Alex Nicholls bukan sembarang orang dalam dunia bisnis sosial. Dia adalah profesor tetap (tenured) pertama dalam bidang kewirausahaan sosial di Universitas Oxford, dan orang pertama yang ditetapkan sebagai anggota Skoll Center for Social Entrepreneurship ketika lembaga bergengsi itu didirikan tahun 2004 yang lalu. Hingga sekarang, dia telah menghasilkan lebih dari 90 makalah untuk jurnal ilmiah terkemuka, menulis 6 buku, dan memenangkan berbagai penghargaan ilmiah di bidang ini.

Oleh karena itu, makalah mutakhirnya, A General Theory of Social Impact Accounting: Materiality, Uncertainty and Empowerment, yang dimuat di Journal of Social Entrepreneurship, Vol. 9/2 2018, langsung menarik perhatian banyak pihak yang bekerja di bidang ini. Apalagi, tema makalah itu adalah bagaimana dampak sosial bisa dihitung dengan cermat. Dan ini adalah tema yang paling ‘mengganggu’ pikiran banyak akademisi dan pelaku bisnis sosial.

Mungkin banyak yang berpikiran bahwa perusahaan-perusahaan sosial sudah familiar dengan pengukuran dampak sosial, dan lebih mengalami kesulitan dalam pengukuran kinerja finansial. Pada kenyataannya, hal itu tidaklah tepat. Dan karena secara ideal perusahaan sosial hendak mencapai tujuan sosial dan finansial—yang dikenal sebagai blended value, seperti yang diusulkan oleh Jed Emerson—sementara metode pengukuran kinerja finansial sudah jauh lebih mapan, maka sesungguhnya tantangan pengukuran dampak sosial biasanya lebih besar.

Ada banyak metodologi yang sudah dikenal dalam pengukuran dampak sosial, namun salah satu yang paling kuat dan makin popular adalah social return on investment (SROI), dan SROI ini pula yang paling menjanjikan sebagai kandidat yang bakal setara dengan standar akuntansi keuangan. Demikian pendirian Nicholls, sehingga ia kemudian menggunakan SROI sebagai bahan refleksi atas akuntansi dampak sosial.

Menurut Nicholls, pertanyaan terpenting dalam akuntansi ini adalah soal validitas. Dengan menggunakan bantuan dari teori tindakan komunikatif karya Jurgen Habermas, ia sampai pada kesimpulan bahwa elemen penting validitas klaim atas dampak sosial adalah kebenaran (bukti), penerimaan (moral), dan kejujuran.

Dari prinsip-prinsip SROI (melibatkan pemangku kepentingan dalam menentukan dampak yang relevan; memahami perubahan yang signifikan bagi tiap pemangku kepentingan; menilai hal-hal yang material menurut pemangku kepentingan; memasukkan hanya yang material bagi pengambil keputusan; dan menghitung kontribusi sebagai bagian dari keseluruhan serta menghindari klaim berlebihan), ia kemudian mengajukan ide bahwa untuk menegakkan kebenaran dengan bukti, maka verifikasi adalah jalannya. Penerimaan hanya bisa dijamin apabila dipandang pantas dan berguna oleh para pemangku kepentingan. Sementara, kejujuran bisa dijamin dengan fokus pada tujuan yang disepakati, dipandu oleh nilai-nilai yang kokoh, serta terbuka pada hasil positif maupun negatif.

Dalam kata-kata Nicholls sendiri, “…validity in a general theory of social impact accounting can be demonstrated by processes that establish the materiality of uncertainty data (Truth) via careful stakeholder engagement (Rightness) that acknowledges the empowering potential of such processes as communicative action (Sincerity).” Dari pernyataan ini, jelas terdapat kesadaran bahwa data sosial memiliki ketidakpastian yang harus diakui oleh semua pihak yang terlibat, sehingga sesungguhnya verifikasinya bukanlah hal yang mudah dilakukan. Pada isu ini pula metodologi pengukuran dampak sosial menjadi sangat menarik.

Apabila akuntansi dampak sosial ingin mencapai status yang sama dengan akuntansi keuangan, hal ini harus diselesaikan. Teori yang diajukan oleh Nicholls sederhana saja. Data sosial yang tak pasti itu hanya bisa direkonsiliasikan dengan upaya validasi partisipatif oleh para pemangku kepentingan, terutama para penerima manfaat. Upaya rekonsiliasi itu disandarkan pada materialitas dari teori tindakan komunikatif. Singkatnya, lantaran data sosial tak selalu bisa objektif, maka pendekatan terbaiknya adalah memang intersubjektivitas antar-pemangku kepentingan.

Model yang diajukan oleh SROI memungkinkan akuntansi dan pelaporan dampak sosial yang koheren. Berbagai laporan SROI yang dibedah oleh Nicholls menunjukkan bahwa kesepakatan di antara para pemangku kepentingan memang bisa menghasilkan ukuran dampak yang lebih diterima secara luas. Alih-alih memaksakan ukuran dampak sosial yang objektif—yang ternyata malah mendatangkan perselisihan—pendekatan Habermasian untuk pengukuran dampak ini memang jauh lebih menjanjikan.


Sumber:
Artikel ini pernah dimuat di surat kabar KONTAN, pada tanggal 3 Mei 2018.

Penulis: Jalal (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA).