Sang Maestro agribisnis Indonesia di masa lalu yang kini sudah almarhum, Bob Sadino. pernah kecewa berat. Pasalnya, sebuah mesin impor untuk membuat keripik nangka yang dibelinya dengan harga miliaran rupiah, terpaksa harus dipusokan, menjadi besi tua sebelum dipakai berproduksi.

Order keripik nangka itu sudah dikantonginya dari pembeli di luar negeri. Nilainya cukup besar, sehingga beliau berani investasi mesin yang nilainya bermiliar rupiah. Kemasan produk sudah dibuat ciamik, dan sudah pula disetujui oleh pihak pembeli. Sayangnya, order itu terpaksa tidak bisa dipenuhi karena kekurangan suplai bahan baku: buah nangka!

Om Bob, begitu beliau biasa disapa, sudah melakukan berbagai persiapan untuk menggarap order itu. Satu hal paling esensial malah tidak dilakukannya: pemetaan potensi produksi buah nangka. Maklum saja, sejak dulu hingga kini, tidak ada satu pun petani yang berkebun buah itu.Nangka umumnya tumbuh begitu saja tanpa sengaja ditanam. Bisa dibayangkan, betapa mahalnya biaya mendapatkan bahan baku untuk produksi satu kontainer keripik..

Kegagalan di atas, semestinya menjadi pembelajaran bagi kita dalam mengelola potensi durian lokal. Pemetaan potensi mesti dilakukan di semua sentra produksi durian di negeri ini. Klasifikasi dan zonasi perlu dilakukan sehingga konsumen bisa memilah dan memilih jenis durian yang diinginkannya. Beberapa sentra penjualan durian di Jakarta, Medan dan Purwokerto, ternyata bisa menyediakan durian sepanjang tahun.Ini berarti, durian bisa berbuah ‘tanpa musim’; walau tidak bisa dinafikan memang ada musim panen raya di mana hampir di seluruh wilayah bisa kita lihat durian.

Para petani di Banyumas sudah mulai melakukan perbaikan sedikit demi sedikit pada aspek budidaya, sehingga produksi durian bisa meningkat. Pemilihan varietas durian yang ditanam, sudah dilakukan. Petani juga sudah berani menebang pohon durian yang kurang enak buahnya, dan menggantinya dengan varietas yang lebih baik.

Sudah umum terjadi di Indonesia, pihak yang paling diuntungkan dalam setiap transaksi produk agribisnis adalah para pedagang, bukan petani. Mereka yang berkontak langsung dengan konsumen akhirlah yang meraup laba terbesar. Sekali lagi, para petani berada pada posisi termarginalkan. Utamanya dalam soal harga.

Jalur rantai pasok yang panjang membuat harga di tingkat petani sedemikian rendah, dan meningkat tinggi di level konsumen. Para pedagang di antara petani dan konsumenlah yang terutama menikmati peningkatan harga itu. Kalau durian mau dipastikan menyejahterakan petani, hal ini sudah tidak boleh terjadi lagi.Jalur distribusi mesti dipangkas sehingga disparitas harga tidak terlalu besar. Petani harus bisa mendapatkan harga wajar untuk produk yang dihasilkannya.Jangan sampai terjadi pemberangusan pohon-pohon durian berkualitas, akibat harga murah yang didapat petani.

Durian lokal dengan berbagai warna dan cita rasa yang eksotis, tak pelak lagi, berpotensi mendulang kedatangan para wisatawan mancanegara, terutama dari seantero Asia. Promosi wisata durian Nusantara, bisa menjadi pilihan lain di luar panorama gunung dan pantai di Indonesia. Mungkin perlu dikreasi, semacam selebrasi makan durian pada waktu-waktu tertentu di setiap daerah penghasil durian yang baik—layaknya orang melakukan 'upacara' minum teh di Jepang dan Korea.

Para pemangku kepentingan mestinya sudah tidak lagi bekerja sendiri-sendiri berdasarkan kepentingannya masing-masing. Kerja-kerja mereka, harus diikat oleh sebuah kepentingan bersama, menjadikan durian lokal sebagai kiblat wisata durian dunia. Memang pekerjaan berat, tetapi bisa menjadi ringan karena dikerjakan bersama.

Bagaimanapun, kita menyadari bahwa dibandingkan durian Malaysia dan Thailand, durian Indonesia masih dipandang berada di bawah. Bukan lantaran soal rasa, melainkan lantaran budidaya, pascapanen dan pemasarannya memang masih perlu ditingkatkan. Kalau melihat perkembangan komoditas kopi Indonesia yang sedemikian pesat dalam satu dekade terakhir, kita pasti bisa melakukannya untuk durian.


Sumber:
Artikel ini pernah dimuat di surat kabar KONTAN, pada tangga 6 Desember 2018.

Penulis: Zainal Abidin (Pegiat Kemandirian, Dompet Dhuafa) dan Jalal (Pendiri dan Komisaris, Perusahaan Sosial WISESA).