Indonesia telah dikenal selama lebih dari satu abad sebagai negara penghasil kopi yang baik. Java, nama pulau paling padat di Indonesia, telah terkenal sebagai sinonim dari kopi di seluruh dunia. Banyak orang asing yang menyatakan bahwa mereka memulai hari dengan menenggak a cup of java, yang artinya adalah secangkir kopi. Grabriella Teggia dan Mark Hanusz menulis buku dengan judul itu di tahun 2004.

Tetapi, kopi yang berasal dari Indonesia tak kunjung dipandang sebagai produk jawara dalam soal kualitas hingga sekitar satu dekade belakangan. Masalahnya, kopi dari berbagai penjuru Indonesia tak cukup diurus baik dari sudut pandang agronomis maupun pascapanen. Kopi Indonesia kemudian selama beberapa dekade menjadi produk generik. HIngga kemudian perubahan drastis terjadi.

Perbaikan cara cocok tanam dilakukan, dan seluruh kegiatan pascapanen diperbaiki. Itu semua dilakukan atas beragam varietas yang telah diidentifikasi sebagai unggulan. Maka, sejak satu dekade lampau kopi Indonesia bangkit. Beberapa tahun kemudian kopi-kopi dari Sumatera menjadi salah satu yang paling laris di gerai Starbucks di seluruh dunia. Para petaninya mendapatkan harga yang lebih baik, dan bimbingan teknis terus-menerus, demi menjaga kualitasnya.

Yang lebih menarik, kopi-kopi unggul tersebut kemudian juga menjadi komoditas paling menarik dalam perdagangan yang adil (fair trade). Baik yang ditujukan untuk pasar ekspor maupun ceruk pasar tertentu di dalam negeri, perdagangan yang adil menjadi popular. Tidak semuanya dilakukan oleh bisnis sosial yang memang selalu mengedepankan bentuk perdagangan itu, namun juga oleh berbagai bisnis komersial yang mengambil jalan bisnis inklusif.

Kini, kopi Indonesia terus menerus keluar sebagai juara lomba kopi di seluruh dunia. Harga-harganya naik pesat, dan kesejahteraan petaninya pun demikian. Itu yang kami saksikan di seluruh penjuru Indonesia. Dari desa-desa di selatan Jawa hingga ujung utara Sulawesi. Dari pinggiran hutan Sumatera, desa-desa adat di Nusa Tenggara, hingga gunung-gunung di Papua. Mereka menghasilkan kopi-kopi specialty yang nikmat untuk konsumen dan menyejahterakan produsen.

Kami melihat perubahan yang sebegitu cepat dan berpikir apa komoditas berikutnya yang bisa “dikopikan”. Belum begitu jelas jawabannya, namun salah satu yang tampak jelas adalah durian. Sama dengan kopi yang ragamnya sangat kaya—Indonesia kemungkinan besar akan memiliki lebih dari 100 kopi speciality—durian dari seluruh penjuru Indonesia juga demikian. Kalau dahulu kopi di Indonesia juga diurus seadanya, demikian juga kebanyakan durian sekarang.

Padahal, jumlah penggila durian di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara saja tentu mencapai ratusan juta orang. Kalau kemudian kita lihat pasar Tiongkok yang mulai menggilai buah yang disepakati sebagai king of fruits itu, maka jumlah konsumennya akan berlipat ganda. Sudah saatnya, durian diurus sebagai kopi, sebagai produk specialty, yang mendidik konsumen soal citarasa dan kesediaan berbagi kesejahteraan dengan para petaninya.

Tempat-tempat tertentu di Sumatera dan Sulawesi sudah terkenal dengan durian berkualitas. Tetapi, dari pengalaman kami di lapangan, hampir tak ada tempat di Indonesia yang tak memiliki durian yang rasanya dahsyat. Di Bali misalnya durian yang sangat terkenal dari Desa Mundah Kangin di Kabupaten Tabanan betul-betul kaya varietasnya. Komang Subirawan, pemilik kebun sekaligus pedagangnya bertutur bahwa awig-awig (hukum adat) di seantero Bali yang mencegah orang memetik durian—orang hanya boleh memungut durian yang sudah jatuh untuk dimakan atau dijual—telah membuat durian Bali yang berasal dari varietas baik selalu sedap rasanya. Para konsumennya mengakui kehandalan rasa durian itu. Padahal Bali belum begitu dikenal sebagai produsen durian yang unggul.

Di awal tahun 2018, situs Year of the Durian menyatakan bahwa durian dari Desa Wilayu di Kabupaten Wonosobo adalah salah satu dari 10 durian terbaik tahun 2017. Lagi-lagi, Wonosobo belumlah tempat yang biasa dirujuk bila kita hendak mencari durian. Juga di Pulau Jawa, seorang anak muda bernama Heri Kristanto telah melakukan pengumpulan varietas unggul durian di seantero eks-Karasidenan Banyumas, dan menjualnya dengan label yang jelas-jelas menyatakan durian lokal. Rasanya? Sama sekali tak mengecewakan.

Kami melihat bahwa durian jelas-jelas memiliki masa depan yang secerah kopi, apabila beberapa tindakan perbaikan dilakukan terhadap budidaya, pascapanen, dan tata niaganya. Durian tak boleh lagi menjadi komoditas yang dikelola seadanya. Pada tulisan berikut, kami akan menguraikan ide tentang bagaimana durian akan bisa mengikuti jejak kopi, menjadi komoditas unggulan yang membawa kesejahteraan petaninya.


Sumber:
Artikel ini pernah dimuat di surat kabar KONTAN, pada tanggal 22 November 2018.

Penulis: Zainal Abidin (Pegiat Kemandirian, Dompet Dhuafa) dan Jalal (Pendiri dan Komisaris, Perusahaan Sosial WISESA)