Sumber gambar : Yahoo

Selama beberapa tahun terakhir, bisnis kerajinan kulit menjadi salah satu sektor UKM yang banyak diminati pendatang baru. Hal ini bukan tanpa alasan. Tidak seperti bahan pabrikan lainnya yang datang dan pergi, kerajinan kulit asli merupakan produk fashion yang tak lekang oleh waktu. Kualitasnya yang tahan lama dan cenderung awet membuat produk berbahan kulit selalu diminati konsumen. Tak terkecuali di Indonesia, yang notabene merupakan negara produsen kulit terdepan.

Kamidsummee merupakan salah satu UKM yang dengan berani mengambil kesempatan di sektor bisnis tersebut. Dimulai di Yogyakarta yang memang terkenal sebagai daerah pengrajin kulit, sang owner, Betty Asros Stephney, berhasil membawa Kamidsummee ke pasar nasional dengan konsumen dari berbagai penjuru Nusantara. Bagaimana kisah perjalanan bisnis ini dari skala lokal hingga berjaya di skala nasional? Simak cerita lengkapnya berikut ini.

Berawal Dari Kecintaan Pada Produk Kulit

Meskipun tampak seperti bisnis yang digeluti serius sejak awal, namun Kamidsummee dimulai dengan alasan sederhana : ketertarikan sang pemilik pada produk kulit. Di tahun 2014, Betty Asros Stephney, seorang sarjana jebolan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, tengah senang berselancar di dunia maya. Ia gemar mengamati situs-situs jual beli produk kerajinan kulit asal Amerika yang banyak tersebar di internet. Saat itu, Betty sadar bahwa Yogyakarta, kota tempatnya tinggal dan belajar, merupakan salah satu daerah produksi kulit terbesar di Indonesia. Banyak komunitas dan pengrajin kulit yang berasal dari kota ini dan mendapat pesanan hingga ke mancanegara.

Baca Juga : Gathea Bags, Tas Kulit Simpel Solusi Wanita Urban

Kepopuleran produk kulit menarik minat Betty untuk melakukan riset mendalam dan menjadikannya ide bisnis. Akhirnya, di tahun yang sama, ia memutuskan untuk mulai membuat kerajinan kulit. “Waktu itu awalnya bikin kecil-kecil dulu, karena modalnya cuma dari gaji terakhir kerja, dapat empat lembar kulit, jadi diirit-irit,” cerita Betty tentang awal bisnisnya. Ia menamakan bisnis ini Kamidsummee, berasal dari gabungan kedua nama kakek dan neneknya, yaitu Kamidi dan Sumi.

Menurut Betty, motivasi awalnya menggeluti bisnis kulit pun cukup sederhana. Ia hanya ingin mendapat penghasilan secara mandiri tanpa harus bekerja dengan terikat jam kantor. “Motivasinya dulu receh banget di tahun 2014, mau ngumpulin uang sedikit demi sedikit buat travelling,” ujarnya.

Baca Juga : Tips Memulai Bisnis Dengan Modal Minim

Di pertengahan tahun 2014, Betty mulai merintis bisnisnya, diawali dengan riset pasar, mencari bahan yang paling sesuai, dan mencoba bekerjasama dengan beberapa produsen kulit di Yogyakarta. “November 2014 sudah fix dengan produknya dan mulai online dipasarkan,” ujar Betty. Di masa-masa awal tersebut, Betty mengerjakan produksi sendiri dengan hanya dibantu satu orang pengrajin lain. Pemasaran pun hanya dilakukannya terbatas melalui website kerajinan dengan cakupan area negara Amerika tempat Betty mencari inspirasi di awal risetnya. Pelan-pelan, usahanya mulai membuahkan hasil dan menarik pelanggan.

Beralih Ke Skala Nasional

Meskipun pembeli mulai muncul, namun Kamidsummee juga mulai menghadapi tantangan. Ongkos mengirim barang keluar negeri semakin lama semakin mahal. Akhirnya, ia perlahan beralih melayani penjualan di skala lokal dan nasional. Pemasaran pun tidak hanya di website kerajinan, namun juga di berbagai marketplace dan media sosial seperti Instagram dan Facebook.

Baca Juga: Langkah Aksi Membangun Brand untuk Meningkatkan Nilai dan Citra Positif Produk/Perusahaan

Dalam skala lokal yang dikelolanya, Kamidsummee berkembang pesat. “Tanggapan dari masyarakat sangat baik, kita selalu jalin hubungan baik dengan customer, dan banyak banget langganan. Sampai ada yang punya acara pun selalu pesan di Kamidsummee,” cerita Betty. Tak lama setelahnya, Kamidsummee bahkan mendapatkan pesanan untuk memproduksi suatu model tas kulit hingga lebih dari 1000 pcs.

“Kami juga sempat beberapa kali ikut fashion show di Jogja,” ujar Betty. Langkah ini membuat Kamidsummee makin dikenal dalam skala lokal. Perusahaan sekelas Facebook Corporation pun pernah menjadi produk Kamidsummee sebagai merchandise mereka.

Saat ini, rata-rata omzet Kamidsummee per bulannya bisa mencapai 15 – 30 juta rupiah. Betty pun kemudian membuka toko di Yogyakarta dan menambah aset dengan dua tempat produksi. Tenaga kerja yang membantunya produksi pun bertambah menjadi empat orang.

Baca juga: Tren dalam Instagram yang Penting Bagi Digital Marketing

Meskipun mampu berjaya di skala lokal dan nasional, namun bukan berarti Betty melupakan konsumen di mancanegara. Ia masih membuka pesanan untuk diekspor ke Amerika Serikat. Tak hanya itu, Kamidsummee juga sempat mengikuti pameran di Korea Selatan.

Bertahan di Kala Pandemi Dengan Inovasi

Di tahun 2020, tantangan besar kembali muncul dalam bentuk pandemi. Kondisi Indonesia yang tengah dilanda wabah membuat penjualan produk Kamidsummee jatuh lantaran daya beli masyarakat yang menurun. “Selain itu juga kejenuhan dari pasar terhadap produk kulit, dan semakin banyaknya saingan,” ujar Betty.

Namun ia tidak menyerah. Kuncinya, menurut Betty adalah dengan terus berinovasi. Tanpa lelah, Kamidsummee terus membuat produk baru dengan desain yang juga baru dan lebih menarik. “Kami sampai memangkas profit karena sadar diri juga produk-produk kita adalah kebutuhan tersier jadi harus selalu menarik customer dari segi desain, kualitas, dan harga,” papar Betty.

Baca Juga: Lima Alasan Kenapa Budaya Inovasi Penting Bagi UMKM

Betty kemudian mencoba beralih sejenak dan mengamati perubahan gaya belanja masyarakat di kala pandemi. Ia pun tertarik untuk memproduksi masker yang mendadak tengah menjadi kebutuhan utama semua orang. Namun, ia tidak memproduksi masker polos biasa. Betty merancang masker dengan Korean style yang tengah populer. Ia juga menambahkan desain masker batik cap “Kalem” sebagai varian lain yang lebih bernuansa etnik khas Nusantara. “Kami memproduksi masker etnik series Nusantara bertema batik dan tenun Indonesia,” terang Betty.

Masker produksi Kamidsummee mengedepankan bentuk yang trendi dengan tetap mencerminkan kearifan lokal. Tak hanya itu, Betty juga merancang desain yang nyaman untuk dikenakan pemakainya. Keunggulan lainnya adalah masker ini menggunakan tiga layer yang melindungi dari bakteri. Menurutnya, masker ini bisa digunakan segala kalangan, mulai dari muda-mudi hingga yang lanjut usia.

Baca Juga: Apa itu Product Adaptation?

Tren fesyen terbaru ini terbukti sukses mengambil hati pelanggan Kamidsummee. Betty mengakui bahwa sejak memproduksi masker, industri rumahan miliknya mulai kembali kebanjiran order. Pemesanan yang bisa dilakukan dengan mudah lewat media sosial dan media chat WhatsApp membuat pelanggan makin menjamur. Pemesanan tak hanya datang dari Yogyakarta, melainkan juga dari kota-kota besar lain seperti Jabodetabek dan Kalimantan.

Inovasi terbaru ini berbuah manis bagi Kamidsummee. Tak hanya mengembalikan hidup bisnisnya di masa pandemi, masker etnik rancangan Betty juga membuat brand miliknya semakin terangkat. Saat ini masyarakat di banyak penjuru Nusantara mengenal Kamidsummee.

Baca Juga: 10 Tipe Inovasi Bisnis yang Perlu Dilakukan

Keluar Dari Zona Nyaman Menjadi Visi Ke Depan

Setelah berhasil mengatasi masalah pandemi, Betty tidak memiliki harapan yang muluk ke depannya. “Bertahan dengan jalan pelan-pelan aja, tanpa ekspektasi muluk-muluk,” ujarnya. Namun, Betty mengakui bahwa saat ini, Kamidsummee semakin gencar menggunakan bahan kanvas sebagai pengganti kulit agar harga produk-produk mereka semakin terjangkau untuk masyarakat.

Ia juga ingin terus berinovasi dan tidak takut untuk keluar dari zona nyamannya. Rencana untuk mengekspor produk dalam skala lebih luas dan mencapai pasar retail luar negeri juga masih terus dicanangkan. “Seperti waktu awal bisnis tapi dengan kuantiti yang lebih besar,” papar Betty.

Baca Juga: Melirik Peluang Bisnis di Sektor Pertanian Lewat Inovasi

Sementara untuk harapan di masa depan, Betty berharap Kamidsummee bisa menjadi seperti pohon beringin besar yang kuat akar-akarnya, dan menaungi serta membawa berkat baik untuk keluarganya. “Karena orang-orang yang bekerja di sini sebagian besar keluarga dan yang bukan keluarga juga sudah kayak keluarga sendiri,” ujarnya. Bagi Betty, yang terpenting adalah bagaimana Kamidsummee bisa terus memenuhi kebutuhan masyarakat kedepannya dan menjadi berkah bagi orang-orang yang mengelolanya. Dengan begitu, Kamidsummee bisa memberikan dampak lebih pada masyarakat.

Perjalanan Kamidsummee dalam menghadapi pandemi membuat kita sadar bahwa cara paling tepat menghadapi pandemi adalah membawa bisnis kita menjadi adaptif dengan keadaan. Mengubah haluan dan berinovasi dengan beralih memproduksi barang yang paling dibutuhkan saat pandemi nyatanya sukses menyelamatkan pemasukan brand ini. Tak hanya itu, mereka juga berhasil memiliki varian produk baru. Yuk, jangan takut beradaptasi dan berinovasi di tengah pandemi!

Baca Juga: Dagadu, Ikon Silang Budaya dan Pariwisata Jogja

Referensi :

Wawancara langsung dengan Betty A Stephney, pemilik Kamidsummee, via chat WhatsApp

https://www.krjogja.com/angkringan/gaya-hidup/fash...

https://today.line.me/id/v2/article/DVmQqW