Siapa Pemilik Uniqlo Di sebuah kota kecil bernama Ube, Prefektur Yamaguchi, Jepang, tahun 1949, lahirlah seorang anak laki-laki yang kelak mengubah wajah industri fesyen dunia. Tadashi Yanai tidak tumbuh di pusat mode Tokyo, Paris, atau New York. Ia besar dalam nuansa pasca-Perang Dunia I, yaitu masa Jepang sedang membangun ulang dirinya.

Ayahnya menjalankan toko pakaian pria bernama Ogori Shoji, sebuah bisnis keluarga biasa. Namun dari tempat sederhana inilah, lahir benih mimpi besar: membangun brand pakaian global yang tak sekadar menjual gaya, tapi membentuk gaya hidup. Siapa pemilik Uniqlo yang membawa brand ini sukses menjadi taipan ritel global? Simak kisahnya berikut ini.


Awal yang Sederhana dan Visi yang Luar Biasa

Pasca lulus dari Waseda University jurusan politik dan ekonomi pada tahun 1971, Yanai sempat mencoba bekerja di Jusco, salah satu jaringan ritel Jepang. Hanya bertahan satu tahun, ia lalu kembali ke toko ayahnya. Disinilah, ia mulai mengamati dengan jeli: tren, perilaku konsumen, dan bagaimana kebanyakan orang membeli pakaian bukan untuk tampil glamor, tetapi untuk merasa nyaman dan percaya diri.

Pelanggan tidak ingin dilayani pramuniaga seperti toko pakaian tradisional Jepang saat itu. Mereka bisa mengambil sendiri, mencoba, dan langsung membayar di kasir seperti di supermarket. Responnya luar biasa. Konsumen Jepang, yang saat itu mulai lelah dengan formalitas dan harga tinggi di butik-butik, menyambut konsep ini dengan antusias.

Baca Juga: Andi Taufan Garuda Putra: Mendobrak Akses Finansial Lewat Amartha untuk UMKM


Membangun Sistem dan Identitas

Pada 1984, ia membuka toko bernama Unique Clothing Warehouse di Hiroshima. Nama ini kemudian disingkat menjadi Uniqlo. Siapa sangka, ketika mendaftarkan merek ini ke Hong Kong, kesalahan pengetikan membuatnya terdaftar sebagai "Uniqlo", bukan "Uni-clo" seperti yang direncanakan. Tapi Yanai melihat potensi dari kesalahan itu. Ia mengadopsi nama “Uniqlo” secara resmi, dan sisanya adalah sejarah.

Di akhir 1980-an hingga awal 1990-an, Tadashi mulai memperluas Uniqlo secara agresif di seluruh Jepang. Namun ia tidak hanya membangun toko demi toko, tapi juga membentuk sistem. Ia membangun sistem distribusi internal, mempercepat restock barang, mengawasi manajemen stok secara harian, dan menggunakan data penjualan sebagai dasar pengambilan keputusan, sebuah sistem yang belum umum saat itu di industri retail Jepang.

Pada 1994, jumlah toko Uniqlo menembus 100 cabang di Jepang. Banyak orang mulai bertanya, siapa pemilik Uniqlo, karena kesuksesannya mulai mencuri perhatian industri retail nasional. Namun jawaban dari pertanyaan itu tetap sederhana: seorang pria yang dulunya menjual panci, dan kini menjual T-shirt dengan sistem yang lebih rapi dari toko elektronik.


Revolusi di Era Krisis

Saat krisis ekonomi Jepang (dikenal sebagai “The Lost Decade”) melanda pada 1990-an, banyak bisnis ambruk. Tapi Uniqlo justru berkembang pesat. Strategi harga terjangkau dengan kualitas konsisten menjadi jawaban bagi masyarakat yang harus menghemat, tapi tetap ingin tampil rapi. Tahun 1998, Uniqlo membuka toko di Harajuku—ikon distrik mode Tokyo. Dari titik ini, Tadashi Yanai mulai menyusun mimpi globalnya.


Filosofi "LifeWear": Bukan Sekadar Pakaian

Apa yang membuat Uniqlo berbeda dari merek fast fashion lain? Jawabannya ada pada filosofi "LifeWear". Bagi Tadashi Yanai, pakaian seharusnya sederhana, berkualitas, tahan lama, dan bisa digunakan siapa saja dalam berbagai momen hidup. Dia tidak tertarik mengejar tren sesaat. Sebaliknya, ia menciptakan kaos, jaket, dan celana yang nyaman, fungsional, dan timeless.

Ketika banyak brand berlomba menciptakan koleksi musiman penuh glamor, Uniqlo menghadirkan Heattech untuk musim dingin, AIRism untuk kenyamanan tropis, dan ultra-light down jackets untuk efisiensi. Semua ini lahir dari riset mendalam, kolaborasi dengan ilmuwan dan desainer, serta—yang paling penting—pendekatan manusiawi.

Gabung jadi Member ukmindonesia.id buat update terus info seputar UMKM dan peluang usaha!


Jalan Berliku Menuju Sukses Global

Uniqlo tak menjadi raksasa global dalam semalam. Di balik pencapaiannya, ada jalan berliku penuh eksperimen, kegagalan, dan pivot besar yang dilakukan Tadashi Yanai. Pada tahun 2001, Uniqlo membuka toko pertamanya di luar negeri, tepatnya di London.

Tapi respons pasar Inggris dingin. Produk dinilai terlalu generik, strategi merchandising terasa "asing", dan promosi tidak menyentuh hati konsumen lokal. Dalam beberapa tahun, beberapa toko terpaksa ditutup. Banyak yang menilai ekspansi ini gagal. Tapi Tadashi tidak menyerah.

Alih-alih mundur total, ia memperlakukan kegagalan itu sebagai “laboratorium hidup”. Ia belajar bahwa pendekatan copy-paste dari Jepang tidak akan berhasil di pasar internasional. Ia lalu membentuk tim global marketing, memperkuat studi perilaku konsumen lokal, dan membangun sistem rantai pasok yang jauh lebih fleksibel.


Strategi Pemasaran: Anti-Tren, Pro-Fungsi

Uniqlo memilih untuk tidak bermain di jalur “fesyen cepat” seperti H&M atau Zara. Di bawah kepemimpinan Yanai, brand ini menolak mengejar tren musiman. Strategi pemasarannya sangat berfokus pada storytelling produk dan inovasi teknologi tekstil.

Contohnya Heattech, AIRism, dan Ultra Light Down—semuanya dipasarkan bukan sebagai “gaya”, tapi sebagai solusi gaya hidup. Promosinya melibatkan edukasi konsumen tentang keunggulan bahan, fungsi, dan kenyamanan produk. Bukan tanpa alasan, kampanye ini sukses menarik segmen pasar yang luas: dari pelajar, pekerja kantoran, hingga lansia.

Iklan-iklan Uniqlo juga konsisten mengangkat tema inklusivitas dan keberagaman. Dalam kampanye global seperti “The Science of LifeWear”, mereka menampilkan model dari berbagai latar budaya dan usia. Bahkan pada 2020-an, Uniqlo juga mendorong kampanye “Made For All”, menekankan bahwa produk mereka bukan tentang fesyen elitis, tapi tentang gaya hidup semua orang.

Baca Juga: Revolusi Agribisnis ala Arie Triyono: Inovasi dari Peternakan untuk Ketahanan Pangan


Penguasaan Supply Chain dan Penjualan Langsung

Berbeda dari banyak ritel pakaian yang mengandalkan pihak ketiga, Uniqlo, melalui Fast Retailing, mengontrol hampir seluruh rantai pasok: dari desain, manufaktur, hingga distribusi. Mereka menjalin kerja sama erat dengan pemasok bahan di Tiongkok, Vietnam, dan Bangladesh, sembari menjaga standar ketat dalam kualitas dan etika produksi.

Kunci lainnya adalah pendekatan penjualan langsung ke konsumen (direct-to-consumer). Hampir semua toko Uniqlo dimiliki sendiri, bukan waralaba. Ini memungkinkan mereka mengontrol pengalaman pelanggan sepenuhnya, mulai dari layout toko, tampilan produk, hingga pelayanan staf yang dilatih secara seragam di seluruh dunia.

Di sisi digital, Yanai menyadari pentingnya e-commerce sejak awal 2010-an. Uniqlo mengembangkan situs web dan aplikasi yang terintegrasi dengan sistem inventori dan logistik secara real-time. Bahkan pada masa pandemi, ketika toko fisik terpaksa tutup, platform online mereka tetap melayani jutaan pelanggan di seluruh dunia.


Ekspansi Global yang Terkurasi

Di bawah Tadashi Yanai, ekspansi global Uniqlo tidak dilakukan secara serampangan. Ia lebih memilih strategi “selective flagship and cluster expansion”. Artinya, mereka akan membuka satu toko besar berskala flagship di kota utama (misalnya di New York Fifth Avenue atau Ginza Tokyo), lalu perlahan membangun jaringan toko lebih kecil di sekitarnya.

Di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, strategi mereka lebih fleksibel dan adaptif terhadap budaya lokal. Mereka memilih lokasi strategis di pusat perbelanjaan, menggunakan kampanye digital lokal, dan bahkan berkolaborasi dengan selebritas atau seniman Indonesia untuk menciptakan koleksi terbatas.

Baca Juga: Gagal Tak Membuatnya Menyerah: Achmad Zaky dan Perjuangan Mendirikan Bukalapak Hingga Jadi Miliarder


Warisan yang Tak Terlihat Tapi Terasa

Uniqlo bukan hanya retail fashion ternama, tapi juga simbol budaya. Ia menyentuh kehidupan orang-orang lewat produk yang mereka kenakan setiap hari. Ia membuat fesyen yang inklusif, bukan eksklusif. Dan semua itu tidak mungkin terjadi tanpa visi Tadashi Yanai .“Pakaian yang baik bisa mengubah hidup seseorang,” kata Yanai dalam sebuah wawancara dengan The Financial Times.

Di usia 70-an, Yanai mulai mempersiapkan suksesi. Ia tidak ingin Fast Retailing bergantung pada satu orang saja. Namun, jejaknya sudah terlanjur dalam. Ketika orang memakai t-shirt Heattech sambil berangkat kerja, atau memilih jaket ringan yang ringkas untuk traveling, mereka sebenarnya sedang menikmati warisan tak langsung dari seorang anak toko pakaian kecil di Ube.

Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan di share ke rekan-rekan Sahabat Wirausaha. Follow juga Instagram @ukmindonesia.id untuk update terus informasi seputar UMKM. 

Referensi:

  1. Fast Retailing Co., Ltd. Corporate Profile – https://www.fastretailing.com
  2. Financial Times Interview with Tadashi Yanai, 2020 – ft.com
  3. Forbes Profile of Tadashi Yanai – https://www.forbes.com/profile/tadashi-yanai
  4. Nikkei Asia – “Yanai returns as Fast Retailing CEO amid digital transformation” – https://asia.nikkei.com
  5. The Business of Fashion – “Inside the Uniqlo Philosophy” – https://www.businessoffashion.com
  6. The New York Times – “How Uniqlo Became a Global Giant” – https://www.nytimes.com