Sama dengan perusahaan komersial, perusahaan sosial sudah cukup lama menjadi objek penelitian yang menarik. Tentu, sebagai perusahaan yang secara konseptual hadir belakangan, riset tentang perusahaan sosial belumlah cukup banyak dibandingkan dengan riset atas perusahaan komersial. Metodologinya sendiri beragam, seperti misalnya yang dituliskan dalam buku-buku paling berpengaruh di bidang ini, Social Enterpreneurship and Research Method (Short, 2014), Handbook of Research on Social Entrepreneurship (Fayolle dan Matlay, 2010), dan Social Entrepreneurship (Mair, Robinson, dan Hockerts, 2006).
Yang sangat jelas terlihat dari buku-buku itu adalah bahwa etnografi, sebagai studi tentang bagaimana kehidupan sehari-hari dijalani, belum banyak dimanfaatkan untuk meneliti perusahaan sosial. Padahal, sebagaimana yang ditunjukkan oleh para peneliti seperti Amin, dkk (2008) serta Bull dan Crompton (2006), kebutuhan meneliti perusahaan sosial dengan metode etnografis sebetulnya sudah setua penelitian tentang perusahaan sosial itu sendiri. Sangat mengherankan, bahkan mengecewakan, lantaran perusahaan sosial adalah jenis perusahaan paling inovatif, tetapi penelitian tentangnya tidaklah cukup inovatif (Haugh, 2005).
Mungkin, masa yang mengecewakan itu sudah berakhir. Social Enterprise Journal, Vol. 13/2 2017 menyajikan beragam penelitian etnografis tentang perusahaan sosial. Enam penelitian etnografis dengan kasus yang bermacam, seperti jejaring perusahaan sosial, promosi kesehatan oleh perusahaan sosial, dan kondisi kerja di perusahaan sosial dibedah dengan metode yang biasa dipergunakan para antropolog dan sosiolog pedesaan itu. Dan hasil-hasilnya sangatlah menarik.
Perusahaan sosial kerap digambarkan dengan oversimplifikasi. Tetapi, etnografi membuatnya terhindar dari kondisi itu. Agak menjadi lebih rumit begitu para peneliti itu melihat apa yang terjadi dari sudut pandang pelaku bisnis sosial. “Studying social enterprises ethnographically complicates simple reductions to socio-economic tensions, by enriching the set of differences through which practitioners make sense of their work-world.” Begitu yang pertama disimpulkan oleh Mauksch, dkk. (2017). Tentu, pengayaan wawasan ini sangat diperlukan agar perusahaan sosial bisa dipahami dengan lebih detail.
“Ethnography provides a tool for unravelling how practitioners engage with discourse(s) of power, thus marking the concrete results of intervention (to some degree at least) as unplannable and yet effective” adalah kesimpulan kedua yang diajukan oleh Mauksch, dkk. Bisnis sosial memiliki tujuan untuk memecahkan masalah ekonomi, sosial, dan/atau lingkungan tertentu. Dalam memecahkan masalah-masalah itu, kerap mereka harus berhadap-hadapan dengan kekuasaan, kebijakan, dan situasi yang tidak menguntungkan. Hasilnya, belum tentu niat baik perusahaan sosial terwujud. Etnografi bisa menjelaskan ketegangan yang terjadi di antara pebisnis sosial dengan lingkungan eksternalnya itu.
Kesimpulan yang ketiga, “ethnographic examples signal the merits of moving beyond leaders towards more collective representations and in-depth accounts of (self-)development.” Ini juga sangat penting diperhatikan, karena banyak sekali studi tentang perusahaan sosial terlampau berpusat pada figur pimpinan atau pendirinya. Mereka memang merupakan para figur yang visioner, sehingga banyak peneliti tergoda untuk menyamakan saja para figur itu dengan perusahaan sosialnya. Berbagai studi etnografi mengungkap bahwa pendekatan itu tidaklah memadai. Representasi kolektif dari mereka yang bekerja di perusahaan itu sangat penting untuk memahami organisasi dengan lengkap.
Kesimpulan pamungkasnya, “reflexive ethnographies demonstrate the heuristic value of accepting the self as inevitably part of research and exemplify insights won through a thoroughly bodily and emotional commitment to sharing the life-world of others.” Ini juga sangat khas penelitian etnografis. Subjektivitas peneliti tak bisa dihilangkan, pun demikian dengan komitmen emosional untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang perusahaan sosial. Kasarnya, peneliti yang hatinya tertambat pada idealisme bisnis sosial akan dapat menyampaikan apa yang dipelajarinya dengan lebih utuh dan apresiatif.
Kumpulan penelitian etnografis di dalam jurnal tersebut sangatlah bermanfaat bagi siapapun yang ingin meneliti perusahaan sosial, termasuk kita yang berada di Indonesia. Perusahaan sosial di Indonesia kerap dinyatakan masih berada pada tahap awal pertumbuhan, walau sudah ada beberapa yang telah unjuk gigi hingga level internasional. Kiranya, etnografi akan bisa mengungkap apa saja faktor yang mungkin berkontribusi pada keberhasilan perusahaan sosial di Indonesia. Dengan begitu, kita bisa melihat pertumbuhan bisnis sosial yang lebih pesat di masa mendatang.
Sumber:
Artikel ini pernah dimuat di KONTAN tanggal 18 Mei 2017.
Penulis: Wahyu Aris Darmono dan Jalal (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA)