Halo, Sahabat Wirausaha.
Beberapa tahun belakangan, muncul tren bisnis baru, yaitu social enterprise alias bisnis sosial. Berbeda dengan bisnis konvensional pada umumnya, social enterprise memiliki misi kebermanfaatan sosial di samping mencari profit.
Social enterprise juga seringkali disamakan dengan social entrepreneur. Meskipun mirip, namun keduanya tidak sama. Social entrepreneur adalah individu yang mencari solusi inovatif untuk perubahan masyarakat dan tidak selalu melibatkan aktivitas komersial. Sedangkan social enterprise menjawab permasalahan sosial melalui aktivitas komersialnya.
Beberapa dari Sahabat Wirausaha mungkin masih bertanya-tanya, "Karakteristik apa yang dimiliki sebuah bisnis sehingga bisa dikatakan social enterprise?"
Simak jawabannya dalam ulasan berikut ini, ya!
Karakteristik Social Enterprise
Untuk masuk dalam kategori social enterprise, sebuah bisnis setidaknya perlu memiliki beberapa karakteristik, diantaranya:
1. Misi sosial merupakan tujuan utama
Perbedaan yang mendasar antara bisnis sosial dengan bisnis konvensional adalah prioritas tujuan. Jantung dari bisnis sosial adalah misi yang ingin dicapai, yakni kebermanfaatan sosial. Tanpa misi sosial, sebuah bisnis hanyalah seperti bisnis pada umumnya.
Salah satu contoh bisnis sosial yang telah berdiri di Indonesia adalah Hijab Nalacity yang bergelut di bidang fashion busana muslim. Produk Hijab Nalacity berupa hijab, busana, dan aksesoris.
Baca Juga: Daftar Hal yang Wajib Dimiliki Wirausaha Sukses
Hijab Nalacity punya misi untuk memberdayakan para penderita kusta untuk dapat produktif dan dapat mandiri secara ekonomi. Pendirinya, Hafiza Elvira, awalnya merasa tergerak setelah mendengarkan cerita para penderita kusta yang malu untuk pulang ke kampung halamannya setelah selesai berobat.
Mereka malu, sebab kusta telah membuat cacat permanen pada bagian tubuh mereka. Banyaknya yang bernasib sama membuat mereka membentuk komunitas yang mukim di sebuah daerah bernama Sitanala atau dikenal juga dengan nama Kampung Kusta.
Melalui bisnisnya, Hijab Nalacity berperan sebagai social enterprise yang bertujuan untuk membangun kemandirian ekonomi para penghuni Kampung Kusta.
2. Penghasilan utama berasal dari aktivitas bisnis
Berbeda dengan lembaga masyarakat yang umumnya bertahan dari dana donasi, bisnis sosial mampu terus eksis secara mandiri berkat bisnis yang dikelolanya secara independen. Dana dari pihak lain mungkin saja digunakan.
Baca Juga: Tips Menjaga Kesehatan Mental Bagi Wirausaha
Sebagaimana di awal Hijab Nalacity dirintis, Hafiza menggunakan dana dari program kampusnya sebesar 7,5 juta. Setelahnya, Hijab Nalacity bergerak dengan profit yang mereka dapatkan dari penjualan.
3. Program pemberdayaan bagi penerima manfaat (beneficiaries)
Salah satu kriteria wajib lainnya bagi social enterprise adalah adanya program pemberdayaan untuk masyarakat yang merupakan sasaran misi sosial. Sebab dengan kehadiran social enterprise, diharapkan adanya transformasi kehidupan penerima manfaat. Transformasi tersebut dapat berupa pola pikir yang berkembang, edukasi yang memadai, dan keterampilan (skill) yang meningkat.
Contohnya social enterprise yang bergerak di bidang perikanan. Melalui bisnis tersebut., para nelayan tak hanya diberikan modal dan sarana memancing, namun juga diajari pengelolaan sumber daya ikan dan pengembangan usaha untuk mengurangi ketergantungan nelayan dengan para tengkulak ikan.
Baca Juga: Langkah Mudah Jadikan Bisnis Restoran Lebih Ramah Lingkungan
4. Keuntungan diinvestasikan digunakan untuk misi sosial
Misi sosial adalah jantung utama dari social enterprise. Oleh karena itu, sebagian besar keuntungan bisnis digunakan kembali untuk melanjutkan aktivitas-aktivitas yang lebih berdampak lagi sehingga misi sosial dapat dicapai. Hal ini tentu berbeda dengan bisnis konvensional yang biasanya hanya mendistribusikan keuntungannya pada pemegang saham atau pemilik perusahaan.
5. Dikelola secara profesional
Lembaga sosial umumnya lekat dengan stigma negatif. Salah satunya adalah profesionalitas sistem pengelolaannya. Social enterprise hadir dan membuktikan bahwa stigma tersebut tidak benar. Orang-orang yang turut berkontribusi dalam bidang social enterprise tak kalah saing dengan bisnis swasta dalam hal kualitas pelayanan dan manajemen.
Justru ini akan menimbulkan daya tarik sendiri bagi orang lain. Sebab, semakin banyak orang yang mau turut andil dalam social enterprise, harapannya akan semakin banyak dampak positif yang ditimbulkan oleh masyarakat.
Baca Juga: Mengelola Bisnis Jadi Ramah Lingkungan Dengan Menggunakan Solar Panel
Salah satu contohnya adalah sebuah social enterprise di Malawi, yaitu Kwithu Kitchen, yang beranggotakan para perempuan desa. Namun, level manajemennya dikelola secara profesional. Kwithu Kitchen mengalokasikan sumber daya mereka untuk membuat pelatihan akuntansi dan manajemen bisnis bagi para anggota untuk meningkatkan kualitas pengelolaan social enterprise ke depannya.
Kisah Social Enterprise Grameen Bank
Kalangan yang menekuni social enterprise tentu mengenal tokoh bernama Muhammad Yunus. Beliau adalah seorang ekonom asal Bangladesh yang menerima gelar doktor dari Vanderbilt University di Nashville. Ide awal untuk mendirikan Grameen Bank muncul akibat kekesalan beliau saat melihat berbagai proyek pengembangan yang berskala internasional di Bangladesh memiliki dampak nihil bagi kalangan miskin.
Saat itu, sekitar tahun 1970, Bangladesh memang dalam kondisi terpuruk sehingga mayoritas penduduk berada di bawah garis miskin. Pemandangan sehari-hari yakni berjuang untuk mendapatkan makanan dan tempat tinggal.
Masyarakat miskin desa saat itu menggantungkan nasibnya pada rentenir. Dengan pinjaman berbunga besar dan pendapatan mereka yang rendah, mereka seringkali harus membayar dengan cara kerja paksa.
Muhammad Yunus pun memutus rantai ini dengan menggagas Grameen Bank, bank yang memberikan pinjaman kepada para penduduk miskin. Pinjaman ini, meskipun hanya sekitar 60 dollar per tahun per orang, mampu menopang bisnis-bisnis kecil masyarakat Bangladesh bahkan membantu mereka untuk bisa makan tiga kali sehari.
Baca Juga: 10 Wirausaha Sosial Global yang Menginspirasi
Para banker konvensional tentu saja skeptis soal ide Grameen Bank yang memberikan pinjaman pada kalangan miskin. Mereka memprediksi bahwa Grameen Bank tidak akan berhasil dan para peminjam akan membawa kabur uang yang dipinjamnya.
Namun, yang terjadi justru di luar dugaan mereka. Sebanyak 97% peminjam mengembalikan uangnya. Alasannya sederhana, Grameen Bank telah sukses menciptakan kemampuan wirausaha mandiri bagi para nasabahnya sehingga mereka mampu mengembalikan pinjaman.
Bagaimana cara kerja Grameen Bank? Mereka membuat grup-grup kecil yang satu grupnya terdiri dari 5 orang peminjam. Setiap peminjam wajib menjadi anggota grup tersebut. Dengan menggunakan prinsip gotong royong, grup ini memiliki tanggung jawab bersama untuk mengembalikan uang pinjaman. Jika ada satu orang yang tidak mampu mengembalikan pinjaman, maka semua orang dalam grup itu melakukan patungan untuk ikut membayarkan.
Kultur masyarakat pedesaan yang erat satu sama lain membuat kabar keadaan masing-masing orang bisa diketahui dengan mudah. Hal ini sangat membantu anggota grup peminjam menentukan apakah calon anggota orang yang dapat dipercaya.
Selain itu, jika mulai ‘tercium’ tanda-tanda salah satu anggota grup memiliki kesulitan membayar pinjaman, anggota lainnya akan segera melakukan tindakan sebelum kasusnya semakin parah.
Baca Juga: 10 Wirausaha Inovatif yang Ramah Lingkungan
Prinsip yang digunakan Grameen Bank tak hanya ampuh dalam mendidik peminjam mandiri dan bertanggung jawab, tapi juga menumbuhkan ikatan saling menanggung dan tolong menolong satu sama lain antar anggota grup peminjam.
Dalam kurun waktu 20 tahun setelah pertama didirikan pada tahun 1977, Grameen Bank memiliki 1.050 kantor cabang di berbagai daerah yang melayani hingga dua juta nasabah.
Berkat gagasannya yang berdampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat Bangladesh, Muhammad Yunus mendapatkan anugerah nobel tahun 2006. Sampai saat ini, konsep Grameen Bank terus menginspirasi banyak orang dalam mendirikan social enterprise.
Kesimpulan
Setelah menyimak ulasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa suatu bisnis dikatakan sebagai social enterprise jika setidaknya memiliki beberapa karakteristik, di antaranya memiliki misi sosial sebagai tujuan utama, adanya aktivitas bisnis sebagai bentuk kemandirian finansial, adanya program pemberdayaan bagi penerima manfaat, dikelola secara profesional, serta sebagian besar keuntungannya diinvestasikan untuk misi sosial.
Dari kelima karakteristik tersebut, karakteristik yang paling khas adalah adanya misi sosial dan program pemberdayaan. Kedua hal tersebutlah yang membedakan social enterprise dengan bisnis konvensional pada umumnya.
Baca Juga: 10 Wirausaha Sosial Global yang Menginspirasi
Siap untuk memberi dampak dan kebermanfaatan lewat social enterprise, Sahabat Wirausaha?
Jika merasa artikel ini bermanfaat, yuk
bantu sebarkan ke teman-teman Anda. Jangan lupa untuk like, share, dan berikan
komentar pada artikel ini ya Sahabat Wirausaha.
Referensi: