Inovasi sosial adalah jantung dari bisnis sosial. Begitu yang kerap kita dengar dari para pakar. Namun, ketika kemudian kita bertanya lebih jauh tentang apa arti inovasi sosial, pengertiannya begitu beragam. Lewat artikel bertajuk Exploring Social Innovation Components and Attributes: A Taxonomy Proposal yang terbit di Journal of Social Entrepreneurship Vol. 9/2, 2018, Caroli dkk menyatakan bahwa popularitas istilah tersebut memang belum dibarengi dengan kejelasan definisi.

Namun, tampaknya ada beberapa pendapat yang menonjol tentang situasi apa saja yang mendorong kemunculannya. Pertama, inovasi sosial adalah produk atau proses yang muncul ketika pendekatan konvensional gagal menyelesaikan masalah, ketika terjadi perubahan di dalam sistem sosial, atau ketika terjadi perubahan kelembagaan. Kedua, inovasi sosial muncul terutama di dalam pemecahan masalah sosial dan lingkungan yang disebabkan oleh kegagalan pasar. Ketiga, inovasi sosial muncul ketika teknologi dipergunakan untuk mengidentifikasi dan memecahkan kondisi ketidakpuasan masyarakat akibat penggunaan cara-cara konvensional.

Para pakar itu jelas mengaitkan kemunculan inovasi sosial dengan adanya masalah sosial dan lingkungan, kegagalan pasar, pemecahan masalah tersebut, perubahan sosial dan kelembagaan, proses dan produk, serta pemanfaatan teknologi. Tetapi, penjelasan situasional itu belumlah lengkap, karena baru menjelaskan kondisi-kondisi atau konteks yang melingkupi kemunculan inovasi sosial.

Mengikuti pengertian inovasi yang banyak dianut oleh para pakar manajemen, ciri dari inovasi adalah baru dan lebih baik. Tetapi, yang dipandang sebagai yang lebih penting adalah ciri yang kedua. Inovasi sosial tujuannya adalah memecahkan masalah yang dihadapi oleh masyarakat, sehingga yang dimaksud dengan lebih baik adalah kondisi masyarakat yang menjadi sasaran penerima manfaat inovasi itu.

Menyimpulkan pendapat para pakar tentang inovasi sosial, Caroli dkk menyatakan “What really matters is the improvement of the social results in comparative terms, rather than the novelty of the service itself (Neumeier 2012). For this reason, SI should be understood more for its ability to create social impact, than for the inherent novelty of its proposals (Martin and Upham 2016; Martinez et al. 2017). At the same time, SI should have the potential to improve the quality of life of a particular community (Pol and Ville 2009) and to create a discontinuity with the past, where the novel solution improves the conditions of the community (Devadula et al. 2017), compared to the previous state of things.

Dengan kata lain, bukti dari sifat inovatif itu adalah kemampuan untuk menghasilkan dampak sosial positif yang lebih baik dibandingkan dengan pendekatan tradisional. Dampak sosial positif itu ditandai dengan kualitas hidup, atau kesejahteraan, yang meningkat. Kalau kondisi yang berasal dari pendekatan tradisional itu tidak cukup baik, maka masyarakat juga penting untuk ‘putus hubungan’ dengan kondisi itu.

Ketika delapan tahun lalu merumuskan inovasi sosial yang dilakukan oleh perusahaan, Jason Saul mengusulkan hal yang sangat penting untuk dipegang erat. Inovasi itu perlu didesain untuk menguntungkan penerima manfaat serta inovatornya. Tetapi, penerima manfaat harus dibuktikan membaik kondisinya terlebih dahulu, baru kemudian keuntungan ekonomi bisa diperoleh inovatornya. Hal ini tampaknya juga disetujui oleh para pakar lainnya.

Dalam penjelasan ekosistem yang lebih luas, inovasi sosial itu melibatkan investor sosial (mereka yang memodali inovasi sosial), inovator sosial (pemilik ide, proses, atau produk inovatif), inovasi sosial, serta penerima manfaat. Mereka yang berinvestasi—baik itu pemerintah, perusahaan, atau lembaga dan individu filantropi—juga berhak atas keuntungan dari inovasi sosial tersebut, yang bisa berupa keuntungan finansial, operasional, dan reputasional. Tetapi, para investor itu baru bisa menerima keuntungan reputasional, operasional, atau finansial (bila inovasi sosial itu berarti pemanfaatan mekanisme pasar untuk memecahkan masalah) setelah inovasi itu benar-benar menunjukkan manfaat buat masyarakat sasaran.

Apa yang tampak dari diskusi di antara para pakar adalah bahwa inovasi sosial itu bukanlah sekadar sebuah konsep yang ringan. Kalau selama ini apapun yang baru atau yang menggunakan teknologi mutakhir langsung dilabel ‘inovatif’, inovasi sosial butuh lebih banyak rambu-rambu. Rambu terpenting adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat yang terukur, bukan sekadar kesan selintas atau data anekdotal. Kalau hal ini kita terima, maka para pebisnis sosial, yang merupakan pemanfaat utama inovasi sosial, harus bersedia untuk membuktikan hal tersebut, dengan data yang diproduksi sendiri, maupun dengan memersilakan pihak ketiga independen untuk mengukurnya.


Sumber:
Artikel ini pernah dimuat di surat kabar KONTAN, pada tanggal 2 Agustus 2018.

Penulis: Jalal dan Wahyu Aris Darmono (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA).