Internet kini bukan lagi kebutuhan tambahan, tapi sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari: untuk belajar, berjualan, bekerja, dan berinteraksi. Sayangnya, laporan terbaru menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia justru harus membayar mahal untuk kualitas internet yang belum sepadan.
Menurut laporan Kompas.com (Oktober 2025), Indonesia menduduki posisi paling mahal di Asia Tenggara dalam hal tarif internet, sementara dari sisi kecepatan, kita justru menempati posisi dua terbawah di dunia.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan penting: bagaimana mungkin negara dengan lebih dari 200 juta pengguna internet justru tertinggal dalam kualitas koneksi?
Bayar Paling Mahal, Dapat Paling Lambat
Data yang dikutip dari Cable.co.uk dan We Are Social melalui Kompas.com menunjukkan, rata-rata biaya layanan internet tetap (fixed broadband) di Indonesia mencapai US$0,41 per Mbps per bulan, atau setara Rp 6.800 per Mbps.
Bandingkan dengan negara tetangga di ASEAN:
- Filipina: Rp 2.300 per Mbps
- Malaysia: Rp 1.400 per Mbps
- Thailand: hanya Rp 332 per Mbps
Dengan kata lain, tarif internet Indonesia bisa 2–20 kali lipat lebih mahal dibandingkan negara-negara di kawasan yang sama.
Sementara itu, data Speedtest Global Index yang dikutip oleh Kompas.com dalam artikel berjudul “Daftar Negara dengan Internet Tercepat di Dunia 2025” menyebut bahwa Indonesia berada di posisi kedua terbawah dalam daftar global.
Rata-rata kecepatan internet di Indonesia hanya sekitar 29 Mbps untuk mobile dan 32 Mbps untuk fixed broadband. Angka ini tertinggal jauh dari:
- Singapura: 276 Mbps
- Thailand: 260 Mbps
- Malaysia: 138 Mbps
Ironisnya, dengan tarif yang jauh lebih murah, negara-negara itu menikmati kecepatan internet hingga 10 kali lipat lebih tinggi daripada Indonesia.
Baca Juga: 8 Peluang Usaha dari Internet, Bisa Cuan Sambil Rebahan
Potret Ketimpangan: Antara Tarif, Kualitas, dan Pemerataan
Kondisi ini bukan sekadar persoalan teknis antara “cepat atau lambat”, tetapi mencerminkan ketimpangan struktural dalam ekosistem digital Indonesia.
1. Geografi yang kompleks
Sebagai negara kepulauan dengan ribuan pulau, tantangan membangun jaringan internet merata tentu besar. Infrastruktur fiber optik harus menembus pegunungan, laut, hingga daerah terpencil. Tapi tantangan geografis ini tidak bisa lagi dijadikan alasan, mengingat proyek besar seperti Palapa Ring sudah rampung sejak 2019.
Artinya, masalahnya bukan hanya jarak, tapi efisiensi dan pemerataan investasi dari penyedia layanan (ISP) yang masih terkonsentrasi di kota besar.
2. Kompetisi pasar yang belum sehat
Meski banyak merek provider, pasar fixed broadband di Indonesia sebenarnya dikuasai oleh segelintir pemain besar. Akibatnya, tarif sulit turun karena tidak ada kompetisi agresif di wilayah tertentu.
Di beberapa kota besar, konsumen masih terbatas pada dua atau tiga pilihan penyedia, dan di daerah kecil bahkan hanya satu.
3. Kesenjangan antara biaya dan manfaat
Tarif mahal belum diikuti peningkatan kualitas. Pengguna sering mengeluhkan koneksi yang tidak stabil, gangguan rutin, dan kecepatan yang jauh di bawah paket yang dijanjikan. Artinya, ada ketidakseimbangan antara harga dan kualitas, yang pada akhirnya menurunkan produktivitas masyarakat dan pelaku usaha digital.
Baca Juga: 8 Cara Hasilkan Uang dari Internet, Raup Cuan di Era Digital
Dampaknya: Perlambat Pemerataan Ekonomi dan Akses Digital
Kualitas dan keterjangkauan internet bukan sekadar urusan teknologi, tapi menyangkut masa depan pemerataan ekonomi digital di Indonesia.
1. Pelajar dan pekerja digital tertinggal
Ketika tarif mahal dan kecepatan rendah, pelajar dari daerah dengan jaringan lemah akan tertinggal dalam pembelajaran daring. Begitu pula pekerja remote atau freelancer digital — koneksi lambat berarti kehilangan peluang proyek.
2. UMKM sulit naik kelas
Bayangkan pelaku usaha mikro di luar Jawa yang ingin mengelola toko online atau menjual produknya lewat marketplace. Jika upload foto produk saja membutuhkan waktu lama, apalagi melayani transaksi besar?
Koneksi lambat membuat pelaku usaha lokal kalah saing dengan pesaing dari kota besar yang memiliki akses lebih cepat dan stabil.
Padahal, UMKM adalah tulang punggung ekonomi nasional, menyumbang lebih dari 60% PDB dan menyerap 97% tenaga kerja. Artinya, ketika koneksi internet mahal dan lambat, maka produktivitas UMKM ikut tersendat.
3. Daerah 3T makin tertinggal
Di kawasan timur Indonesia, jaringan internet sering kali masih bergantung pada sinyal satelit dengan biaya tinggi. Akibatnya, pelaku usaha di wilayah ini sulit mengakses pelatihan daring, e-commerce, atau promosi digital. Ketimpangan digital semacam ini akan memperlebar jurang ekonomi antarwilayah — antara yang terkoneksi dan yang tertinggal.
Baca Juga: Tips Anti Lemot Jaringan Internet Bagi Bisnis Dengan Efisien
Potensi Besar yang Belum Termanfaatkan
Data dari DataReportal 2025 mencatat, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 212 juta orang, atau sekitar 74,6% dari total populasi. Angka ini menunjukkan bahwa minat dan kebutuhan masyarakat terhadap dunia digital sangat tinggi.
Namun, besarnya jumlah pengguna tidak otomatis berarti kualitas digital kita baik. Dengan tarif tinggi dan koneksi lambat, Indonesia berisiko menjadi “raksasa digital tanpa taring” — banyak pengguna, tapi minim produktivitas digital.
Padahal, jika koneksi lebih cepat dan terjangkau, potensi ekonomi digital Indonesia bisa sangat besar. Bank Dunia memperkirakan bahwa peningkatan 10% penetrasi broadband berkecepatan tinggi dapat menaikkan pertumbuhan ekonomi sebesar 1,4%. Artinya, memperbaiki kualitas internet bukan sekadar urusan kenyamanan, tetapi strategi ekonomi nasional.
Analisis: Akar Masalah dan Solusi
Jika ditarik ke akarnya, ada beberapa penyebab utama mahalnya internet di Indonesia:
- Struktur biaya infrastruktur yang kompleks.
Investasi jaringan kabel laut dan fiber optik membutuhkan biaya besar, sementara koordinasi antar operator seringkali kurang efisien. - Persaingan pasar terbatas.
Di banyak wilayah, hanya satu atau dua provider yang beroperasi. Kondisi ini membuat harga sulit ditekan karena tidak ada kompetitor kuat. - Kurangnya kebijakan berbagi infrastruktur.
Tiap operator membangun jaringan sendiri, padahal mereka bisa saling berbagi tiang, ducting, atau kabel bawah tanah untuk menekan biaya bersama. - Regulasi harga yang belum berpihak ke konsumen.
Pemerintah sebenarnya telah mengumumkan rencana menyediakan paket internet 100 Mbps seharga Rp100.000–Rp150.000 per bulan. Namun, implementasi di lapangan masih menunggu realisasi.
Jika kebijakan ini bisa terwujud, maka Indonesia berpeluang mengejar ketertinggalan dan menjadikan internet cepat sebagai infrastruktur dasar, seperti listrik atau air bersih.
Jalan Menuju Internet yang Adil dan Terjangkau
Untuk mempercepat pemerataan digital, ada beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan:
- Pemerintah perlu memperluas investasi infrastruktur digital ke daerah non-Jawa.
Bukan hanya menambah jaringan, tapi memastikan kualitasnya setara dengan kota besar. - Mendorong kolaborasi antar-operator.
Berbagi infrastruktur akan menekan biaya investasi dan menurunkan harga jual ke konsumen. - Transparansi data publik.
Kominfo dan regulator bisa rutin merilis perbandingan tarif per Mbps dan kecepatan rata-rata tiap provinsi agar publik bisa menilai secara terbuka. - Mendorong kompetisi yang sehat.
Buka peluang bagi penyedia baru, termasuk perusahaan daerah atau koperasi digital yang bisa menyediakan layanan lokal berbiaya rendah. - Fokus pada UMKM digitalisasi.
Pemerintah bisa memberikan subsidi bandwidth atau paket usaha digital bagi UMKM di sektor prioritas seperti kuliner, kerajinan, dan pertanian.
Refleksi: Internet Bukan Sekadar Koneksi, Tapi Keadilan Akses
Sahabat Wirausaha, mahalnya tarif internet dan rendahnya kecepatan bukan hanya soal teknis jaringan, tapi soal keadilan akses ekonomi. Selama pelajar di Papua masih kesulitan mengunduh bahan ajar, atau pelaku usaha di NTT harus membayar mahal untuk promosi online, maka pemerataan ekonomi digital belum benar-benar terjadi.
Indonesia punya potensi besar untuk menjadi kekuatan ekonomi digital di Asia, tapi hanya jika fondasinya kuat — yaitu akses internet cepat, stabil, dan terjangkau untuk semua.
Sudah saatnya internet dipandang bukan sebagai layanan premium, melainkan hak dasar ekonomi digital. Karena di era sekarang, kecepatan koneksi bisa menentukan kecepatan kemajuan bangsa.
Jika artikel ini bermanfaat, mohon berkenan bantu kami sebarkan pengetahuan dengan membagikan tautan artikelnya, ya!
Bagi Sahabat Wirausaha yang ingin bergabung dengan Komunitas UMKM di bawah naungan kami di UKMIndonesia.id - yuk gabung dan daftar jadi anggota komunitas kami di ukmindonesia.id/registrasi. Berkomunitas bisa bantu kita lebih siap untuk naik kelas!
Referensi:
- Kompas.com. (14 Oktober 2025). Daftar Negara dengan Harga Internet Termahal di ASEAN 2025, Indonesia Tertinggi.
- Kompas.com. (12 Oktober 2025). Daftar Negara dengan Internet Tercepat di Dunia 2025, Indonesia Dua Terbawah.
- Cable.co.uk & We Are Social (2025). Global Internet Pricing Report.
- DataReportal (2025). Digital 2025: Indonesia.
- Speedtest Global Index (2025). Global Internet Speed Rankings.
- World Bank (2024). Improving Quality of Broadband Access in Developing Countries.