoe (www.ecodoe.com) sejak mahasiswa. Ecodoe melihat permasalahan limbah bulu domba dan sulitnya memasarkan produk kerajinan akar wangi sebagai peluang bisnis dan pemberdayaan masyarakat. Berbeda dengan negara-negara subtropis dan kutub yang sangat memanfaatkan bulu domba, di Indonesia bulu domba kebanyakan terbuang percuma menjadi limbah. Sementara, akar wangi secara tradisional hanya dimanfaatkan untuk minyak atsiri, padahal peluang pemanfaatannya untuk dekorasi dan suvenir sangatlah luas.

Ecodoe utamanya adalah perusahaan desain produk. Mereka mencari berbagai kemungkinan produk yang menarik dan melihat peluang pemasarannya. Desain yang mereka keluarkan adalah hasil proses pencarian selera pasar yang dipadukan dengan masukan para perajin yang mereka jadikan mitra. Untuk kerajinan dari limbah bulu domba, mitra mereka adalah 9 ibu rumah tangga yang sebelumnya tak memiliki penghasilan. Kerajinan akar wangi melibatkan 4 perajin. Tentu, ada pula pemasok yang terlibat, yaitu peternak yang tadinya membuang bulu domba begitu saja ke sungai, plus pemasok akar wangi.

Sebagai hadiah dari kemenangan di kompetisi internasional tersebut, Ecodoe menerima SGD10 ribu plus mentoring dari McKinsey. Hadiah tersebut akan dipergunakan untuk memerkuat pemasaran, inovasi desain, perbaikan proses produksi, dan peningkatan skala usaha. Larasati dan Tatang ingin agar lebih banyak lagi peternak yang tidak lagi membuang bulu dombanya, juga lebih banyak lagi perajin yang terlibat dalam produksi kerajinan bulu domba dan akar wangi. Dengan begitu, permasalahan lingkungan akibat limbah bisa dikurangi, sementara kesejahteraan masyarakat yang terlibat dalam rantai nilai bisnis sosial itu bisa ditingkatkan.

Bisnis sosial seperti ini perlu terus disemai, karena potensinya dalam memecahkan berbagai masalah ekonomi, sosial dan lingkungan yang dihadapi oleh masyarakat sangatlah besar. Kita sedang melihat perubahan besar dalam kurikulum berbagai sekolah bisnis di seluruh dunia yang mencerminkan semangat yang sama. Berbagai jurusan baru di tingkat pascasarjana juga bermunculan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Di Indonesia, MM dalam bidang community enterprise juga telah muncul di Universitas Trisakti. Namun, kita butuh jauh lebih banyak lagi pendidikan bisnis yang mengabdi pada kepentingan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan ini.

Selain itu, institusi pendukung lainnya perlu diciptakan. Platform yang menghubungkan para inovator sosial dengan investor sosial adalah salah satunya. Mungkin bentuknya bisa berupa pertemuan bisnis sosial yang rutin, atau bisa juga platform berbasis teknologi informasi. Proses penilaian kelayakan sangatlah diperlukan agar para investor sosial bisa mengetahui dengan keyakinan yang tinggi tentang manfaat sosial dan finansial yang bisa dihasilkan sebuah bisnis sosial. Suatu saat kita bahkan akan membutuhkan sebuah pasar modal khusus untuk bisnis sosial di mana pemeringkatan berdasarkan manfaat sosial dan finansial akan menjadi penopang utamanya.

Tentu saja, akan sangat baik kalau Pemerintah hendak ikut mendorong pertumbuhan bisnis sosial sebagai bagian pencapaian pembangunan berkelanjutan. Di Tiongkok kini 1% dari total keuntungan BUMN-nya setiap tahun telah dialokasikan untuk modal bisnis sosial. Kalau ini terjadi juga di Indonesia, maka dampak positif ekonomi, sosial dan lingkungannya akan luar biasa.

Sumber:

Artikel ini pernah dimuat di surat kabar KONTAN, pada tanggal 12 November 2015.

Penulis: Wahyu Aris Darmono dan Jalal (Pendiri Perusahaan Sosial WISESA)