https://www.mldspot.com/sites/default/files/Setya%20Yudha1.JPG

Sumber gambar : Midspot.com

Sekarang ini, jika bicara kedai kopi, kita bisa dengan mudah menemukannya di setiap penjuru Jakarta. Bagi para pecinta kopi, hal ini tentu kemajuan besar. Ngopi tak lagi dianggap cuma milik bapak-bapak. Anak-anak muda pun bisa melakukannya, di gerai-gerai kopi yang bahkan lebih keren dibanding sepetak pos ronda. Kopinya pun tidak lagi dihasilkan dari sebungkus kemasan sachet, melainkan dari biji-biji kopi lokal yang digiling dan diproses di tempat. Ini adalah keadaan yang sangat berbeda dengan beberapa tahun lalu.

Bertahun-tahun lalu, orang cenderung mengira bahwa kopi giling yang nikmat merupakan produk impor. Dan karenanya, harga dari segelas kopi-kopi tersebut selangit. Ini adalah pola pikir yang keliru. Sebab faktanya, sebagian besar produk kopi mahal yang diimpor ke Indonesia, justru berbahan baku biji kopi lokal Nusantara.

”Robusta yang tumbuh di Jawa punya kualitas yang bagus,” ucap Giuseppe Trovato, seorang pakar kopi asal Italia, saat diajak bicara soal bahan racikan kopi yang digunakan para barista dari negara tersebut. Ya, Italia memang bangsa pionir dalam teknik mengolah dan meracik kopi. Tapi mereka tidak punya perkebunan kopi. Dilansir dari Kompas.com, pada tahun 2015 Badan Pusat Statisik mendata lebih dari 43 ribu ton kopi Indonesia diekspor ke Italia.

Di tahun 2015, segelas kopi panas yang masih biasa disajikan oleh warkop-warkop pinggir jalan adalah kopi sachet. Citarasanya jauh di bawah kopi racikan asli Nusantara. Hal inilah yang mengganggu Setya Yudha Indraswara, Founder Jaringan Warkop Nusantara. Sebagai penikmat kopi lokal, ia gerah melihat anggapan masyarakat bahwa kopi giling yang enak tidak cocok untuk masyarakat menengah ke bawah.

Dari kegelisahan tadi, ia kemudian mendirikan Jaringan Warkop Nusantara ,sebuah social project yang mengedepankan asas gotong royong dalam mengembangkan kopi lokal dan warung kopi tradisional Indonesia.

Perjalanan JWN Dalam Mengangkat Olahan Kopi Lokal

JWM berdiri empat tahun yang lalu, diawali dengan keresahan lantaran sulitnya akses biji kopi. Saat itu, bisnis kopi belum seramai sekarang ini. Cukup sulit mencari kopi Nusantara dengan akses mudah dan harga terjangkau. Yudha bukan ahli kopi, kebetulan ia hanya senang ngopi. Beruntungnya, ia memiliki banyak relasi dengan orang-orang yg ahli di bidang perkopian. Maka menjelang tahun 2017, berdirilah Jaringan Warkop Nusantara. “Awalnya tidak ada niat bisnis, hanya ingin mengenalkn ragam kopi Nusantara,” cerita Yudha. Ia sendiri memandang JWN sebagai sesuatu yang berlandaskan Sociopreneurship, alias bisnis yang berawal dari proyek sosial.

Umumnya, di warkop-warkop kota besar, yang disuguhkan adalah kopi-kopi sachet. “Bukan berarti kami anti kopi sachet atau kopi pabrikan, tapi sangat sayang jika kopi-kopi tradisional Nusantara yang enak, tidak disajikan,” ujarnya. Akhirnya, ia mencoba pelan-pelan “menggusur” tren kopi sachet dan mengajak orang-orang menikmati kopi asli.

Yudha, yang memang berpengalaman mendirikan bisnis warung kopi, mengaku dirinya tidak butuh modal yang besar. “Saat itu, modal saya hanya limapuluh ribu saja,” paparnya. Modal tersebut digunakan untuk membeli dua jenis kopi, lalu diletakkan di warung tempatnya biasa minum kopi. Ia membuat kesepakatan dengan si pemilik warung, bahwa jika mengopi di sana, ia akan membayar harga normal untuk meminum kopi miliknya. Pemilik warung juga diperbolehkan menjual kopi asli tersebut ke pelanggan lain, namun tidak dengan harga yang terlalu mahal, agar pelanggan tetap mau memesannya di kali lain. “ Ya minimal 4 atau 5 ribu, lah,” ujar Ulil.

Ternyata, dua bungkus kopi tersebut dengan cepat terjual ludes. Yudha kemudian kembali menambah stok, atas permintaan pemilik warung. Saat itu, Yudha belum memikirkan profit dan hanya ingin pelanggan warung tersebut ikut menikmati kopi Nusantara. Makin lama, makin sering, teman-temannya pun mulai ikut menitip kopi. “Akhirnya, semakin banyak pesanan, jadilah bisnis makelar kopi kecil-kecilan,” papar pria yang juga akrab dipanggil Ulil ini.

Sekarang, JWN sudah punya toko kopi sendiri bernama Joyo 99 yang khusus menjual kopi-kopi asli Indonesia. Menjelang 4 tahun setelah berdiri, JWN masih tetap eksis di dunia bisnis kopi.

Apa yg membedakan antara JWM dengan coffeeshop lain?

Pertama, Joyo 99 tidak hanya fokus berjualan produk, melainkan juga mengajak lebih banyak teman-teman untuk membuka warung kopi. Baik dari skala kecil, menengah, bahkan besar. “Kami mengajak teman-teman semua yang berminat untuk belajar bareng, ngopi bareng, semua gratis,” kata Yudha. Ya, ia memang berkeinginan untuk membuat kopi Nusantara lebih banyak dikonsumsi dan karenanya, bersedia membina teman-teman yang ingin membuka usaha kopi.

Menurut Ulil, hal inilah yang dimaksudnya saat membangun usaha berasaskan gotong royong. “Gotong royong, maksudnya lebih ke saling support, saling dukung, dengan menjalin relasi pertemanan yang luas,” ujarnya.

Ia juga mengakui, bahwa hingga sekarang, JWM maupun Warung Kopi Joyo 99 belum pernah membuat konten promosi komersial. Malahan, mereka bertahan dan berkembang murni dari gethuk tular, alias teman ke teman, dari kenalan ke kenalan, saling memperkenalkan sampai jadi seperti sekarang ini. Mereka mempromosikan tidak dengan digital marketing, namun murni relasi pertemanan, berjalan dengan sendirinya.

Meskipun berbisnis lewat pendekatan yang tradisional, namun JWM didukung oleh para expert di bidang kopi yang cukup modern. Peralatan yang digunakan pun mengikuti perkembangan zaman, demi menghasilkan citarasa kopi Nusantara yang baik. Adi Taroepratjeka, Q Grader Instructor di bidang kopi adalah salah satu ahli yang terlibat. Daroe Handojo, dari Asosiasi Kopi Spesial Indonesia. Teman-teman inilah yang turut membantu di belakang kegiatan JWM.

Membina Bisnis Kopi Dari Hulu ke Hilir

JWM juga aktif dalam mendukung warung-warung kopi kecil untuk berkembang dan mulai berjualan kopi asli Nusantara, seperti Kopi Toraja dan Kopi Lampung. Harga yang dibandrol oleh mereka pun tidak mahal, kebanyakan masih di bawah sepuluh ribu rupiah.

Dilansir dari Kompas.com, Ulil kerap membina teman-teman yang merupakan pebisnis kopi kecil-kecilan untuk belajar setahap demi setahap. Mulai dari awal kopi yang baru dipetik, digiling, di-roasting, hingga diseduh dan tersaji dalam sebuah gelas di hadapan konsumen. Selain itu, menurutnya penting juga unutk memahami bahwa setiap jenis kopi memiliki karakteristik yang berbeda. Baik itu kopi Mandailing, Lampung, Gayo, Bali, Jawa, Toraja, Flores, hingga Papua.

“Bisnis kopi ini rantainya panjang, menyesuaikan kita dan menyesuaikan juga dengan sekeliling,” jelas Ulil. Maksudnya, bisnis kopu tak harus melulu dengan membuka kedai. Sebab belum tentu kita cocok berjualan es kopi susu dan bisa jadi, justru kita lebih cocok di bisnis roastery. Atau, jika teman-teman punya kebun kopi, lebih bagus untuk mengembangkan bisnis di bidang itu.

“Semakin ke hulu, justru semakin bagus,” ujar Yudha. Kopi tidak selalu di ujung, di hilir, dalam bentuk kedai. Inilah yang disebut Agrobisnis, lebih panjang rantainya dan lebih membutuhkan usaha keberlanjutan. Sebab, bisa saja pasarnya sudah terlalu padat untuk kedai kopi.

Apa mimpi ke depannya untuk JWM?

Berkat kontribusinya dalam membangkitkan minat masyarakat akan bisnis kopi, di tahun 2017, JWM menjadi pemenang MLDSPOT Content Hunt. Yudha menganggap selama ini JWM sebagai manifestasi dari hobinya. Jika ditanya mimpi, sederhana saja, ia ingin kopi-kopi asli Indonesia tersedia di seluruh warung-warung kopi pinggir jalan dengan kualitas yang bagus. Menggusur kejayaan kopi-kopi sachet yang mendominasi karena harganya yang murah. Jika terus berusaha, tentu akan banyak teman-teman lain yang akan muncul dan melanjutkan. “Kita ngomporin aja,” ujarnya.

Setiap hari, JWM melakukan openhouse di tenpat usaha mereka. Teman-teman UKM, terutama yang punya keinginan membuka warung kopi, dipersilakan untuk mampir. Biasanya, pegiat kopi Nusantara akan sharing tentang pengalaman berbisnis kopi. “Kita semua bisa tumbuh bareng,” ujar Yudha.

Mendengar pengalaman Yudha a.k.a Ulil di sektor bisnis kopi, mau tidak mau kita akan ikut terinsiprasi. Di kala orang lain saat ini memandang kopi murni sebagai bisnis, JWM justru memperjuangkan sisi sosial dan melestarikan kopi Nusantara serta mendorong warung kopi membangun kualitas mereka.

Berbisnis kopi pun tak melulu harus sewa barista dan punya kedai. Teman-teman bisa saja memenuhi sektor kebutuhan yang lain, seperti menjadi supplier biji kopi, petani kopi, atau membuka roastery. Sebab, budaya ngopi di Indonesia sudah sangat kental. Hanya tinggal bagaimana kita, UMKM Indonesia, mengelola potensinya dengan apik. Yuk, naik kelas!

Referensi :

Webinar APINDO UMKM Akademi bertajuk “Komoditas Kopi Jadi Prioritas Nasional, Apa Peluangnya?” yang bisa diakses melalui link https://www.topkarir.com/article/detail/webinar-komoditas-kopi-jadi-prioritas-nasional-apa-peluangnya

https://travel.kompas.com/read/2016/10/01/190500227/italia.negeri.kopi.tanpa.perkebunan.kopi

https://edukasi.kompas.com/read/2018/04/26/08030041/cerita-kopi-dunia-asal-indonesia-yang-akhirnya-masuk-warung-pinggir-jalan