Kita sudah cukup kerap mendengar istilah bisnis sosial, perusahaan sosial dan wirausaha sosial dalam berbagai kesempatan. Namun, tampaknya pengertian yang disampaikan itu sangatlah beragam. Di level global pengertiannya sudah mengerucut sehingga menghasilkan semacam kesepakatan, setidaknya di antara pakar dan praktisinya. Tulisan ini akan dimulai dengan menjelaskan apa itu bisnis sosial, dan bagaimana kaitannya dengan dua istilah yang berikutnya.
Literatur yang ada memang masih menunjukkan beragam karakter bisnis sosial. Namun, tampaknya ada lima ciri yang dapat dikatakan menonjol. Pertama, bisnis sosial didirikan atas motivasi untuk memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Kalau selama ini terdapat doktrin kapitalistik bahwa maksimisasi laba sebagai satu-satunya tujuan berbisnis, ide bisnis sosial malah menyatakan bahwa pencarian laba—tak perlu sampai upaya memaksimalkannya—bukanlah tujuan bisnis.
Selama ini bisnis sudah dikenal memiliki dampak positif yang luas, di samping dampak negatifnya, namun dampak itu sendiri lebih berupa ikutan. Ketika bisnis berjalan, maka orang-orang yang terlibat di dalamnya akan mendapatkan manfaat ekonomi. Dan, mungkin juga manfaat sosial dan lingkungan. Tapi itu hanya ikutan saja dari tujuan pencarian laba.Kondisi tersebut, menurut para pakar seperti Muhammad Yunus, haruslah dibalik agar manfaat bisnis menjadi jauh lebih luas, dan mudaratnya bisa hilang.Bisnis dibuat untuk memaksimumkan manfaat, dan harus dipertahankan agar tidak merugi, supaya manfaat itu terus bisa dirasakan.
Baca Juga: 10 Wirausaha Inovatif yang Ramah
Lingkungan
Kedua, sebagai bisnis, tentu saja, masalah-masalah yang hendak dipecahkan itu hendak diselesaikan melalui mekanisme pasar. Para pakar yang mengusung konsep bisnis sosial tidaklah menentang donasi atau filantropi. Namun, mereka sangat yakin bahwa bisnis sosial itu memiliki sifat yang lebih unggul dibandingkan filantropi, karena bisa dibuat berkelanjutan. Mekanisme pasar, adalah sebuah mekanisme yang “alamiah” dan telah membuktikan diri mampu membuat alokasi yang baik atas sumberdaya, walau memang bukan tanpa cacat.
Kalau selama ini ada masalah yang disebut sebagai ketidaksempurnaan pasar, itu bukan berarti mekanisme pasar harus ditinggalkan, melainkan harus dikoreksi. Dan, bagi para pendukung bisnis sosial, koreksi tersebut harus dibuat untuk tujuan memaksimalkan manfaat, bukan laba. Maksimisasi laba adalah penyebab pasar yang menjadi tak memihak pada kemaslahatan masyarakat, dan karenanya harus dikendalikan.
Baca Juga: Pengertian Social Capital
Ketiga, baik proses produksi maupun produk dari bisnis sosial haruslah mendatangkan manfaat. Para pakar bisnis sosial menegaskan bahwa karena motivasinya adalah memecahkan masalah, maka produk dari bisnis sosial tidaklah perlu diragukan lagi. Namun, mereka menegaskan bahwa proses produksinya harus juga dipikirkan untuk membawa manfaat terbesar yang mungkin untuk skala bisnis itu. Terkait dengan hal ini, setiap pemilik dan manajer bisnis sosial diharapkan melakukan penelitian mendalam tentang potensi manfaat dari seluruh komponen dalam proses produksinya. Seluruh pihak yang terlibat dalam menyediakan pasokan harus diajak untuk memikirkan bagaimana mereka bisa berkontribusi dalam kemajuan bisnis perusahaan, dan mendapatkan manfaat optimal darinya.
Keempat, produk dari bisnis sosial harus bersifat inovatif. Para pakar bisnis sosial menegaskan bahwa modal terbesar sebuah bisnis sosial adalah ide pemecahan masalah, bukan modal berupa uang. Ide itu, kerap kali menentang apa yang selama ini dipraktikkan secara luas. Sifat ide itu adalah baru dan berkinerja lebih baik, yang merupakan pengertian dari inovasi. Contohnya adalah Grameen Bank yang didirikan oleh Muhammad Yunus. Menurutnya, bank tradisional adalah institusi yang tak cukup memberikan solusi bagi masalah akses atas kapital, lantaran memberikan uang kepada mereka yang sudah cukup kaya untuk memiliki kolateral kredit.
Baca Juga: Apa itu Sociopreneur?
Sementara bagi yang miskin, yang benar-benar membutuhkan uang sebagai modal untuk memulai usaha, ternyata bank tradisional tak bisa memberikan pelayanannya.Institusi bank yang ia dirikan untuk mengatasi masalah tersebut—dan yang membuatnya meraih Nobel Perdamaian 2006 itu—membuktikan bahwa meminjamkan uang kepada orang miskin yang membutuhkan modal kerja ternyata jauh lebih menguntungkan, lantaran disiplin pengembalian pinjaman yang lebih tinggi dibandingkan orang kaya. Berbagai bisnis sosial dalam bentuk bank yang mengikuti jejak Grameen Bank, yaitu dengan spesialisasi keuangan mikro, kini terbukti memiliki kinerja finansial yang lebih baik dibandingkan bank-bank tradisional.
Terakhir, bisnis sosial ditandai dengan reinvestasi atas sebagian besar keuntungan yang diperoleh. Reinvestasi tersebut bisa untuk meluaskan layanan yang selama ini diberikan kepada penerima manfaat yang lebih luas, atau bisa untuk memecahkan masalah ekonomi-sosial-lingkungan lain yang dihadapi oleh masyarakat. Di Inggris, misalnya, ditegaskan bahwa bisnis sosial harus menginvestasikan lebih dari 50% keuntungan yang diperolehnya, dan kebanyakan pebisnis sosial melakukan reinvestasi jauh di atas batas tersebut. Sementara, Muhammad Yunus berpendapat bahwa para pemilik modal yang disetorkan untuk membangun bisnis sosial tidaklah bisa menarik keuntungan dari modal tersebut. Gaji bisa saja diperoleh bila pemilik modal tersebut bekerja untuk bisnisnya, namun deviden tidak ada sama sekali. Pendapat Yunus ini, walaupun sangat popular, masih dirasakan sangat berat untuk dilaksanakan.
Baca Juga: Tipe-tipe Struktur Kepemilikan pada
Social Enterprise
Dengan kelima karakter yang melekat pada bisnis sosial, yang kemudian kita saksikan adalah terpecahkannya banyak sekali masalah yang dihadapi oleh masyarakat, sebagaimana yang dicatat dalam The Power of Unreasonable People (Elkington dan Hartigan, 2008). Lalu, penelitian-penelitian berkala tentang reputasi, misalnya Edelman Trust Barometer, menunjukkan bahwa organisasi yang memanfaatkan pendekatan bisnis sosial telah menjadi organisasi-organisasi yang paling dipercaya oleh pemangku kepentingan global. Organisasi yang memanfaatkan pendekatan bisnis sosial itulah yang dikenal dengan nama perusahaan sosial.
Perusahaan sosial dipandang oleh para pakar sebagai organisasi yang berada di dalam peririsan antara pasar dan gerakan sosial. Artinya, para pebisnis melihat bahwa perusahaan sosial adalah bentuk perusahaan dengan spesialisasi produk dan nilai-nilai tertentu; sementara para aktivis gerakan sosial melihat perusahaan sosial sebagai bagian dari gerakan sosial yang memanfaatkan strategi berbasis pasar. Kedua pandangan adalah sah.
Baca Juga: 7 Model Bisnis Social Enterprise
Dimensi lain yang juga penting adalah perusahaan sosial bisa saja merupakan hasil transformasi dari perusahaan komersial biasa. Mungkin pemiliknya mendapatkan panggilan untuk mengubah bisnisnya menjadi lebih bermanfaat luas daripada sekadar bermotifkan pencarian keuntungan. Untuk itu, si pemilik kemudian bisa mengubah bisnisnya, sedikit demi sedikit hingga bisa mengikuti kelima karakter di atas. Di luar hasil transformasi, perusahaan sosial juga bisa didirikan sejak awal untuk menjadi organisasi bercirikan bisnis sosial. Ini tentu lebih mudah, bila para pemiliknya memang merasakan panggilan untuk itu.
Para pemilik perusahaan sosial itulah yang menjalankan semangat wirausaha sosial, sebuah semangat untuk membantu masyarakat dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi dengan pendekatan pasar. Mereka sendiri disebut sebagai wirausahawan sosial. Namun, pengertian wirausahawan sosial biasanya juga mencakup para pekerja di dalam organisasi yang menjalankan bisnis sosial, baik itu di tingkat manajemen puncak, madya, hingga staf di hierarkhi paling rendah. Mengapa bukan cuma pemilik modalnya yang disebut wirausahawan sosial? Karena dalam bisnis sosial modal terbesar—seperti yang telah dinyatakan di bagian awal—bukanlah uang, melainkan ide untuk memecahkan masalah.Dan, ide tersebut bisa disumbangkan oleh siapapun di dalam sebuah perusahaan sosial.
Jika merasa artikel ini bermanfaat, yuk bantu sebarkan ke teman-teman Anda. Jangan lupa untuk like, share, dan berikan komentar pada artikel ini ya Sahabat Wirausaha.
Sumber:
Artikel ini pernah dimuat di surat kabar KONTAN, pada tanggal 22 Juni 2017.