Artikel kami yang terbit dua minggu lalu, Menjadi Bisnis Inklusif (Kontan, 11/1 2018) mendapatkan banyak sambutan. Di situ kami menguraikan pemikiran Kaplan, Serafeim dan Tugendhat yang terbit di Harvard Business Review edisi Januari-Februari 2018. Kaplan dkk menyatakan bahwa bila sebuah bisnis inklusif hendak memecahkan masalah kemiskinan dan kesenjangan, maka ada empat prinsip yang harus diikutinya.

Pertama, mencari peluang perubahan sistemik dan multisektoral. Kedua, memobilisasi mitra yang memiliki kemampuan komplementer. Ketiga, memastikan sumberdaya finansial untuk fase awal dan lanjut, terutama untuk meningkatkan skala dampak. Keempat, mengimplementasikan tata kelola dan sistem monitor hingga perubahan sistemik yang dituju memang benar-benar tercapai.

Buat para pembaca artikel kami, tampaknya isu pertama adalah bahwa Kaplan dkk tidak cukup menjelaskan apa itu bisnis inklusif. Kami sendiri berpendapat bahwa Kaplan dkk memang mengasumsikan bahwa pembaca artikelnya sudah memahami apa itu bisnis inklusif yang terus menanjak popularitasnya sejak pertama kali diperkenalkan di tahun 2008 hingga sekarang.

Namun, agar lebih jelas, kami kembali menelusuri publikasi-publikasi utama terkait bisnis inklusif. Kami mendapati dokumen UNDP (2008), WBCSD dan SNV (2008), Gradl dan Knobloch (2010) serta IFC (2011) adalah di antara yang paling popular. Walaupun keempatnya memiliki definisi yang berbeda-beda tentang bisnis inklusif, kami melihat ada lima komponen penting yang membentuk bisnis inklusif.

Pertama, melibatkan masyarakat miskin sepanjang rantai nilai sebagai pemilik bisnis, pemasok, tenaga kerja, distributor, dan konsumen. Kedua, menciptakan manfaat dengan memastikan kelestarian fungsi ekonomi, sosial dan ekologis. Ketiga, mendatangkan keuntungan bagi masyarakat miskin berupa kesempatan kerja, peluang bisnis, peningatan pendapatan, peningkatan ketrampilan, peningkatan kapasitas lokal dan produk yang sesuai dengan kebutuhan dan terjangkau. Keempat, menguntungkan perusahaan yang menjalankannya dalam manajemen risiko, operasi, reputasi dan finansial. Dan, terakhir, menyumbang pada penghilangan kemiskinan dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Kelima komponen tersebut diharapkan bisa memberikan pengertian yang lebih kokoh bagi pembaca.

Yang juga penting diketahui adalah bahwa bisnis inklusif sendiri bisa dibuat dalam tiga level, yaitu aktivitas, model bisnis, maupun bentuk perusahaan (G20DWG, 2015). Perusahaan komersial yang selalu mendahulukan kelompok masyarakat miskin dalam rekruitmen ketenagakerjaan serta peluang bisnis (mis. sebagai pemasok) bisa dikatakan menjalankan aktivitas bisnis inklusif.

Lebih lanjut, perusahaan komersial bisa juga membuat operasinya disandarkan pada model bisnis inklusif. Dalam hal ini, bukan hanya membuka peluang kerja dan usaha bagi kelompok masyarakat miskin, melainkan juga membeli produk mereka dengan harga yang lebih baik dan adil, juga menciptakan dan menjual produk-produk yang memang dibuat untuk menyelesaikan masalah kemiskinan.

Tetapi, sebagai perusahaan komersial, mereka tetap memiliki motivasi utama untuk meraup keuntungan. Sementara, kalau perubahannya hendak menjadi sistemik, maka bisnis inklusif harus disandarkan pada motivasi menyelesaikan masalah kemiskinan itu. Di sini, tingkatan paling tinggi pun mewujud, yaitu bisnis sosial. Bagi kami, empat prinsip Kaplan dkk itu bisa benar-benar membuat perubahan sistemik manakala pelakunya adalah perusahaan sosial, bukan komersial.

Hal yang juga sangat penting untuk disadari adalah bahwa mengangkat masyarakat keluar dari kemiskinan tidaklah sama persis dengan mengikis kesenjangan. Untuk benar-benar mengurangi kesenjangan yang harus dilakukan adalah memastikan bahwa pertumbuhan kesejahteraan kelompok miskin angkanya lebih tinggi daripada rerata masyarakat, dan juga lebih tinggi daripada pertumbuhan segala indikator ekonomi perusahaan yang menjalankan bisnis inklusif itu. Hanya dengan demikian saja sedikit demi sedikit jarak ekonomi bisa dikikis.

Itulah mengapa pemecahan masalah kesenjangan ini kemudian menguatkan kami atas keyakinan bahwa hanya perusahaan sosial sajalah yang bisa menjalankan bisnis inklusif secara paripurna. Sangat sulit, kalau bukan mustahil, berharap sebuah bisnis komersial menyengaja menurunkan tingkat pertumbuhan ekonominya di bawah kecepatan pertumbukan kesejahteraan kelompok miskin. Tapi itulah yang persis akan dilakukan oleh sebuah bisnis sosial yang sejati.


Sumber:
Artikel ini pernah dimuat di surat kabar KONTAN, pada tanggal 25 Januari 2018.

Penulis: Jalal dan Wahyu Aris Darmono (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA)