Pada tulisan sebelumnya telah dijelaskan bahwa sumber pembiayaan untuk perusahaan sosial—sama dengan pembiayaan perusahaan komersial—adalah pemerintah, swasta, organisasi masyarakat sipil, dan individu. Pertanyaannya kemudian melalui mekanisme apa saja pembiayaan itu bisa diwujudkan.

Pemerintah bisa menyediakan pendanaan yang sangat besar bila sudah memiliki visi tentang bisnis sosial sebagai mitra mereka dalam memecahkan berbagai masalah keberlanjutan. Bisa saja pemerintah mengalokasikan APBN untuk membentuk organisasi yang mengelola pembiayaan itu. Bisa juga, seperti Tiongkok, memanfaatkan persentase tertentu dari keuntungan BUMN-nya untuk membayari pendirian dan ekspansi perusahaan sosial.

Dalam pemikiran Erie Sudewo, salah seorang pakar bisnis sosial di Indonesia, BUMN sebetulnya bisa dijadikan sebagai perusahaan sosial, lantaran mandat yang berbeda dari perusahaan swasta. Penyertaan modal oleh pemerintah memungkinkan pemerintah untuk menegaskan kepada pemangku kepentingan mana saja BUMN bisa memfokuskan tanggung jawab sosialnya. BUMN sangat bisa ditegaskan untuk melayani kepentingan sosial tertentu. Hanya saja, bila pemerintah masih memandang keuntungan finansial—bukan manfaat sosial—sebagai tujuan tertinggi BUMN, sangatlah sulit membuat BUMN menjadi perusahaan sosial.

Ketika sumber pembiayaan itu berasal dari swasta, yang akan memegang peranan besar tentu saja adalah perbankan, dan lembaga keuangan yang lain. Ada banyak pakar bisnis sosial yang menyatakan bahwa perbankan tradisional biasanya dipandang kompatibel dengan periode lebih lanjut (pengembangan atau ekspansi). Namun, bagi bisnis sosial di permulaan usahanya, bank dengan tingkat bunga komersial mungkin bukan pilihan yang bijak.

Kini bisa ditemukan beragam bank dan perusahaan pembiayaan lain yang mengadopsi keberlanjutan sebagai visi dan misi mereka. Bank dan perusahaan pembiayaan seperti ini, misalnya Triodos Bank dan The Charity Bank, sangatlah bisa menyesuaikan dengan tujuan dan fase usaha dari bisnis sosial. Dengan demikian, beban pembiayaan bisa diringankan, termasuk melalui pendampingan manajemen, karena bank-bank seperti itu memang memiliki kapasitas yang sesuai.Triodos Bank telah beberapa tahun beroperasi di Indonesia, dan memfokuskan diri pada projek-projek keberlanjutan di berbagai daerah.

Sumber pendanaan swasta yang lain adalah modal ventura. Modal ventura memang memfokuskan diri pada bisnis yang memiliki risiko yang dianggap besar tetapi juga memiliki potensi keuntungan yang besar (high risk, high return), terutama perusahaan dengan model bisnis baru atau ekspansi yang ambisius. Perusahaan sosial banyak yang memiliki ciri seperti itu, dan karenanya banyak pemodal ventura yang mau ‘bertaruh’ dalam perusahaan-perusahaan sosial, terutama yang visinya sejalan.

Organisasi masyarakat sipil yang melihat bahwa model bisnis sosial memang sejalan dengan tujuan keberlanjutan banyak yang membentuk organisasi pembiayaan alternatif. Di level global dikenal adanya community development finance institutions (CDFIs) yang berfungsi untuk membiayai pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan sosial. CDFIs menapis pembiayaan dengan cara melihat potensi manfaat sosial dan keuntungan finansial sekaligus.

Selain itu, ada pula yang disebut dengan local investment funds (LFIs) yang juga menapis pembiayaan dengan kriteria manfaat sosial dan keuntungan finansial. Hanya saja, LFIs lebih selektif lagi, dengan hanya mau membiayai perusahaan sosial yang bisa membuktikan bahwa mereka telah mencoba beragam alternatif sumber pendanaan namun belum berhasil. Ini karena misi mereka yang benar-benar ingin menjadi dewa penolong tatkala jalan lain sudah dianggap mustahil ditemukan.

Individu yang membiayai pendirian atau ekspansi perusahaan kerap disebut sebagai angel investor. Mereka biasanya mensyaratkan kepemilikan saham sebagai ganti dari modal yang ditanamkannya. Kalau sebuah perusahaan sosial mendapati investor yang sejiwa dengan tujuannya, bersedia untuk menaruh modalnya pada perusahaan yang menggunakan model bisnis sosial, biasanya akan sangat cocok dengan pembiayaan ini.

Seluruh mekanisme pembiayaan di atas adalah yang kini banyak dimanfaatkan oleh perusahaan sosial. Masih ada beragam pembiayaan lain yang inovatif. Dan itu akan dibahas pada tulisan kami berikutnya.


Sumber:

Artikel ini pernah dimuat di surat kabar KONTAN, pada tanggal 31 Desember 2015.

Penulis: Jalal dan Wahyu Aris Darmono (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA)