Guru besar di Universitas Harvard, Clayton Christensen, terkenal karena sejumlah bukunya terkait dengan inovasi.Pada intinya, menelisik pemikiran Christensen, inovasi menghadirkan dua karakteristik terpenting: sifat kebaruan dan sifat lebih baik dibandingkan dengan apa yang tersedia sebelumnya.

‘Baru’ tidak berarti sama sekali meninggalkan ciri yang lama, dan tidak juga berarti bahwa hal itu belum dipergunakan sebelumnya. Bisa saja kebaruan itu datang karena dipergunakan di kasus, sektor, atau lokasi yang berbeda.Sementara, ‘lebih baik’ memiliki dimensi kualitatif dan kuantitatif. Terkadang salah satu di antara kedua dimensi itu lebih menonjol, namun yang terpenting adalah bahwa pemanfaat inovasi tersebut memang merasakan kondisi yang lebih baik dibandingkan sebelumnya.

Dalam buku Social Innovation, Inc. Jason Saul menegaskan bahwa inovasi sosial yang dimanfaatkan oleh perusahaan—baik itu komersial maupun sosial—berarti strategi yang didesain secara spesifik untuk meningkatkan keuntungan ekonomi melalui perubahan sosial yang positif (Saul, 2011). Saul jelas mengadopsi sifat ‘lebih baik’ sebagaimana yang disarankan oleh Christensen, namun tidak secara eksplisit menyatakan ‘baru’ sebagai sebuah karakteristik inovasi. Namun, siapapun yang bergelut dalam bidang strategi akan tahu bahwa hanya strategi yang baru saja yang bisa meningkatkan keuntungan ekonomi sebagaimana yang dirujuk dalam definisi Saul.

Yang juga penting untuk digarisbawahi dari definisi Saul adalah bahwa peningkatan keuntungan ekonomi tersebut diperoleh melalui perubahan sosial yang positif. Ini berarti bahwa perubahan sosialnya merupakan proses yang hadir terlebih dahulu, baru kemudian keuntungan datang sebagai (salah satu) hasilnya.

Apa yang ditunjukkan oleh Ibrahim Abouleish dan SEKEM-nya di Mesir sangat jelas menunjukkan contoh yang demikian. Pemenang sejumlah penghargaan internasional—termasuk dari Alternative Nobel Prize, Schwab Foundation, dan World Economic Forum—ini melakukan hal yang tak pernah dipikirkan oleh orang-orang sebelumnya.

Mesir di pertengahan tahun 1970an adalah sebuah negara yang mengalami degradasi lingkungan yang parah lantaran penggunaan pestisida secara massif di lahan-lahan pertaniannya. Ketika itu, Ibrahim pulang dari Austria setelah menempuh pendidikan tinggi, dan dia sangat prihatin dengan kerusakan lingkungan serta kemiskinan akut yang menjadi dampaknya. Berbekal pengetahuan biodinamika pertanian yang ia pelajari, ia membeli 70 hektare lahan gurun pasir yang jaraknya sekitar 60 km dari Kairo.

Selang beberapa tahun, bukan cuma 70 hektare itu yang berubah menjadi lahan pertanian produktif, dengan hasil buah, sayur, herbal, dan kapas yang dijual di lebih dari 8.000 toko di Mesir, Eropa, dan AS, melainkan 2.000 hektare lahan yang ia bisa ‘sulap’!Perusahaan sosial SEKEM sendiri mempekerjakan lebih dari 2.000 orang untuk kepentingan itu. Namun, dampak terbesar dari pertanian sehat yang diajarkan oleh Ibrahim tidaklah terbatas pada lahan-lahan pertanian SEKEM, melainkan hingga ke seluruh Mesir. Lantaran keberhasilannya menyulap padang pasir itu, pada tahun 2000 penggunaan pestisida di pertanian kapas di Mesir turun hingga 90% dibandingkan periode 1970an (Ellis, 2010).

Kalau kita pelajari apa yang dilakukan Ibrahim Abouleish dengan SEKEM-nya, maka sesungguhnya inovasi sosialnya memang memiliki seluruh elemen yang telah dirumuskan oleh Jason Saul. Menurutnya, ada empat elemen penting itu, yaitu strategi bisnis, pemanfaatan bisnis inti, penciptaan manfaat, dan perubahan sosial yang positif (Saul, 2011).

Strategi bisnis SEKEM sangat jelas, yaitu memenuhi kebutuhan pasar dalam dan (terutama) luar negeri yang memiliki kemungkinan untuk membayar produk pertanian pada tingkat harga premium. Dengan begitu maka investasi yang besar di awal bisa lebih cepat terbayarkan.Bisnis inti yang dipilih adalah pertanian, yang tidak berbeda dengan apa yang selama ini menjadi andalan Mesir, namun dilaksanakan dengan teknologi yang lebih baik, yang tidak merusak alam, bahkan memperbaikinya.

Keuntungan ekonomi terutama diperoleh dari diferensiasi produk, yaitu hasil pertanian yang ramah lingkungan, yang tadinya tidak tersedia di Mesir. Hal ini pula yang membuat SEKEM dapat menembus pasar internasional dengan ‘mudah’. Diferensiasi itu pula yang membuat kecepatan pertumbuhan yang sangat tinggi, sehingga lahan yang diperbaiki menjadi terus bertambah luas.Hal yang terakhir ini menjadi perubahan sosial yang positif, yang lalu diikuti juga oleh perubahan sosial lainnya.Selain para pekerja yang menjadi lebih sejahtera, SEKEM juga berhasil mendorong transformasi pertanian di Mesir secara keseluruhan.

Dengan niat untuk melakukan perubahan sosial melalui mekanisme pasar maka para pebisnis sosial memang harus memutar otak dengan lebih keras. Tak mengherankan kalau bisnis sosial kemudian menjadi bisnis yang paling inovatif. Karena inovasi di jantung bisnis sosial itu, maka model bisnis ini kini menjadi yang paling menguntungkan dan paling cepat pertumbuhannya.


Sumber:

Artikel ini pernah dimuat di surat kabar KONTAN, pada tanggal 3 September 2015.

Penulis: Zainal Abidin (Pendiri dan Direktur Utama Perusahaan Sosial WISESA) dan Jalal (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA)