Apa Itu Gharar – Bayangkan jika suatu hari kamu ingin membeli motor bekas secara online. Di iklannya, motor terlihat mulus, tahun muda, harganya miring pula. Tapi sayangnya, informasi penting seperti kondisi mesin, riwayat servis, dan kepemilikan tidak dijelaskan dengan jelas. Kamu tetap tergiur dan melakukan transfer pembayaran. Tapi ternyata, barang yang datang jauh dari ekspektasi. Kasus ini bukan cuma soal penipuan biasa, tapi dalam perspektif ekonomi Islam, ini bisa jadi contoh dari praktik Gharar.
Lalu, apa itu Gharar? Kenapa istilah ini jadi penting dalam ekonomi syariah dan apa pengaruhnya terhadap aktivitas bisnis? Yuk, kita bahas lebih dalam dalam artikel Kamus Bisnis kali ini.
Apa Itu Gharar?
Secara bahasa, Gharar (غرر) berasal dari bahasa Arab yang berarti ketidakpastian, spekulasi, risiko tinggi, atau sesuatu yang tidak jelas dan tidak pasti. Dalam konteks fikih muamalah (transaksi ekonomi Islam), apa itu Gharar dijelaskan sebagai unsur ketidakjelasan atau ketidakpastian yang dapat menimbulkan perselisihan atau merugikan salah satu pihak dalam akad.
Dalam Majallah al-Ahkam al-Adliyyah, Gharar didefinisikan sebagai:
“Sesuatu yang konsekuensinya tidak diketahui, atau sesuatu yang tersembunyi akibatnya.”
Artinya, ketika dalam suatu akad atau transaksi terdapat unsur “ketidakjelasan” tentang barang, harga, waktu penyerahan, atau bahkan status hak milik, maka itu bisa tergolong sebagai Gharar dan ini dilarang dalam transaksi syariah.
Baca Juga: Bisnis Berkah Dimulai dari Niat Secara Terarah: Langkah Memahami Pengertian Halal dalam Bisnis Islam
Dasar Hukum Gharar dalam Islam
Larangan Gharar ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW dalam banyak hadits. Salah satunya adalah "Nabi melarang jual beli yang mengandung Gharar.” (HR. Muslim, no. 1513).
Imam Nawawi juga menjelaskan bahwa larangan ini bersifat umum dan mencakup segala bentuk ketidakpastian yang merugikan. Dalam prinsip ekonomi Islam, semua bentuk transaksi harus dilakukan secara transparan, adil, dan bebas dari spekulasi yang tidak jelas. Oleh karena itu, apa itu Gharar tidak bisa dipandang remeh, terutama dalam bisnis dan investasi modern yang semakin kompleks.
Contoh Kasus Gharar dalam Praktik Modern
Agar lebih mudah dipahami, berikut beberapa bentuk Gharar dalam konteks bisnis masa kini:
1. Jual Beli Barang yang Tidak Jelas
Misalnya, kamu menjual "hasil tangkapan laut besok" atau "ikan yang masih dalam jaring". Karena hasilnya belum pasti, transaksinya mengandung unsur ketidakpastian.
2. Asuransi Konvensional
Dalam sebagian pandangan ulama, asuransi konvensional mengandung Gharar karena pihak tertanggung membayar premi, tetapi tidak tahu pasti apakah dan kapan akan menerima manfaat. Hal ini berbeda dengan asuransi berbasis takaful yang dirancang sesuai prinsip syariah.
3. Investasi Berkedok Skema Ponzi
Investasi yang menjanjikan return besar tanpa kejelasan portofolio dan aktivitas usaha bisa termasuk Gharar. Investor hanya diberi iming-iming keuntungan tanpa tahu risiko yang dihadapi.
4. Perdagangan Derivatif Spekulatif
Perdagangan derivatif seperti binary option atau contract for difference (CFD) yang hanya bergantung pada tebak-tebakan naik-turun harga juga termasuk bentuk Gharar karena sangat spekulatif.
Dampak Gharar terhadap Ekonomi dan UMKM
Banyak yang berpikir bahwa larangan Gharar hanya menyangkut hukum agama. Padahal, jika ditinjau lebih dalam, larangan ini punya rationale ekonomi yang sangat kuat.
1. Melindungi Konsumen dan Pelaku Usaha
Transaksi yang tidak jelas rawan merugikan salah satu pihak. Misalnya, seorang pemilik toko online menjual pakaian dengan deskripsi minim—tanpa ukuran pasti atau bahan yang digunakan. Ketika barang sampai dan tidak sesuai ekspektasi, pelanggan kecewa dan minta refund. Sang penjual pun kehilangan kepercayaan pelanggan. Ini contoh nyata bagaimana Gharar bisa merugikan dua belah pihak.
2. Menjaga Stabilitas Ekonomi
Ketidakpastian yang berlebihan (high uncertainty) bisa memicu spekulasi dan bubble ekonomi. Contohnya, saat tren investasi bodong marak, banyak orang tertipu oleh janji keuntungan besar tanpa penjelasan jelas mengenai bisnisnya. Ini memperlihatkan bagaimana Gharar dalam skema investasi bisa mengganggu stabilitas pasar dan menurunkan kepercayaan publik terhadap investasi secara umum.
3. Meningkatkan Transparansi
Dengan menghindari Gharar, pelaku usaha—termasuk UMKM—didorong untuk menyajikan informasi sejelas mungkin kepada mitra, investor, dan pelanggan. Misalnya, seorang pemilik warung kopi yang ingin mengajak investor kerjasama sebaiknya menyusun proposal yang transparan: berapa modal yang dibutuhkan, berapa target penjualan, bagaimana pembagian hasilnya, dan risiko apa saja yang bisa terjadi. Dengan begitu, kerjasama bisnis pun menjadi sehat dan adil.
Gabung jadi Member ukmindonesia.id buat update terus info seputar UMKM dan peluang usaha!
Bagaimana Menghindari Gharar dalam Bisnis?
Agar transaksi kita bebas dari Gharar, berikut prinsip-prinsip dasar yang perlu dijalankan:
- Kejelasan Akad : Semua pihak harus sepakat terhadap objek, harga, waktu, dan syarat lainnya secara tertulis atau lisan yang tidak multitafsir.
- Jelasnya Objek Transaksi : Barang atau jasa yang diperjualbelikan harus sudah ada, bisa dijelaskan spesifikasinya, dan bisa diserahterimakan.
- Tidak Ada Unsur Penipuan : Semua informasi yang berkaitan dengan produk dan risiko usaha harus disampaikan secara jujur, tidak boleh ditutupi.
Studi Kasus: Gharar dalam Bisnis Digital
Di era digital ini, praktik penipuan bisnis dan investasi semakin menjamur dan mudah dilakukan. Karenanya, kesempatan seseorang terkena Gharar dalam bisnis pun makin besar. Contohnya, saat sebuah marketplace kecil menjual produk handmade dengan sistem pre-order. Namun dalam praktiknya, banyak produk tidak pernah diproduksi dan pembeli tidak pernah menerima barang. Ini merupakan bentuk Gharar karena objek transaksi tidak pasti, dan waktu pengiriman tidak jelas.
Contoh lainnya adalah praktik bisnis di mana sekelompok orang berbagi modal, namun tidak ada ketetapan pembagian hasil. Misalnya, seorang pemilik usaha mengajak temannya patungan untuk membuka usaha kopi keliling. Namun, tidak ada perjanjian tertulis tentang pembagian hasil, jangka waktu, atau risiko usaha. Saat usaha merugi, muncul konflik. Ini juga termasuk bentuk Gharar dalam akad syirkah (kerjasama modal).
Baca Juga: Kumpulan Doa Mustajab untuk Bantu Kelancaran Usaha bagi Wirausaha Muslim
Gharar vs Risiko Usaha: Apa Bedanya?
Satu hal yang perlu dicatat: tidak semua risiko usaha sama dengan Gharar. Risiko usaha adalah hal yang wajar dalam dunia bisnis. Contohnya, kamu buka toko dan suatu hari sepi pembeli karena cuaca buruk. Itu adalah business risk yang alami.
Sedangkan apa itu Gharar, lebih kepada risiko yang disebabkan oleh ketidakjelasan dalam akad, objek, atau syarat transaksi. Jadi bukan soal apakah usaha untung atau rugi, tapi bagaimana kejelasan dalam struktur transaksinya.
Posisi Gharar dalam Fikih Muamalah
Para ulama membagi Gharar menjadi dua:
- Gharar Fadih (besar): Dilarang karena bisa merugikan salah satu pihak, seperti jual beli barang yang belum ada.
- Gharar Yasir (ringan): Dianggap toleran, seperti tidak mengetahui jumlah benih dalam buah semangka. Dalam hal ini, Gharar dianggap wajar dan tidak membatalkan transaksi.
Baca Juga: 5 Kisah Sahabat Nabi yang Berwirausaha Jadi Inspirasi Bisnis Islami
Relevansi Gharar dengan Keuangan Syariah
Dalam sistem keuangan syariah, prinsip anti-Gharar ini menjadi pondasi penting. Inilah mengapa produk-produk seperti takaful, mudharabah, dan murabahah dirancang untuk memiliki kejelasan struktur, akad, risiko, dan hak serta kewajiban.
Menurut Islamic Financial Services Board (IFSB), praktik Gharar yang tinggi dapat merusak integritas pasar keuangan Islam. Maka dari itu, regulator seperti DSN-MUI di Indonesia menetapkan fatwa-fatwa yang sangat ketat untuk mencegah terjadinya Gharar dalam produk perbankan dan investasi syariah.
Sahabat Wirausaha, memahami apa itu Gharar bukan sekadar soal patuh pada hukum syariah, tapi juga langkah untuk menjalankan bisnis yang berkelanjutan dan terpercaya. Di era digital, transparansi dan kejelasan informasi menjadi kunci utama membangun kepercayaan pelanggan dan mitra bisnis.
Bagi pelaku UMKM, hal ini makin relevan. Karena banyak kesalahan transaksi terjadi bukan karena niat buruk, tapi karena minimnya pemahaman soal akad dan kejelasan hak serta kewajiban. Dengan memahami prinsip Gharar, UMKM bisa lebih siap membuat perjanjian yang adil, menghindari konflik, dan menjaga reputasi usaha mereka.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan di share ke rekan-rekan Sahabat Wirausaha. Follow juga Instagram @ukmindonesia.id untuk update terus informasi seputar UMKM.
Referensi:
- Muslim, Sahih Muslim No. 1513
- Majallah al-Ahkam al-Adliyyah
- DSN-MUI Fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Gharar
- IFSB Islamic Financial Stability Report 2023
- Antonio, M. S. (2001). Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Gema Insani Press.
- Ascarya, D. (2020). Keuangan Syariah: Prinsip dan Implementasi. Bank Indonesia Institute