Untuk menjadi mitra sejati dalam kegiatan apapun, sebuah perusahaan tak bisa sekadar menyediakan sumberdaya finansial lalu menyerahkan segala sesuatu kepada pelaksana program. Sayangnya, hal itulah yang paling kerap kita saksikan di Indonesia. Kebanyakan perusahaan memerlakukan mitranya seperti kontraktor. Mereka hanya membayar, kemudian menyerahkan semuanya kepada mitra pelaksana.Kami kerap menyebut fenomena ini sebagai ‘kemitraan’, dengan tanda kutip.

Sudah lama kami mendengar tentang sepak terjang Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC) Rorotan yang dikelola oleh Dompet Dhuafa (DD) di Kelurahan Rorotan, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Kabar baik tentang projek yang selalu dinyatakan sebagai kemitraan DD dengan PTTEP, BUMN energi dari Thailand itu memang sudah banyak terdengar. Menteri Kesehatan meresmikannya, sementara Menteri ESDM datang ke milad pertamanya. Tetapi popularitasnya benar-benar melambung lantaran mendapatkan penghargaan tertinggi dari Global CSR Summit 2016.

Pertanyaan yang menggelitik adalah apakah ada yang istimewa dalam kemitraan tersebut, ataukah sesungguhnya itu hanya ‘kemitraan’. Maka, ketika ada kesempatan untuk mengunjungigerai kesehatan itu, peluang untuk mengetahui secara langsung pun terbuka luas. Apa yang sangat jelas dari projek tersebut adalah bahwa keterlibatan PTTEP di sama bukan sekadar sebagai pemberi uang. Setelah memilih DD di antara sejumlah kandidat, perusahaan itu benar-benar bermitra dengan DD dalam setiap langkah. Jadi, ini adalah benar-benar sebuah kemitraan.

Semua pihak menyatakan bahwa perusahaan tersebut turun langsung ke lapangan bersama dengan DD untuk melakukan pengecekan kondisi kesehatan masyarakat setempat, menentukan lokasi pendirian gerai, membeli tanah, dan mensupervisi pembangunannya hingga lengkap seluruh isinya. Begitu selesai, baru kemudian diserahkan kepada DD untuk dikelola sesuai dengan standar pengelolaan kesehatan DD yang sudah dikenal oleh banyak pihak.

Perencanaan yang detail adalah salah satu hal yang paling impresif dari projek ini. Berbagai projek atau bahkan program kesehatan biasanya dilaksanakan tanpa data yang memadai tentang kondisi kesehatan masyarakat yang menjadi kelompok sasarannya. Namun, dalam kemitraan ini yang ditunjukkan adalah kondisi persiapan yang luar biasa. Sebuah dokumen setebal 111 halaman adalah bukti keseriusan itu.

Projek ini mendata kondisi kesehatan yang merepresentasikan 3.000 keluarga yang menjadi sasarannya. Data umum seperti umur, jenis kelamin, tekanan darah, kadar gula darah tersedia lengkap hingga individu anggota keluarga. Demikian juga, data tentang mortalitas; akses dan pemanfaatan layanan kesehatan; deskripsi lengkap tentang berbagai penyakit menular dan tidak menular; deskripsi tentang pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terkait isu-isu kesehatan; deskripsi tentang kesehatan ibu dan anak; kondisi lingkungan yang berpengaruh pada kesehatan; serta deskripsi tentang layanan farmasi dan pengobatan tradisional.

Data dasar adalah satu-satunya cara untuk menentukan secara pasti apakah sebuah intervensi memang memiliki kinerja—dalam pengertian output, outcome, dan impact—sebagaimana yang direncanakan. Dan, dengan data dasar kesehatan yang dimiliki oleh projek ini, memang pengukuran kinerjanya dimungkinkan hingga level tertinggi. Kenyataan bahwa perusahaan mau berinvestasi dalam data dasar yang baik penting untuk ditekankan di sini, karena masih sangat jarang yang mau melakukannya. Biasanya, perusahaan hanya mau berinvestasi dalam intervensi, tanpa mau memastikan data pra-intervensinya itu valid.

Satu hal lagi yang membuat projek ini memang berbeda dengan kebanyakan projek-projek kesehatan atau lainnya adalah apa yang disebut oleh para pakar sebagai sustainability upfront. Baik DD maupun PTTEP melihat bahwa masa depan projek ini sangat digantungkan pada kemampuannya untuk memastikan sumberdaya terus tersedia secara mandiri. Hal inilah yang kemudian membuat kedua belah pihak merencanakan detail bagaimana hal itu bisa dicapai.

Gerai kesehatan ini memiliki sekitar 17.000 penerima manfaat. Kalau selama ini mereka menerima bantuan kesehatan gratis, sesungguhnya monetisasi bisa dilakukan karena Pemerintah Indonesia telah memiliki program BPJS Kesehatan. Lebih jauh, layanan kesehatan lainnya seperti persalinan bisa pula menjadi sumber penghasilan. Hal-hal yang bisa menjadikan gerai ini mandiri secara keuangan lah yang kini menjadi fokus perhatian kedua pihak yang bermitra itu. Di situ pula transformasi dari kemitraan LKC menjadi sebuah bisnis sosial akan terjadi.

Tulisan berikutnya akan membahas tentang eksekusi, pengukuran keberhasilan, dan bagaimana manfaat yang lebih besar bisa diberikan oleh gerai ini.


Sumber:
Artikel ini pernah dimuat di KONTAN tanggal 3 Agustus 2017.

Penulis: Jalal (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA)