I’m inspired by what Dissa is doing.” Demikian pernyataan Presiden Amerika Serikat ketika itu, Barack Obama, pada acara Young Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI) di Luang Prabang, Laos, pada awal September 2016. Siapakah Dissa yang disebut Obama, dan apa yang membuat dia bisa menginspirasi sang (mantan) presiden itu?

Dissa Syakina Ahdanisa, demikian nama lengkapnya, adalah seorang anak muda Indonesia, sarjana administrasi bisnis lulusan Ritsmumeikan Asia Pacific University (APU), Jepang. Dia kemudian melanjutkan studi masternya dalam bidang akuntansi di University of New South Wales, Australia. Mengesankan? Jelas. Tapi itu tidak akan membuat Obama yang pendidikannya setingkat doktoral di salah satu universitas terbaik di dunia itu terinspirasi. Jadi, jelas bukan soal pendidikan itu.

Ketika menempuh pendidikan sarjananya, Dissa menjadi relawan di India. Di sana dia bekerja dengan anak-anak Dalit. Dalit—yang artinya kurang lebih adalah tertindas atau tersingkirkan—adalah sebutan untuk mereka yang tak masuk ke dalam salah satu dari empat kasta yang dikenal di India. Karena berada di luar kasta, mereka mendapatkan banyak perlakuan yang merugikan. Dissa belajar tentang kondisi yang tidak menyenangkan itu, dan belajar bagaimana bisa berkontribusi memerbaiki kehidupan mereka.

Dissa juga menyempatkan diri menjadi relawan di Granada, Nikaragua, Amerika Selatan. Di sana ia mengajar bahasa Inggris di siang hari, dan membantu mengerjakan tugas-tugas akuntansi untuk LSM di malam harinya. Di sana pula dia melihat sebuah kafe yang bernama Café de Las Sonrisas. Itu adalah kafe pertama di seantero Amerika Selatan yang seluruh pekerjanya merupakan penyandang difabilitas pendengaran. Dissa kemudian sangat terinspirasi untuk membuat kafe yang sama di Indonesia.

Tentu, di Tanah Air masalah peluang ketenagakerjaan bagi kaum difabel berkelindan dengan isu-isu lainnya, termasuk pendidikan dan keterampilan. Walaupun sekolah-sekolah dan balai latihan kerja sudah kerap menyatakan dirinya inklusif, namun bukan berarti peningkatan sumberdaya manusia bagi kaum difabel sudah tak ada masalah. Kalau mereka sudah memiliki pendidikan dan keterampilan yang bisa membuat mereka bekerja, lapangan kerja belum tentu tersedia untuk mereka. Bahkan, iklan-iklan lowongan pekerjaanpun kerap masih bersifat diskriminatif.

Alih-alih berkeluh kesah atas kondisi itu, Dissa memilih jalan lain, yaitu jalan penyelesaian masalah yang konkret. Dia memang meneruskan bekerja di Credit Suisse Singapura, tetapi mimpinya mereplikasi kafe di Granada itu dia wujudkan di Pamulang, Tangerang Selatan. Maka, berdirilah Deaf Cafe Fingertalk pada Mei 2015. Peluang itu muncul ketika di akhir 2014 Dissa berkenalan dengan Ibu Pat Sulistiowati, mantan ketua Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia.

Ibu Pat telah lama mengadakan berbagai pelatihan untuk mereka yang tunarungu, terutama dalam keterampilan menjahit dan menyulam. Dissa yang melihat contoh bahwa sebuah kafe bisa menjadikan para penyandang difabilitas itu bekerja menghidupi diri dan keluarganya itu kemudian menyampaikan idenya kepada Ibu Pat. Gayung bersambut, Ibu Pat mempersilakan Dissa—yang fasih dalam bahasa isyarat itu—menyulap gudang di sebelah bangunan tempat pelatihannya menjadi kafe.

Kafe tersebut mulai dengan mempekerjakan 5 orang terlebih dulu, yang berasal dari berbagai penjuru daerah di Indonesia. Mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam pengelolaan kafe, termasuk Friska, juru masak kafe tersebut, yang sempat mengenyam pendidikan tata boga di Bali. Yang mau ditunjukkan oleh Dissa kepada para pengunjung dan kita semua adalah bahwa difabilitas sama sekali bukan penghalang produktivitas. Mereka bisa menjadi profesional dalam bidangnya.

Sekitar satu setengah tahun saja setelah pendirian kafe pertama, tepatnya di penghujung 2016, Fingertalk membuka kafenya yang kedua. Kali ini di Cinere. Dengan bangga pula mereka mengumumkan bahwa pekerjanya naik menjadi 20 orang, berlipat 4 kali dari saat pertama kali kafe dibuka. Para pengunjung banyak yang melaporkan bahwa mereka menjadi jauh lebih positif sikapnya terhadap para tunarungu dan penyandang difabilitas lainnya. Banyak di antara yang datang tadinya lantaran belas kasihan, namun mereka kemudian pulang dengan pengalaman baru yang mencerahkan.

Kafe ini memiliki motto yang dalam. “You sign, you dine, you’ll make a difference.” Dissa jelas membuat perubahan positif yang besar lewat kafenya, sehingga dia layak menjadi inspirasi bagi Obama. Dan yang lebih dahsyat lagi, dia mengajak kita semua untuk membuat perubahan positif lewat contoh bisnis sosial yang dia lakukan. Apa yang dilakukan oleh Dissa itu adalah sebuah bahasa isyarat yang perlu ditangkap artinya oleh para investor, manajer, dan konsumen di negeri ini.


Sumber:
Artikel ini pernah dimuat di KONTAN tanggal 26 Oktober 2017.

Penulis: Jalal (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA) dan Wahyu Aris Darmono (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA)