DPRD Kota Malang telah resmi menetapkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada rapat paripurna yang digelar akhir pekan lalu (15/06). Adapun salah satu poin penting dalam perda baru tersebut yaitu terkait kebijakan pajak sebesar 10%, bagi pelaku usaha yang memiliki omzet minimal Rp15 juta per bulan.
Wakil Wali Kota Malang, Ali Muthohirin, menyatakan bahwa penyesuaian aturan ini merupakan bentuk tindak lanjut dari evaluasi Kementerian Keuangan dan Kemendagri, terhadap Perda No. 4 Tahun 2023.
“Penetapan Rp15 juta sudah disepakati dan selaras dengan aturan di Surabaya. Tapi kami terbuka untuk mengkaji lebih lanjut jika ada keberatan dari para PKL atau usaha mikro,” ujar Ali pada Minggu (15/6/2025), seperti dilansir dari Instagram @smartlegal.id.
Pelaku UMKM Setempat Berharap Adanya Pertimbangan Ulang
Di sisi lain, pelaku usaha yang ada di Kota Malang justru menyuarakan kegelisahannya terhadap aturan pajak tersebut. Salah satunya yaitu Safi’i, pemilik toko kelontong yang beroperasi 24 jam yang mengaku sangat keberatan. Ia turut mempertanyakan keadilan terkait penarikan pajak tersebut, karena omzetnya belum tentu konsisten setiap bulan. Bahkan, margin usahanya juga cenderung tipis karena dipotong biaya operasional.
“Kadang omzet bisa Rp15 juta, kadang enggak. Tapi tetap ditarik pajak? Belum lagi gaji pegawai dan stok barang, keuntungannya tipis,” keluhnya.
Selain Safi’i, sejumlah pelaku usaha setempat juga ikut berharap adanya sosialisasi lanjutan dan pertimbangan ulang dari pemerintah, terkait ambang batas omzet yang dikenakan pajak itu. Menurut mereka, batas ideal pengenaan pajak 10% tersebut seharusnya bagi yang beromzet di atas Rp20 juta per bulan. Hal tersebut ditujukan agar tidak memberatkan pelaku usaha kecil yang ada di Kota Malang.
Ketua DPRD Kota Malang: Batasan Omzet Sudah Menjadi Hal yang Luar Biasa
Ketua DPRD Kota Malang, Amithya Ratnanggani Sirraduhita, menjelaskan bahwa batasan omzet minimal Rp15 juta per bulan yang telah ditetapkan dalam perda merupakan hasil kompromi bersama.
“Dari batasan omzet awalnya sebesar Rp 5 juta naik menjadi Rp 15 juta sudah menjadi hal luar biasa,” ungkapnya, seperti dilansir dari Jatim News.
Selain itu, Amithya juga menegaskan bahwa proses penyusunan perda akan selalu membutuhkan evaluasi, serta perlu dikawal pada pelaksanaannya. Adapun salah satu penerapannya adalah melalui peraturan turunan yang dibuat oleh pemerintah setempat, contohnya seperti Peraturan Wali Kota Malang.
“Namanya membuat Perda itu memang membutuhkan sebuah evaluasi. Kalau kemudian sudah di-dok, pelaksanaannya ya harus kita kawal, termasuk Perwali,” jelas Amithya.
Referensi : Smartlegal.id, Jatim News
Sumber Gambar : Suaragong.com