Kami mendapat pertanyaan yang sangat menarik dari salah satu pembaca kolom ini, yaitu apakah bisnis sosial cenderung dilakukan oleh orang kaya, tepatnya anak orang kaya? Sangat kebetulan dengan pertanyaan—dan jawaban—yang diajukan oleh Artur Steiner dan Simon Teasdale di Social Enterprise Journal Vol. 12/2 2016 dalam artikel bertajuk The Playground of the Rich? Growing Social Business in the 21st Century.

Jawaban Steiner dan Teasdale (2016) sendiri sangat lugas. Ada tiga hal yang mereka temukan sebagai kunci sukses bisnis sosial. Pertama, akses terhadap modal. Kedua, motivasi dan bakat. Ketiga, akses terhadap jejaring sosial. Mereka kemudian menganalisa satu demi satu komponen itu dan mencoba menemukan jawaban apakah mereka yang beruntung secara ekonomi memang menjadi lebih mungkin terjun ke dalam bisnis sosial.

Kunci pertama sangatlah jelas menjadi butir keunggulan mereka yang kaya. Mereka punya akses terhadap modal yang jauh lebih besar dibandingkan yang bukan berasal dari kelompok itu. Banyak pebisnis sosial yang bisa meminjam langsung dari orang tuanya, kerabatnya, atau sahabat-sahabat orang tuanya. Selain itu, bila mereka memilih untuk meminjam dari bank yang menyaratkan kolateral, mereka juga jelas memiliki keunggulan. Ada banyak orang tua yang bersedia menjaminkan harta bendanya untuk modal bisnis sosial anak-anak mereka.

Kunci kedua tidak begitu jelas memberikan keunggulan bagi mereka yang berasal dari keluarga berpunya. Dalam hal motivasi, bahkan banyak yang berargumentasi bahwa mereka yang miskin atau berasal dari kelas menengah bisa memiliki keunggulan. Mereka bisa dengan lebih jelas melihat beragam permasalahan ekonomi, sosial, dan lingkungan karena memang hidup dikelilingi masalah itu. Soal bakat, mungkin mereka yang berasal dari keluarga kaya bisa lebih unggul. Alasannya, mereka sejak kecil lebih terpapar pada bisnis. Tetapi, sebaliknya, kemampuan untuk memecahkan masalah juga mungkin lebih tinggi dimiliki oleh kelompok miskin dan menengah. Lagi-lagi karena mereka harus lebih kreatif memecahkan masalah sejak usia muda.

Kunci terakhir, soal akses terhadap jejaring sosial. Dalam hal ini, mereka yang kaya dianggap lebih unggul. Ketika pada fase pendirian, bantuan-bantuan jauh lebih banyak bisa mereka dapatkan. Demikian juga ketika fase lanjutan, termasuk ketika mereka masuk ke fase scale up. Pada fase ini, kebutuhan sumberdaya finansial sangatlah tinggi, sehingga lagi-lagi keunggulan mereka yang berasal dari keluarga berpunya juga sangat tinggi.

Tetapi, jawaban studi eksploratori itu mengingatkan kami pada banyak jawaban yang sejenis dengan post-material thesis. Tesis tersebut menyatakan bahwa kebaikan-kebaikan—seperti misalnya kepedulian pada isu-isu lingkungan—lebih mungkin muncul ketika masyarakat sudah lebih makmur. Bahkan, ada teori semacam environmental Kuznets yang sudah menggariskan penghasilan rerata tertentu orang-orang untuk mulai peduli pada lingkungan.

Masalah dengan teori-teori seperti itu adalah bahwa bukti sebaliknya juga ada. Dan cukup banyak. Kalau kita lihat masyarakat adat yang sangat menjaga mutu lingkungannya, karena kepada alam mereka menggantungkan kehidupannya, maka kita tahu bahwa tak perlu menunggu untuk kaya terlebih dahulu untuk peduli pada lingkungan. Alasan keterkaitan emosional dan spiritual dengan alam yang dimiliki oleh masyarakat adat sudah sangat memadai untuk membuat mereka hidup selaras.

Demikian juga dengan bisnis sosial. Ada banyak bisnis sosial yang jelas-jelas tidak dibuat oleh orang kaya. Muhammad Yunus jelas bukan orang miskin, namun juga bukan orang kaya. Gaji seorang profesor di Bangladesh tentu sulit menjadikannya kaya, sehingga dia mulai mendirikan Grameen Bank, perusahaan sosial paling terkenal, dengan modal yang sangat kecil.

Kalau kemudian kita tinjau para pebisnis sosial yang terkemuka, tidak banyak juga yang berasal dari keluarga yang benar-benar makmur. Kebanyakan memang dari kelas menengah dan bukan orang miskin. Mereka juga biasanya adalah orang-orang yang memiliki pendidikan tinggi, dan memanfaatkan ilmu pengetahuannya untuk memecahkan masalah di masyarakat melalui mekanisme pasar.

Tapi, bukan berarti tidak ada kelompok miskin yang menjadi pebisnis sosial. Masril Koto mungkin bisa disebut sebagai Muhammad Yunus dari Indonesia. Dia mendirikan Bank Petani. Lulusan SD ini berasal dari keluarga yang sangat sederhana, menjadi petani dan peternak, sebelum motivasinya menolong sesama membuat dirinya menjadi bankir untuk petani. Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) Prima Tani—begitu nama resmi Bank Petani—didirikannya pada tahun 2002 di Nagari Koto Tinggi, Sumatera Barat. Selang 14 tahun kemudian, LKMA-nya menjadi 580 buah, dengan aset total melampaui Rp100 miliar.

Apa yang dilakukan oleh Masril Koto dan rekan-rekannya mewakili ceruk khusus dalam bisnis sosial yang dinamakan perusahaan komunitas (community enterprise). Dalam bentuk itu, pemilik modal biasanya adalah individu dan kelompok masyarakat. Masalah yang dipecahkan adalah yang mereka hadapi, dan mereka sendiri jugalah—biasanya dengan bantuan pihak lain yang memiliki kepedulian—yang menjalankan bisnis itu. Dan, mudah diduga, para pebisnis sosial dari jenis ini bukanlah mereka yang berasal dari kelas berpunya. Mereka kemudian tumbuh menjadi lebih sejahtera bersama-sama dengan kelompok sasaran bisnis sosial yang mereka buat. Ini jelas bukan cerita tentang mainan orang kaya, melainkan cerita tentang solidaritas.


Sumber:

Artikel ini pernah dimuat di KONTAN tanggal 15 Desember 2016.

Penulis: Zainal Abidin (Pendiri dan Direktur Utama Bisnis Sosial WISESA) dan Jalal (Pendiri dan Komisaris Bisnis Sosial WISESA)