Menyaksikan video presentasi Prof. Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh, saat meresmikan perusahaan yang bergerak dalam bisnis sosial bernama Grameen Danone membuat kita seperti menyaksikan keajaiban. Betapa tidak? Grameen dan Danone adalah dua institusi bisnis yang bisa disebut bertolak-belakang.

Grameen, ada di sebuah kutub. Kita di Indonesia mengenalnya sebagai sebuah lembaga keuangan mikro yang sukses memberdayakan jutaan keluarga miskin di Bangladesh dengan cara yang nyaris tak terbayangkan. Penerima manfaatnya sebagian besar adalah kaum ibu yang berdasarkan parameter perbankan konvensional tidak bankable, dan Grameen Bank—yang berarti bank desa—memberikan pinjaman modal usaha kepada mereka tanpa jaminan sama sekali.

Grameen menggunakan cara berpikir yang berbeda, tapi terbukti benar. Semakin tidak bankable seseorang menurut perbankan konvensional, maka orang tersebut semakin bankable menurut Grameen. Mengapa? Pertama karena merekalah yang benar-benar membutuhkan pertolongan bank. Kedua, karena kebutuhan itu dipenuhi, maka mereka cenderung menjadi nasabah yang lebih loyal dibandingkan mereka yang tak benar-benar butuh bantuan perbankan.

Di kutub yang berseberangan, ada perusahaan multinasional besar bernama Danone. Perusahaan yang mengelola berbagai brand mendunia, dan lebih banyak dicap sebagai representasi 'kapitalis' besar dengan aneka produk yang dijual dengan harga tinggi, sebagai manifestasi dari tujuan menangguk keuntungan sebesar-besarnya. Tentu, tak persis demikian bila kita memelajari Danone dengan saksama. Tapi begitulah kesan kebanyakan orang.

Bergabungnya dua organisasi ini, sontak membuat para pelaku bisnis sosial terpana. Bisnis sosial yang umumnya berkapitalisasi kecil, tiba-tiba melejit karena Grameen kebanjiran dana 1,6 juta Euro dari Danone.

Yunus memang orator ulung. Tidak ada seorang pun yang bisa membantahnya. Kemampuan retorikanya mengagumkan. Tetapi, siapapun tahu bahwa kalau hanya dengan modal retorika, 1,6 juta Euro tidak akan mengucur begitu saja. Ia mengemukakan banyak data dan fakta. Ia juga mengajukan solusi. Gabungan kedua unsur itulah yang lebih berperan besar dalam membujuk Franck Riboud hingga ia setuju dengan anggaran dan syarat-syarat yang diajukan Yunus.

Jutaan anak Bangladesh berada dalam kondisi kekurangan gizi yang parah. Dan, Yunus melalui ide bisnis sosialnya bercita-cita ingin memperbaiki kondisi ini, dengan memroduksi yogurt fortifikasi. Yogurt, yang diperkaya dengan berbagai zat yang bergizi, yang sangat penting bagi anak-anak Bangladesh yang kurang gizi. Yogurt sendiri, tanpa fortifikasi, adalah jajanan kebanyakan anak Bangladesh.

Salah satu lini bisnis Danone adalah memroduksi yogurt. Tentu saja dengan harga premium. Produk inilah yang diincar Yunus untuk diproduksi di Bangladesh, dimodifikasi sesuai kondisi lokal, lalu dijual dengan harga ekonomis bagi anak-anak Bangladesh.

Dalam bisnis sosial Grameen Danone, seluruh dana investasi berasal dari Danone. Dari investasi ini, Danone hanya akan menerima kembali modal awal yang diinvestasikan dalam satuan waktu tertentu. Tanpa sedikit pun dividen. Seluruh keuntungan yang didapat dari usaha ini, diinvestasikan kembali dalam usaha tersebut untuk membesarkan skala usaha.

Tahun 2006 perusahaan sosial Grameen Danone memulai aktivitasnya, dan pada 2016 ini hampir memasuki tahap akhir setelah 10 tahun. Belum ada kabar pasti tentang keberlangsungan kerjasama keduanya. Tapi beberapa parameter bisnis dan sosial, seperti neraca, jumlah penerima manfaat, jumlah penerima manfaat yang berhasil dientaskan, menunjukkan angka yang menggembirakan sejak beberapa tahun lalu. Karena model bisnis ini juga mencari pasokan susu dari para peternak miskin, maka manfaatnya bukan sekadar diterima oleh konsumen dan rantai pasarnya, melainkan juga mulai dari rantai pemasoknya.

Kita tunggu saja laporan akhir dari perusahaan sosial ini. Grameen Danone adalah salah satu cahaya fajar perkembangan bisnis sosial di dunia. Semoga sinarnya menjadi semakin terang.


Sumber:

Artikel ini pernah dimuat di KONTAN tanggal 15 September 2016.

Penulis: Zainal Abidin (Pendiri dan Direktur Utama Perusahaan Sosial WISESA) dan Jalal (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA)