GERAKAN koperasi di Indonesia mungkin dapat dianalogikan dengan gerakan musik jazz, yaitu suatu gerakan yang tidak pernah menjadi arus utama, tetapi selalu ada komunitas masyarakat yang setia menjaga kelestariannya. Kedua gerakan itu juga memiliki kemiripan latar belakang sejarah karena ke duanya lahir sebagai gagasan atau karya cemerlang dari kalangan tertindas; dan bagi Indonesia, keduanya merupakan konsep yang dibawa dari luar negeri.

Selain persamaan ada pula perbedaannya. Pertama, gerakan koperasi tidak memiliki ajang akbar yang dinanti-nanti penggiat maupun praktisi di setiap tahunnya. Sementara itu, pencinta jazz Indonesia memiliki beberapa ajang akbar tahunan dan banyak ajang kecil berupa jazz nights di berbagai tempat. Kedua, cukup mudah untuk menemukan rekaman atau buku seputar jazz di berbagai toko buku, sementara tentang koperasi cukup sulit ditemukan. Selain itu, lebih mudah pula menemukan tempat kursus musik jazz di berbagai kota besar dan lebih sulit menemukan lembaga pelatihan perkoperasian. Jadi, secara umum, lingkungan Indonesia lebih kondusif untuk belajar jazz daripada belajar koperasi.

Baca Juga: Cerita Inspirasi Koperasi Inka Bantul

Ketiga, ini paling menarik, gerakan koperasi Indonesia memiliki wadah formal yang mendapatkan anggaran rutin dari APBN bernama Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), sementara komunitas jazz Indonesia tidak memiliki wadah formal satu pun, apalagi dukungan APBN. Lantas, mengapa gempita gerakan komunitas jazz bisa lebih hidup? Kementerian Koperasi dan UKM (2015) melaporkan bahwa koperasi di Indonesia berjumlah sekitar 150 ribu dan beranggotakan lebih dari 37 juta orang, tetapi volume usaha gabungan koperasi diperkirakan hanya sekitar Rp266 triliun, atau 1,9% dari pendapatan domestik bruto nasional yang berkisar Rp11.500 triliun.


Tingkat kontribusi itu jauh lebih rendah daripada beberapa negara maju. Data dari World Cooperative Monitor (2011) menunjukkan omzet dari 48 koperasi terbesar Prancis saja memiliki kontribusi sekitar 16,2% dari PDB; 4 koperasi terbesar Denmark yang menyumbang sekitar 8,2%; 26 koperasi terbesar Jerman 6,07%; dan 5 koperasi terbesar Swedia menyumbang sekitar 3,3%. Sementara itu, tingkat ketimpang an di negaranegara tersebut juga justru lebih rendah daripada Indo nesia. Jika dilihat dari koefisien Gini, skor Indonesia kini berada di tingkat 0,41, jauh lebih tinggi daripada Prancis yang memiliki skor 0,33, Denmark 0,29, Swedia 0,27, dan Jerman 0,3 (Bank Dunia, 2011).

Dengan melihat fakta global itu, wajar jika masih banyak praktisi atau penggiat perkoperasian Indonesia yang mendambakan agar koperasi dapat be nar-benar bisa menjadi saka guru perekonomian. Sesungguhnya kita tidak memerlukan ratusan ribu koperasi. Mungkin cukup 100 kopera si saja asalkan berkualitas baik dan mampu membangun basis anggota yang masif seperti supermarket Coop di Denmark yang dimiliki sekitar 1,4 juta anggota? Sampai saat ini belum ada satu pun koperasi primer di Indonesia yang memiliki anggota lebih dari 1 juta orang, mencerminkan bahwa potret kualitas gerakan koperasi masih cenderung buram.

Baca Juga: 10 Tipe Inovasi Bisnis yang Perlu Dilakukan


Apa penyebabnya? Pertanyaan klasik itu masih terus saja mengusik karena tak kunjung mendapatkan jawaban yang memuaskan. Apakah karena tidak ada ajang diskusi atau pertukaran pengetahuan akbar tentang koperasi? Apakah karena tidak ada sistem pendidikan perkoperasian yang menciptakan lingkungan mendukung untuk penyebaran pengetahuan perkoperasian? Apakah justru karena ada Dekopin yang dipimpin Nurdin Khalid sejak 2004? Belajar dari komunitas pencinta jazz yang memahami, mencintai, dan menampilkan jazz lengkap dengan roh atau soul-nya, sudah saatnya kita menanamkan roh pada gerakan koperasi. Inilah kunci jawabannya. Roh berupa ideologi, nilai-nilai, dan prinsip yang tertanam baik akan dengan sendirinya melahirkan sistem pendidikan yang mendukung penyebaran pengetahuan perkoperasian; apalagi sekadar ajang-ajang seminar atau diskusi akbar.

Baca Juga: Cara Mendorong Kreativitas Dalam Berbisnis

Lantas, bagaimana menanamkan roh tersebut? Untuk langkah awal, mudah saja. Kembalikan satu huruf ‘o’ yang hilang pada kata koperasi. Sebagai suatu konsep serapan, kata jazz tidak diganggu gugat oleh komunitas jazz Indonesia. Ada makna, sejarah, ideologi, nilai-nilai, dan prinsip yang terkandung dalam suatu kata sehingga jazz harus tetap jazz. Lalu mengapa cooperative bisa menjadi koperasi? Jadi, mari kita mengingat secuil kutipan ajaran Bung Hatta yang berbunyi, ‘Kooperasi artinya kerja bersama. Pada Kooperasi, didahulukan keperluan bersama, bukan keuntungan. Itulah bedanya dengan persekutuan yang lain itu’. Dirgahayu kooperasi Indonesia, gerakan yang memasuki usia ke-70, hari ini. Semoga belum terlambat untuk mengembalikan maknamu yang telah kian lama terpenggal itu.

Berita ini sudah dipublikasikan oleh Media Indonesia pada 12 Juli 2017. Artikel asli bisa dibaca disini

Jika merasa artikel ini bermanfaat, yuk bantu sebarkan ke teman-teman Anda. Jangan lupa untuk like, share, dan berikan komentar pada artikel ini ya Sahabat Wirausaha.