Di tengah geliat pertumbuhan bisnis lokal dan semangat kembali ke produk-produk alami, nama Agradaya mencuat sebagai salah satu UMKM yang tak hanya menjual rempah dan herbal, tetapi juga menyuguhkan kisah nyata. Agradaya bukan sekadar merek. Ia adalah narasi hidup, perjalanan pulang ke akar budaya, dan usaha menghidupkan kembali nilai-nilai lokal lewat kekuatan cerita.
Bagaimana mereka membangun branding dan menyampaikan pesan ke konsumen dengan gaya bercerita yang tepat? Dan apa dampaknya ke bisnis ini? Simak kisah Asri Saraswati membangun Agradaya lewat pendekatan sosial dan gaya bercerita yang menyentuh di sini.
Awal Mula: Dari Keresahan Menjadi Aksi
Agradaya didirikan oleh Nur Rahma Asri Saraswati, seorang lulusan Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada. Latar belakang pendidikannya di bidang sains tidak menjadikannya berlabuh di laboratorium besar atau perusahaan multinasional. Bersama suaminya, Andhika Mahardika, ia justru memilih jalur yang sangat membumi, yaitu berkarya di desa dan membangun rantai nilai bagi produk-produk lokal yang sering dianggap remeh: empon-empon.
Inspirasi awal Agradaya muncul ketika Asri—begitu ia biasa disapa—melihat ketimpangan antara potensi kekayaan alam lokal dan nilai ekonomi yang diperoleh petani. Di Desa Sendangrejo, Sleman, Yogyakarta, ia menyaksikan langsung bagaimana petani rempah hidup dalam keterbatasan, meski produk mereka punya nilai luar biasa di pasar.
Kala itu, mereka baru saja pindah ke rumah orangtua di desa. Keduanya kerap menginap di rumah warga dan mengamati aktivitas keseharian masyarakat setempat. Salah satunya, adalah acara arisan kocokan ibu-ibu yang diadakan tiap Kamis Kliwon. Asri, yang tertarik dengan kegiatan para perempuan dan ibu rumah tangga di desa tersebut, mulai memikirkan ide bisnis.
Di desa itu, perempuan lebih lentur dalam beraktivitas. Mereka melompat dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya, mulai dari urusan domestik sampai pergi ke hutan untuk menanam empon-empon (jahe, kunyit, temulawak) dan berbagai rempah. Hal ini seharusnya bisa membantu ekonomi mereka naik kelas, jika dilakukan dengan benar.
Sebagai ilmuwan yang memahami proses olahan, Asri sadar bahwa akar masalahnya bukan pada kualitas rempah, tapi pada rantai distribusi dan branding yang belum adil. Banyak petani menjual hasil panen mereka ke tengkulak dengan harga sangat rendah, tanpa tahu bahwa produk yang sama bisa dijual berlipat-lipat di pasaran.
“Harga empon-empon sangat murah. Di masa panen, 1 kilogram kunyit dan temulawak hanya dihargai Rp800 per kilo, dan jage Rp5.000 per kilo,” cerita Asri, seperti dikutip dari Harian Kedaulatan Rakyat (KR Jogja).
Dari kegelisahan inilah Agradaya berdiri pada tahun 2014, dengan mengusung misi sosial untuk memberdayakan petani rempah desa sekaligus mengangkat produk lokal ke panggung yang lebih layak. Tapi bukan sekadar menjual produk, Agradaya hadir dengan pendekatan yang berbeda: menggunakan kekuatan cerita sebagai alat transformasi.
Cerita Sebagai Jantung Bisnis
Yang membuat Agradaya berbeda bukan hanya kualitas produknya, tapi bagaimana mereka membingkai produknya dalam cerita. Setiap kemasan jahe instan, teh rempah, atau bubuk kunyit yang mereka jual, selalu disertai cerita tentang asal muasal bahan, siapa petaninya, bagaimana proses produksinya, dan filosofi dibaliknya.
Contohnya, mereka pernah merilis produk “Wedang Uwuh” (minuman rempah) yang dikemas dengan narasi sejarah. Cerita tentang bagaimana minuman ini dulunya hanya disajikan di lingkungan keraton disajikan di depan. Dengan pendekatan seperti ini, konsumen tak hanya membeli produk, tapi juga ikut merasakan budaya dan nilai yang dikandungnya.
Gaya storytelling Agradaya sangat khas: sederhana, puitis, dan penuh makna. Mereka sering menggunakan istilah-istilah Jawa, memperkenalkan nama-nama petani, serta menyelipkan filosofi hidup lokal. Pendekatan ini menjadikan brand mereka sangat manusiawi, dekat, dan autentik.
Branding yang Berakar dari Nilai
Agradaya tidak pernah mencoba terlihat “heboh” atau “trendy” seperti banyak brand kekinian. Mereka konsisten dengan identitas mereka: membumi, tradisional, dan jujur. Identitas visual mereka pun mencerminkan nilai itu, mulai dari warna tanah, tipografi klasik, foto-foto petani yang tidak dipoles, semua disusun untuk menyampaikan satu pesan: ini adalah produk yang lahir dari desa, dan harus dinikmati dengan kesadaran penuh.
Situs web mereka bukan sekadar tempat jualan. Ia berfungsi sebagai perpustakaan mini cerita-cerita dari desa. Mereka menulis tentang proses menanam, tentang bagaimana masyarakat desa menjalani kehidupan sehari-hari, hingga kisah perjuangan petani perempuan. Semua ini memperkuat pesan merek, membangun trust, dan menciptakan koneksi emosional dengan konsumen.
Tak hanya itu, dalam berbagai kesempatan mereka juga aktif membagikan proses belajar mereka. Di media sosial maupun forum wirausaha, Agradaya menceritakan perjalanan mereka dengan jujur, tentang bagaimana mereka pernah salah kemas, gagal ekspor, atau menghadapi dilema etika dalam bermitra dengan petani. Transparansi ini justru menjadi nilai tambah dan membuat mereka dicintai banyak komunitas.
Marketing yang Bukan Sekadar Promosi
Alih-alih membombardir konsumen dengan diskon dan promosi agresif, Agradaya lebih memilih pendekatan edukatif dan naratif. Mereka sering mengadakan kelas kecil tentang herbal, workshop membuat jamu, hingga pelatihan pemberdayaan di desa. Semua ini adalah bagian dari strategi marketing mereka, yang bukan untuk langsung menjual, tapi membangun ekosistem yang saling menguatkan.
Konten media sosial mereka juga tidak melulu soal produk. Banyak diisi refleksi tentang kehidupan desa, tips minum herbal, hingga kisah-kisah komunitas lokal. Dengan ini, Agradaya berhasil membangun komunitas yang loyal, yang merasa jadi bagian dari gerakan, bukan sekadar pembeli.
Salah satu strategi yang patut dicontoh adalah bagaimana mereka menggunakan customer experience sebagai bahan cerita. Setiap testimoni, pengalaman pelanggan, hingga kegiatan relawan, mereka kemas dalam bentuk narasi yang menyentuh. Bukan hanya “terima kasih sudah membeli”, tapi “terima kasih sudah ikut menjaga warisan budaya ini bersama kami.”
Pelajaran untuk UMKM: Mulai dari Cerita
Apa yang dilakukan Agradaya menunjukkan bahwa kekuatan cerita bisa menjadi diferensiasi utama, bahkan lebih kuat dari harga atau fitur produk. Bagi UMKM yang sedang bertumbuh, berikut beberapa tips storytelling berdasarkan praktik Agradaya:
1. Kenali Cerita Aslimu
Setiap bisnis punya cerita. Mungkin itu soal kenapa kamu memulai bisnis, siapa orang pertama yang mendukungmu, atau bagaimana proses awal produk dibuat. Gali cerita-cerita itu. Cerita yang jujur dan manusiawi jauh lebih berdampak daripada cerita yang “dibuat-buat”.
Contoh: Jika kamu menjual kopi, jangan hanya sebut “kopi arabika premium”. Ceritakan siapa petaninya, dari mana bijinya, dan kenapa kamu memilih lokasi itu.
2. Libatkan Orang-Orang Nyata
Seperti Agradaya yang selalu menyebut nama petani dalam narasi mereka, kamu pun bisa menyebut tim produksi, kurir lokal, atau pelanggan pertama. Gunakan wajah-wajah nyata dalam konten, bukan hanya stok foto.
3. Gunakan Bahasa yang Akrab
Cerita akan lebih hidup jika kamu menggunakan gaya bertutur yang hangat. Jangan takut menambahkan istilah lokal, bahasa daerah, atau metafora sederhana. Ini akan memberi kedalaman dan karakter pada brand-mu.
4. Bangun Narasi Berkesinambungan
Storytelling bukan hanya untuk satu postingan atau video kampanye. Ia harus menjadi napas dari semua aktivitas bisnismu. Website, media sosial, kemasan, bahkan saat kamu presentasi di pameran, semua harus punya benang merah narasi yang sama.
5. Jujur dan Transparan
Bukan cuma kisah sukses yang layak dibagikan. Cerita tentang kegagalan, proses belajar, dan upaya bangkit kembali justru lebih menyentuh dan membangun trust. Seperti yang dilakukan Agradaya, kamu pun bisa mulai dari sana.
Agradaya mengajarkan kita bahwa storytelling bukan sekadar bumbu marketing. Ia adalah jantung dari bisnis yang berkelanjutan. Di tengah era serba cepat dan konsumsi visual, orang-orang justru mencari sesuatu yang lebih dalam—cerita, makna, dan koneksi.
Produk herbal bisa dibeli di mana saja. Tapi ketika kamu membeli dari Agradaya, kamu tidak hanya membeli rempah. Kamu ikut menjaga kehidupan para petani, melestarikan budaya, dan menjadi bagian dari sebuah perjalanan.
Referensi:
Website resmi Agradaya: www.agradaya.com
Artikel “Membangun Bisnis Sosial Lewat Rempah” oleh Beritagar.id
Wawancara Wikan Satriati di Lokadata.id dan Jurnal Perempuan
Studi Branding UMKM Lokal oleh British Council Indonesia
https://www.krjogja.com/sleman/1242466499/agradaya-berdaya-dengan-melimpahnya-rempahrempah-lokal
https://hutanhijau.org/asri-saraswati-founder-agradaya-berdayakan-petani-empon-empon-desa/