David Bornstein adalah seorang penulis terkenal. Ia menulis How to Change the World: Social Entrepreneurs and the Power of Ideas di tahun 2004, dan buku itu kini sudah diterjemahkan ke 20 bahasa. Ia juga adalah seorang jurnalis terkemuka yang mendirikan Solutions Journalism Network, organisasi yang mengkhususkan diri pada kabar-kabar tentang bagaimana individu, kelompok, dan masyarakat di seluruh dunia bisa menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi. Tulisan-tulisannya adalah inspirasi bagi sikap optimis melihat dunia.

Muhammad Yunus adalah figur yang lebih dahsyat lagi. Dia menerima Nobel Perdamaian pada tahun 2006 untuk karyanya yang paling terkemuka, Grameen Bank. Bank itu tak seperti kebanyakan bank yang biasanya memberikan pinjaman hanya kepada orang yang bisa memberikan kolateral yang dijaminkan, melainkan menggunakan mekanisme penjaminan yang sangat berbeda. Mengapa? Karena Yunus ingin memecahkan masalah akses terhadap modal yang dihadapi kaum miskin, yang tentu saja tak punya kolateral yang memadai.

Sejak Yunus membuat Grameen Bank, dunia berubah drastis. Semua negara di dunia ini menyadari perlunya perlakukan berbeda untuk kaum miskin yang membutuhkan modal. Dari situ, gerakan mikrokredit pun meledak. Apa yang dilakukan oleh Yunus tentu menjadi objek tulisan Bornstein yang sangat menarik. Sepuluh tahun sebelum Yunus diganjar Nobel, Bornstein menulis The Price of a Dream: The Story of the Grameen Bank. Yunus sendiri juga menulis buku-buku yang mencatat pemikiran dan kerjanya itu, seperti dalam Banker to the Poor yang terbit di tahun 1999.

Yunus kemudian menulis beberapa buku lagi. Semuanya menjadi best seller. Dan dia tak membatasi topiknya di perbankan mikro saja. Creating a World without Poverty terbit tahun 2007, lalu disusul dengan Building Social Business tiga tahun kemudian. Pada September lalu, bukunya yang paling mutakhir, A World of Three Zeros: The New Economics of Zero Poverty, Zero Unemployment, and Zero Net Carbon Emissions terbit. Bornstein kemudian mewawancarai Yunus lagi tentang buku terbarunya itu. Kali ini, diterbitkan sebagai artikel di New York Times tanggal 10 Oktober 2017, Giving Capitalism a Social Conscience.

Dari judul bukunya, kita tahu apa yang menjadi visi Yunus, yaitu sebuah dunia di mana kemiskinan, pengangguran dan emisi karbon benar-benar sirna. Dalam wawancara itu, tak jelas benar kapan dunia seperti itu hendak diwujudkan. Namun, kita tahu bahwa Sustainable Development Goals hendak mencapai dua yang pertama pada tahun 2030. Sementara, Kesepakatan Paris mengincar tahun 2050 sebagai noktah waktu di mana emisi bersih karbon sudah menjadi nol, dan 20 tahun kemudian untuk seluruh gas rumah kaca.

Dalam mencapai tujuan itu Kapitalisme adalah musuh terbesar yang harus ditaklukkan. Yunus menulis di dalam bukunya, dan dikutip lengkap oleh Bornstein, “We need to abandon our unquestioning faith in the power of personal-profit-centered markets to solve all problems and confess that the problems of inequality are not going to be solved by the natural working of the economy as it is currently structured.” Pasar, menurut Yunus, sangat bisa diubah bila tidak lagi disandarkan pada pencarian keuntungan sebagai satu-satunya tujuan. Bisnis, yang menempati pasar itu, akan menjadi sangat baik bila diubah menjadi bertujuan memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.

Mengapa pencarian keuntungan sebagai tujuan—dan bukan sebagai hasil sampingan dari keberhasilan memecahkan masalah—menjadi sangat berbahaya? Karena hasil yang tak terhindarkan dari pencarian itu adalah konsentrasi kepemilikan. Sekarang, disampaikan Yunus, ketimpangan sudah sedemikian parahnya, dan ini menghasilkan kemarahan di kalangan masyarakat yang tak diuntungkan oleh Kapitalisme. Brexit dan terpilihnya Trump hanyalah gejala kemarahan itu. Tetapi, di dunia yang 8—atau bahkan 5—orang terkaya memiliki harta yang setara dengan 50% penduduk termiskin, kerawanan sosial adalah hasil yang pasti makin kerap muncul.

Yunus kemudian menjelaskan bahwa bisnis sosial bisa mengobati ketimpangan itu, dengan membalik konsentrasi kekayaan menjadi redistribusi. Pebisnis sosial bisa memanfaatkan kekayaan pribadinya, sumberdaya finansial yang biasanya dipergunakan untuk CSR, atau donasi yang diterima yayasan sebagai sumberdaya untuk membuat bisnis sosial yang memecahkan berbagai masalah, dan keuntungan yang diperoleh bisnis itu kemudian direinvestasikan kembali untuk meningkatkan penerima manfaatnya, atau untuk memecahkan masalah lain. Contoh-contohnya disebutkan sangat menarik di dalam artikel Bornstein.

Artikel tersebut, juga buku baru Yunus, agaknya sangat penting untuk dibaca oleh siapapun yang memiliki visi yang sama dengan Yunus. Termasuk para pemimpin politik, perusahaan, dan organisasi masyarakat sipil di negeri ini.


Sumber:
Artikel ini pernah dimuat di KONTAN tanggal 12 Oktober 2017

Penullis: Jalal (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA)