Sebagaimana yang dijanjikan pada tulisan sebelumnya, kami masih akan membahas potensi penyelewengan yang ada pada bisnis sosial. Kalau pada tulisan sebelumnya kami mengemukakan penyelewengan atas maknanya, kini kami akan membahas penyelewengan atas misi bisnis sosial.

Sangat kebetulan, Social Enterprise Journal Vol. 13/1 2017 menerbitkan sebuah tulisan yang sangat relevan dengan tema yang kami janjikan. Tulisan tersebut, Social Entrepreneurship Research in Asia-Pacific: Perspectives and Opportunities, ditulis oleh Subhanjan Sengupta dan Arunaditya Sahay. Keduanya merupakan profesor dalam bidang keberlanjutan bisnis di India.

Pada bagian tentang Indonesia, tulisan tersebut menyatakan “...most socialentrepreneurswere concerned more about financial returns rather than the social and environmental missions. The highest motivation of these entrepreneurs had been to increase their income, followed by their passion for what they do, and their eagerness to be their own boss. Improving the quality of life and maintaining environmental sustainability had proved to be some of the lowest motivating factors.”

Yang mereka simpulkan itu adalah hasil penelitian empiris Arien Gunawan yang bertajuk Preliminary Study of Classifying Indonesian Entrepreneurs. Artikel Gunawan itu diterbitkan melalui Procedia - Social and Behavioral Sciences 115 (2014), yang merupakan hasil survei atas puluhan wirausahawan di Indonesia, yang diminta untuk mengelompokkan diri sendiri ke dalam jenis wirausaha yang mereka lakukan. Hasilnya, ternyata banyak di antara mereka yang menyatakan bahwa dirinya adalah wisausahawan sosial. Tetapi, ketika diperiksa apa yang menjadi motivasi mereka, data yang muncul adalah sebagaimana yang diungkap Sengupta dan Sahay (2017) di atas.

Pertanyaannya kemudian, mengapa hal ini terjadi?Bagaimana mungkin orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai wirausahawan atau pebisnis sosial kemudian seperti mengingkari pernyataannya sendiri dengan menempatkan keuntungan untuk dirinya sendiri di peringkat teratas, sementara meningkatkan kualitas hidup masyarakat luas dan menjaga keberlanjutan lingkungan berada pada peringkat paling bawah?

Kami kerap mendapati dalam perbincangan mengenai bisnis sosial bahwa pemahamannya memang tidak kokoh. Sebagian besar orang—termasuk para tokoh terkenal—yang membicarakan bisnis sosial masih menggunakan pendekatan yang lama, yaitu bisnis komersial yang mendonasikan sebagian keuntungannya. Ini sebetulnya bukanlah bisnis sosial, melainkan apa yang disebut oleh Matthew Bishop dan Michael Green (2008) sebagai filantrokapitalisme. Buku mereka, Philanthrocapitalism: How the Rich Can Save the World, sangat banyak memengaruhi pebisnis komersial untuk menjadi lebih pemurah.

Pembacaan yang lebih saksama atas literatur bisnis sosial sangat jelas membedakan keduanya. Para filantrokapitalis adalah pebisnis komersial, tetapi berpikir bahwa mereka menjalankan bisnis itu demi mendapatkan keuntungan yang kemudian sebagiannya mereka manfaatkan untuk membiayai kegiatan-kegiatan sosial dan lingkungan yang menjadi perhatian mereka. Kerap mereka memiliki sendiri atau memilih yayasan tertentu sebagai sayap sosial mereka. Model berpikir dua sayap—for profit dan not for profit—ini, walaupun menarik dan bermanfaat, sesungguhnya bukanlan bisnis sosial.

Bagaimanapun, filantropi berasal dari level pemikiran yang berbeda. Buat para filantropis, hubungan antara perusahaan dengan keuntungan adalah seperti manusia dengan makanan. Orang harus makan demi hidupnya, lalu ketika ada makanan itu berlebih, bisa kemudian dibagi. Jadi, perusahaan yang dijalankan oleh para filantrokapitalis ini harus untung dahulu, baru kemudian sebagian keuntungan itu diberikan untuk kegiatan sosial dan/atau lingkungan, seperti makanan yang berlebih.

Tidak mengherankan kalau kemudian moda berpikir yang demikian tidaklah terlalu memedulikan aspek sosial dan lingkungan dalam bisnisnya. Ini berbeda dengan pebisnis sosial sejati yang sesungguhnya berbisnis untuk memecahkan masalah ekonomi, sosial serta lingkungan tertentu yang dihadapi masyarakat lewat mekanisme pasar. Keberlanjutan di ketiga dimensi itu melekat pada bisnis mereka. Buat pebisnis sosial, tujuan bisnisnya memang pemecahan masalah, bukan mencari keuntungan yang sebagiannya kemudian dipergunakan untuk derma.

Jadi, kami sendiri sebetulnya tidak berpikir bahwa penyelewengan misi ini dilakukan secara sengaja. Melainkan, hanya dikarenakan mereka kurang mendapatkan informasi tentang model bisnis sosial yang lebih mutakhir. Kami yakin, dengan tambahan pengetahuan sedikit saja para filantrokapitalis di Indonesia sesungguhnya bisa bertransformasi menjadi pebisnis sosial. Ketika itu terjadi, sebutan pebisnis sosial akan bisa disandang sesuai substansi bisnis mereka, bukan sekadar mengikuti sebutan yang sedang popular.


Sumber:

Artikel ini dimuat di KONTAN tanggal 2 Februari 2017.

Penulis: Jalal (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA) dan Zainal Abidin (Pendiri dan Direktur Utama Perusahaan Sosial WISESA)